NovelToon NovelToon

(Tak) Sepahit Empedu

Bagian 1

Di tengah terik matahari, seorang gadis berjalan menyusuri trotoar. Di tangannya menenteng dua bungkus plastik berisi makanan, untuk ia berikan kepada kedua adiknya yang kembar.

Ia berdiri di tepi jalan menunggu angkutan umum lewat. Tersenyum bahagia karena di hari itu baru saja menerima uang gaji.

"Argh!" Ia menjerit sambil menutupi wajahnya ketika sebuah mobil melintas dan melindas genangan air.

Bekas hujan semalam meninggalkan kubangan di beberapa bagian jalan.

"Yah, kotor." Ia mengeluh, menatap kesal mobil berwarna putih yang terus melaju tanpa berniat meminta maaf padanya.

"Mentang-mentang orang kaya, bisa seenaknya," gerutunya sambil membersihkan cipratan air di baju.

Cempaka, gadis berusia dua puluh dua tahun, bekerja di sebuah toko pakaian dengan gaji yang hanya mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Namun, di tangan gadis itu, uang gaji yang tak seberapa berputar secara teratur.

Cempaka berhenti saat sebuah angkutan umum menepi. Duduk anteng meski sebagian pakaiannya basah dan kotor.

"Maaf, kenapa pakaianmu kotor dan basah? Bukankah hari ini matahari sedang terik?" tanya seorang wanita paruh baya yang memperhatikan Cempaka.

"Ini, tadi ada mobil yang melintas dan menginjak genangan air." Ia tersenyum ramah meski hati kesal bila mengingat kejadian tadi.

"Gang Cempaka!" Supir berseru, kemudian menepikan mobil di depan mulut sebuah gang sempit. Gang yang hanya bisa dilalui dua orang saja.

"Terima kasih, Pak." Cempaka memberikan ongkos dan berjalan masuk ke dalam gang. Senyumnya terus tersemat membayangkan wajah bahagia yang akan terpancar di kedua adiknya.

"Kakak pulang!" seru Cempaka di depan rumahnya.

Ia membuka sepatu dan meletakkan di tempatnya. Tersenyum kembali saat melihat dua pasang sepatu milik adik kembarnya.

"Rafi! Rafa! Di mana kalian? Lihat apa yang Kakak bawa untuk kalian!" seru Cempaka seraya meletakkan bungkusan tersebut di atas meja.

Ia masuk ke kamar, menggantung tas yang dibawanya. Mengganti pakaian meski belum membersihkan diri. Lalu, kembali keluar berniat menemani kedua adiknya makan. Namun, tubuhnya seketika mematung tatkala tangan menyibak gorden kamar.

Laki-laki paruh baya yang selalu menyusahkan hidup Cempaka, tengah duduk di kursi memakan makanan yang dibawanya untuk si Kembar.

"Ayah! Kenapa Ayah makan makanan itu? Itu untuk Rafa dan Rafi," ketus Cempaka pada laki-laki pengangguran yang hobinya berjudi dan mabuk-mabukan.

"Mereka udah makan, sekarang lagi tidur. Ayah lapar, lihat makanan ini, ya makan saja. Memangnya salah jika Ayah yang memakannya!" sahut laki-laki tersebut tak kalah sengit.

Cempaka mengepalkan kedua tangan emosi, rahangnya mengeras menahan gejolak amarah yang membakar jiwanya. Ia memilih pergi meninggalkan laki-laki itu, masuk ke dalam kamar adiknya untuk memeriksa.

Hatinya menghangat, kedua anak kembar itu terlihat damai dalam tidur. Langkahnya berayun pelan, semakin mendekat semakin terlihat kejanggalan pada kedua wajah itu. Mereka tampak pucat pasi bagai sekujur tubuh yang tak bernyawa.

Cempaka duduk di tepi ranjang mereka, memeriksa suhu tubuh keduanya. Dingin. Tangannya meraba sekujur tubuh mungil itu, memastikan ia tak salah merasa. Jatuh air mata Cempaka, dengan tangan bergetar ia meletakkan kedua jari di bawah lubang hidung meraka.

Napas Cempaka tercekat di tenggorokan, dadanya naik dan turun memburu udara. Tak ingin percaya, ia menjatuhkan kepala di dada keduanya. Menempelkan telinga mendengar detak jantung mereka.

"Rafa! Rafi! Bangun! Kalian hanya tertidur, bukan? Kalian sedang mengerjai Kakak, bukan? Bangun, ayo bangun!" Cempaka mengguncang kedua tubuh kaku itu, air matanya semakin deras turun.

"Rafa! Rafi! Kalian mendengar suara Kakak, bukan? Bangun, sayang! Kita pergi jalan-jalan ke taman, hari ini Kakak gajian. Bangun, Rafa! Rafi!" Cempaka menjerit sekerasnya, saat sadar kedua anak itu telah tiada.

Ia menjatuhkan tubuh di antara mereka, memeluk keduanya sambil menangis histeris. Sementara laki-laki di meja makan, tak acuh dan tetap melanjutkan makannya.

"Siapa yang melakukan ini pada kalian? Siapa? Bangun, Rafa! Rafi! Kakak pulang, sayang. Ayo pergi ke taman bersama Kakak," ratap Cempaka meremas sprei mereka dengan kuat.

Namun, sekuat apapun ia memanggil, sekencang apapun ia menjerit, kedua jasad itu sama sekali tidak bergerak. Suara gelas yang dibanting cukup keras, membuat Cempaka sadar ada orang lain di rumah itu. Satu-satunya orang yang menjadi tersangka utama.

Cempaka beranjak, membawa serta emosinya yang memuncak. Tangannya menyibak tirai dengan kasar, matanya menyalang tajam. Laki-laki yang duduk di sana, laki-laki yang berulang kali mencoba untuk merenggut kehormatannya, laki-laki yang bergelar ayah, tapi tak pantas mendapat julukan itu.

Langkah Cempaka terasa berat, bukan berarti dia tak berani mendatangi laki-laki itu. Hanya saja, kedua jasad adiknya terus membayang di pelupuk.

"Kau apakan kedua adikku?! APA YANG KAU LAKUKAN PADA MEREKA!" bentak Cempaka cukup menggelegar.

Air matanya berjatuhan seolah-olah sedang berlomba saling mendahului. Kedua tangan mengepal kuat, rahang ikut mengeras, pupilnya menajam, merah dipenuhi api amarah.

"Memangnya kau pikir aku melakukan apa?" Dia bertanya tanpa terlihat panik sama sekali.

"Kau membunuh kedua adikku. KAU MEMBUNUH MEREKA!" jerit Cempaka dengan napas menderu emosi.

Laki-laki itu melengos sambil tersenyum. Seolah-olah itu merupakan suatu kebahagiaan mendengar kedua kembar itu meninggal.

"Jadi mereka sudah mati? Baguslah, lagipula mereka itu hanya menyusahkanmu saja. Meminta ini dan itu tanpa ingin bekerja dan menghasilkan uang. Jika mereka tiada, maka uangmu hanya untukku," cetus laki-laki itu diakhiri tawa yang menggelegak.

Cempaka semakin erat mengepalkan tangan hingga sebagian kukunya menancap pada daging telapak tangan. Darah merembes, tak lagi terasa perih.

"Biadab! Kau memang brengsek, Baron! Kau tidak pantas menjadi seorang ayah! Kau kejam, kau tidak memiliki perasaan!" Cempaka mencoba menyerang ayahnya itu, tapi dengan mudah ditepis oleh Baron.

Dicekalnya tangan Cempaka kuat-kuat, meringis gadis tersebut merasakan perih dan nyeri di pergelangan tangannya.

"Lepas!" Cempaka meronta, tapi Baron tak berniat melepaskannya.

Ia menghempaskan tubuh kurus Cempaka hingga membentur meja dan kursi. Cempaka hendak bangkit melawan, tapi Baron dengan cepat menendang tubuhnya.

Bugh!

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi Cempaka, meninggalkan jejak empat jari yang memerah juga cairan merah yang merembes.

"Dengar, besok kau akan menikah dengan tuan Caesar. Jika mereka masih hidup sudah pasti akan menjadi penghalang untukmu menjadi istri konglomerat itu. Aku tidak mau tahu, kau harus bersedia menjadi istrinya," tegas Baron menuding kejam wajah Cempaka.

"Aku tidak sudi! Siapa yang akan menikah dengan laki-laki yang sudah beristri! Aku tidak mau!" tolak Cempaka dengan tegas pula.

Ia mengernyit menahan perih di bagian sudut bibirnya yang terluka. Keinginan Baron tak akan pernah ia turuti.

"Jika kau menolak, aku akan membakar jasad kedua anak itu. Ingat, Cempaka. Dia sudah membayar mahal dirimu. Jangan mengecewakan aku. Lakukan tugasmu sebagai anak berbakti." Ia beranjak dari dekat tubuh Cempaka. Tersenyum jahat mengancam tidak main-main.

"Kau ingat, Cempaka. Jika kau menolak, aku akan membakar jasad kedua adik kesayanganmu itu." Dia mengancam lagi.

"Mereka anakmu!"

"Aku tidak peduli." Baron menggeleng sambil mencibirkan bibir.

Cempaka melunak, tangisnya semakin histeris. Tak ada pilihan untuknya selain menerima meski dengan berat hati.

"Jangan! Jangan bakar tubuh mereka. Aku akan menuruti kemauanmu, tapi tolong kuburkan mereka dengan layak. Tolong kebumikan kedua adikku di samping ibu mereka. Tolong!" pinta Cempaka mengiba pada laki-laki itu.

Baron tertawa terbahak, puas dengan keputusan yang diambil Cempaka.

"Baik. Besok aku akan membelikanmu pakaian yang bagus, dan kau harus mengenakannya pada pertemuan dengan tuan Caesar. Jangan menolaknya!" ancam Baron mengingatkan Cempaka.

"Aku bersedia menguburkan kedua adikmu itu dengan layak, tapi setelah kau berjanji tidak akan pergi," ucapnya sembari memicingkan mata dengan tajam.

"Ya, aku berjanji." Cempaka bergetar. Tangannya yang bertumpu di lantai mencengkeram udara kosong.

Sial! Jika saja permintaan tuan kaya itu bukan keperawanan Cempaka ....

Dia mengumpat.

Bagian 2

Brugh!

Baron melempar sebuah bungkusan ke atas tubuh Cempaka yang duduk memeluk lutut di kamar. Gadis itu masih bersedih karena kepergian dua adik kesayangannya.

"Pakai itu untuk besok. Sekarang, kembalilah bekerja. Bukankah kau harus kembali ke tempat kerjamu?" ketus Baron yang bersandar di tiang pintu kamar Cempaka sambil menenggak minumannya.

Cempaka terdiam, mengunci mulutnya rapat-rapat. Tak ingin menanggapi ocehan Baron soal pakaian ataupun laki-laki itu.

"Ada apa? Apa kau tidak ingin kembali pada pekerjaanmu?" sengitnya seraya melempar botol minuman yang telah kosong ke depan tubuh Cempaka.

Gadis itu terlonjak, tapi tak membuatnya beranjak. Suara pecahan beling yang beberapa bagiannya mengenai kaki Cempaka, yang membuat gadis itu terkejut.

Baron yang marah, berjalan cepat menghampiri anaknya. Menarik tangan Cempaka dengan kuat, memaksanya untuk bangkit dan kembali bekerja.

"Lepas! Kau tidak bisa memaksaku, Baron! Aku tidak ingin bekerja!" teriak Cempaka sambil berderai air mata.

Mata merah gadis itu menyalang, menghujam kedua manik Baron yang juga memerah. Alkohol telah menguasai laki-laki itu, menghilangkan kesadarannya. Ia merenggut rambut Cempaka, menjambaknya dengan sangat kuat.

"Kau dan kedua anak kembar itu sama seperti ibumu, yang bisanya hanya menyusahkan saja. Pergi!" Baron menghempaskan tubuh Cempaka, membuatnya terhuyung ke depan.

"Pergi! Dan bawakan aku lebih banyak uang!" Baron memainkan dua jarinya. Ia tersenyum sinis, melangkahi tubuh Cempaka yang masih tergeletak di lantai.

Tak ada yang bisa dia lakukan, Cempaka mengusap air matanya. Bangkit dan berjanji pada diri sendiri tidak akan pernah menangis lagi. Bergegas mengganti pakaian, dan menentang tasnya. Sungguh, dia tak ingin ke mana pun hari itu. Hanya ingin termenung di dalam kamarnya yang tak memiliki daun pintu.

Cempaka menghentikan langkah, dipijitnya pelipis ketika rasa sakit berdenyut. Matanya berkunang-kunang, dia lupa bahwa belum mengisi perut seharian itu.

"Aku harus ke apotik," gumamnya seraya menghela napas menguatkan diri untuk dapat berjalan sampai apotik terdekat.

Cempaka meminta obat sakit kepala kepada pelayan apotik, menunggu sambil meringis menahan nyeri. Di tangannya telah terkepal sebotol air mineral untuk membantunya meminum obat tersebut.

Ia menerima ketika pesanannya datang. Akan tetapi, saat ingin membayar seseorang menyerobot tubuhnya.

"Argh!" Cempaka jatuh di lantai, ia mendongak menatap sosok laki-laki yang berwajah panik. Tampan, tapi menyebalkan.

"Cepat! Aku butuh obat untuk ibuku," katanya tergesa. Ia memberikan resep di tangan, menunggu tak sabar.

Cempaka berdiri, sama sekali tidak mempermasalahkan perbuatannya yang tidak meminta maaf. Ia sedang malas, tak ingin berdebat ataupun beradu mulut. Terlebih, saat mendengar kata ibu disebut. Cempaka teringat pada mendiang ibunya yang meninggal karena ketidakmampuannya membeli obat.

"Duh! Di mana? Astaga! Aku lupa membawa dompet!" pekik laki-laki itu, membuat dahi Cempaka mengernyit. Ia menunduk sedang menghitung uang untuk membayar obatnya.

"Apa kau sangat membutuhkan ini?" Pelayan apotik bertanya.

Cempaka diam mendengarkan.

"Ya, aku sangat membutuhkannya. Bukan! Bukan aku, tapi ibuku," jelasnya sedih.

Hening. Baik laki-laki itu ataupun pelayan apotik, kedua-duanya terdiam. Cempaka melirik nota yang harus dibayar laki-laki itu. Ia menghela napas, mengeluarkan sejumlah uang yang akan digunakan untuk mengajak jalan-jalan kedua adik kembarnya.

"Ini, sekalian saja miliknya." Cempaka menyerahkan uang tersebut, tanpa menoleh pada laki-laki itu.

Sedangkan dia, tercengang mendengar gadis yang ditabraknya membayar obat tersebut. Ia menilik wajah gadis itu, mematrinya di dalam ingatan. Tanpa banyak bicara, Cempaka meninggalkan apotik dan menaiki angkutan umum.

"Hai, tunggu!" Laki-laki itu mengejar, tapi angkot yang membawa Cempaka pergi dengan cepat.

"Siapa gadis itu? Aku bahkan tidak sempat mengucapkan terima kasih padanya. Suatu saat aku ingin bertemu dengannya lagi. Tuhan, Kau dengar doaku? Aku ingin bertemu dengannya lagi." Ia bergumam, kemudian menghela napas.

Menatap plastik obat di tangan, kemudian berlalu meninggalkan apotik. Hatinya tak henti bertanya-tanya, tentang siapa gadis yang telah menolongnya. Harapan untuk pertemuan selanjutnya, terus mengisi hati.

****

Di persimpangan jalan, Cempaka tertegun. Berpikir tentang apa yang telah terjadi hari itu. Terbersit di hati sudah saatnya untuk melawan Baron.

"Aku tidak bisa hanya tinggal diam saja. Laki-laki itu sudah keterlaluan, apa yang dia lakukan sangatlah fatal. Aku tidak boleh takut, aku akan melaporkannya ke polisi. Dia harus mendapatkan hukuman," gumam Cempaka dengan kedua maniknya yang memancarkan tekad yang kuat.

Dengan menggenggam sebuah botol kecil yang ia temukan di dapur, Cempaka yakin botol tersebut adalah botol racun yang digunakan Baron untuk membunuh kedua adiknya. Ia meniti langkah berbelok ke kantor polisi.

Cempaka mematung di depan gedung tersebut, rasa ragu mulai hadir mengganggu tujuannya. Ia menghela napas, genggaman tangan pada botol berbungkus plastik itu semakin menguat.

"Aku tidak boleh lemah, aku harus yakin bahwa apa yang aku lakukan adalah benar. Demi Rafa dan Rafi, demi kebebasanku. Jika laki-laki itu dipenjara, maka tidak akan ada lagi yang mengatur hidupku. Aku bisa bebas menentukan pilihan, dan yang terpenting pernikahan paksa itu tidak akan pernah terjadi." Cempaka meyakinkan hatinya, kembali melanjutkan langkah memasuki gedung kantor penegak hukum tersebut.

"Selamat sore, Pak!" sapa Cempaka pada petugas kepolisian yang berjaga.

"Selamat sore, Nona. Ada yang bisa kami bantu?" balas polisi tersebut sembari menelisik wajah gadis di depannya. Terdapat lebam juga bekas tamparan di pipi membuat mereka curiga ia adalah korban kekerasan.

Cempaka tercenung, terpikirkan ancaman Baron yang akan membakar mayat kedua adiknya. Namun, hati dan pikiran terus meyakinkan untuk melanjutkan niatnya. Ia menghela napas dalam dan membuangnya perlahan.

"Saya ... saya mau melaporkan ayah saya, Pak. Dia sudah melakukan penganiayaan terhadap saya juga kedua adik saya, bahkan ... bahkan ...." Cempaka tergugu ketika bayangan kedua adiknya yang terbujur kaku melintas dalam benak.

"Iya, Nona?"

Cempaka menghela napas, terlalu sakit bila mengingat semua itu. Dia bertekad mengakhiri semuanya.

"Dia membunuh kedua adik saya dengan cara meracuni makanan mereka, Pak. Dia juga mengancam saya akan membakar jasad mereka jika saya mengadukan hal ini pada pihak berwajib. Tolong saya, Pak. Tolong saya!" ratap Cempaka menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya yang tertunduk.

"Anda memiliki bukti?" Tak akan pihak kepolisian bertindak gegabah.

Cempaka menyerahkan botol berbungkus plastik itu kepada mereka. "Mungkin ini bisa menjadi bukti. Saya menduga ini adalah botol racun yang dia gunakan untuk membunuh mereka."

Polisi menerima dan memeriksanya. Segera surat perintah penangkapan pun turun, dan mereka bergegas mendatangi rumah Baron. Pihak kepolisian juga membongkar makam kedua adik Cempaka untuk melakukan autopsi pada jenazah keduanya.

"Anak durhaka! Awas saja kau, kalau aku bisa lolos akan aku habisi dirimu!" ancam Baron saat polisi menggiringnya ke dalam mobil.

Cempaka mematung, menatap kepergian Baron yang dibawa polisi. Ada banyak pertanyaan terlontar dari warga yang berkerumun, tapi Cempaka malas menanggapi dan memilih masuk ke dalam rumah. Menguncinya, menghilang dari semua orang.

Bagian 3

Baron duduk diam di mobil polisi, meski terlihat menurut yang sebenarnya dia sedang mencari cara untuk melarikan diri dari mereka. Kepalanya tertunduk dalam, mengira-ngira tempat mana yang tepat untuk melarikan diri.

Di tengah perjalanan sebuah suara tiba-tiba terdengar, menyusul bau yang menyengat menyeruak menjejali hidung mereka.

"Astaga! Bau busuk apa ini?" ujar mereka menutup hidung dan mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah.

Bagus!

"Itu bau kentutku, perutku sangat sakit, mulas dan melilit. Aku tak tahan, jadi aku keluarkan saja di sini. Ah, lagi ... aku ingin membuangnya lagi," ucap Baron sambil mengedan hendak mengeluarkan sesuatu lagi dari belakangnya.

"Jika kalian tidak membiarkan aku pergi ke toilet maka, aku akan mengeluarkannya di sini. Ugh!" Baron mulai mencari alasan agar dapat keluar dari mobil polisi itu.

Mereka menepikan mobilnya di salah satu toilet umum, berjaga dengan siaga selama Baron membuang hajatnya.

"Hei! Cepatlah!" Polisi yang berjaga menggedor-gedor pintu kamar mandi meminta Baron untuk segera keluar.

Bunyi air yang dinyalakan membuat mereka percaya bahwa laki-laki bengis itu masih berada di dalam. Semakin lama keanehan pun semakin nyata.Ia membuka pintu dengan paksa, tak ada siapapun di dalam sana selain air yang terus mengucur. Lalu, melirik ke atas pada lubang udara yang mudah saja dimasuki seseorang.

"Tahanan melarikan diri!" teriaknya ikut menyentak tubuh Baron yang tengah bersembunyi di dalam semak di belakang kamar mandi umum itu.

Dia tidak lari karena tidak mungkin lolos dari kejaran polisi. Para polisi segera datang memeriksa, mencari-cari menggunakan senter untuk dapat melihat Baron. Namun, posisi Baron yang menguntungkan tak dapat mereka temukan.

Bagus! Pergilah!

Baron membatin ketika mendengar suara deru mobil meninggalkan toilet umum. Beberapa jam masih bersembunyi di sana sampai keadaan menjadi sunyi dan aman menurutnya.

"Para polisi itu pasti menjaga rumahku. Mereka pikir aku akan ke sana, aku tidak bodoh!" Baron beranjak dan pergi meninggalkan tempat tersebut.

Dia tidak menuju ke rumahnya, melainkan berbelok ke arah lain sambil tak henti-hentinya mengumpat.

"Awas saja kau, Cempaka! Aku akan membalas ini!" ancamnya di dalam hati.

****

Sementara di rumah itu, Cempaka tengah menangis tersedu-sedan di lantai rumahnya. Memeluk lutut, menumpahkan kesedihan juga kekecewaan karena yang dilakukan laki-laki itu.

Suara deru mobil menyentak tubuh Cempaka, menyusul ketukan di pintu membuatnya segera beranjak untuk membuka.

"Selamat malam, Nona! Tahanan melarikan diri, dan kami kira akan pulang ke sini. Kami akan berjaga di sekeliling rumah Anda."

Napas Cempaka tercekat, air matanya luruh berjatuhan di lantai. Ia menutup pintu dengan segera setelah para polisi menginstruksikan, menguncinya dan masuk ke kamar menenangkan diri.

"Bagaimana bisa dia lari? Ya Tuhan!" Cempaka menangis, rasa takut seketika saja memenuhi hatinya. Baron pasti akan kembali entah malam ini atau besok pagi. Dia pasti sedang menunggu para polisi yang berjaga itu lengah.

****

Keesokan harinya, pagi buta di rumah Cempaka.

Byur!

Segayung air disiramkan Baron pada tubuh Cempaka yang tanpa sadar terlelap di atas kasur lepeknya. Gadis itu terlonjak dengan napas tersengal-sengal.

"Bangun, Pemalas!" Baron mencengkeram dagu Cempaka dengan cukup kuat. Matanya begitu tajam menusuk, ketakutan jelas terpancar di kedua mata wanita itu.

"Berani sekali kau melaporkanku pada polisi! Kau pikir aku mudah untuk masuk penjara? Kau belum tahu siapa Baron? Jangan pernah macam-macam denganku!" Dengan kasar ia hempaskan wajah Cempaka sehingga berbalik.

Plak!

Menamparnya dua kali melampiaskan emosi.

"Jika tak ingat uang yang akan aku dapatkan hari ini, aku mengirimmu ke alam baka menyusul mereka!" kecam Baron tepat di depan wajahnya.

"Bunuh aja aku! BUNUH SAJA AKU!" teriak Cempaka tak tahan.

Baron tertawa terbahak-bahak. Tak akan dia membunuh gadis itu.

"Aku tidak akan membunuhmu. Cepat, bersihkan dirimu. Kita akan bertemu dengan tuan Caesar." Laki-laki itu beranjak meminta Cempaka bersiap.

Dengan kasar, Baron menjambak rambut gadis itu dan memintanya untuk masuk ke kamar mandi. Tanpa dapat menolak lagi, Cempaka mengusap wajahnya yang basah, dan membersihkan diri.

"Jangan lupa pakai pakaian yang aku belikan. Pastikan kau juga berdandan untuk dapat menarik perhatian tuan Caesar." Baron memerintah tanpa melihat ke arah Cempaka. Tangannya sibuk memainkan ponsel, menghabiskan waktu dengan hanya bermain game.

Cempaka menghela napas, meremas pakaian di tangannya. Pakaian haram yang tak pernah ingin dia pakai, tapi hari itu dia mengenakannya sambil menangis.

Baron berteriak memanggil namanya. Celingukan memastikan tak ada polisi yang berjaga di sekitar sana. Lalu, menggeret tangan Cempaka dengan kasar ketika baru saja ia keluar.

Kepalanya melilau dengan awas, khawatir akan keberadaan para pihak berwajib.

"Ayo!" Baron berbalik sambil meneguk ludah, mengusap keringat yang tiba-tiba muncul memenuhi wajah. Ia menghidupkan motor bututnya, membawa Cempaka pergi ke sebuah restoran.

"Jangan banyak bicara, cukup diam dan patuhi apa yang akan kau dengar di sana," ingat Baron yang tak ditanggapi cempaka sama sekali.

Gadis itu terus diam, menahan tangis yang ingin meluap. Bibirnya gemetar, kulit wajah serta matanya memerah. Rasa panas membakar setiap rasa dalam diri, menciptakan embun yang menggenang di kedua pelupuk.

"Turun!" ketus Baron ketika ia baru saja menghentikan motor di parkiran restoran.

"Ingat! Jangan berkata apapun juga!" Baron menuding wajah Cempaka, sebelum menarik jaket yang dikenakan gadis itu. Lalu, menyerat tangannya untuk memasuki restoran.

Cempaka terseok-seok mengikuti langkah lebar Baron. Laki-laki itu membawanya ke sebuah ruang privasi yang dikhususkan untuk para tamu-tamu istimewa.

"Maaf, Nyonya. Saya datang terlambat," ucap Baron membungkukkan tubuh di hadapan seorang wanita yang berusia lebih tua dari Cempaka.

Ia nampak elegan, duduk dengan gaya cantik, yang memperlihatkan kelasnya. Pakaian mewah membalut tubuhnya yang ramping, riasan natural yang memperlihatkan kecantikan wajahnya.

Mata yang dibingkai bulu lentik itu memindai tubuh sintal Cempaka dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sedikit mencibir karena gadis itu memiliki postur tubuh yang lebih menarik daripada dirinya.

"Yah, tidak apa-apa. Silahkan duduk!" Tangannya dengan gemulai mempersilahkan keduanya untuk duduk.

"Apa kau sudah menjelaskan kepadanya untuk apa dia datang?" tanya wanita tersebut menatap Baron tajam.

"Sudah, Nyonya. Dia sudah tahu untuk apa ada di sini?" jawab Baron dengan yakin.

Wanita itu menyandarkan tubuh dengan elegan, melipat kedua tangan di perut. Sikap angkuhnya itu pun, membuat siapa saja akan berdecak kagum saat melihat.

"Ini!" Dia melempar sebuah berkas ke hadapan Cempaka. "Baca, dan pelajari isi kontraknya!" Ia memerintah kemudian melipat kedua tangan lagi memperhatikan.

Dengan tangan gemetar, Cempaka mengambil berkas tersebut dan membacanya. Menetes air mata. Apakah nasibnya akan berakhir pada pernikahan kontrak itu?

"Tugasmu hanya mengandung dan melahirkan anak untukku juga suamiku. Jangan pernah berharap lebih, apalagi mengharapkan cinta suamiku! Karena itu tidak akan pernah kau dapatkan!" ucap wanita tersebut dengan penuh percaya diri.

Cempaka mengusap air matanya, meletakkan berkas tersebut di atas meja. Dia akan menerima takdirnya. Hanya sampai melahirkan, setelah itu dia akan terbebas dari mereka semua termasuk Baron.

Hati Cempaka semakin perih tatkala wanita itu memberikan Baron sebuah amplop yang cukup tebal. Gadis itu tahu apa yang ada di dalam. Itu pasti uang penjualan dirinya. Baron mencium amplop tersebut, tertawa terbahak.

Berselang, pintu terbuka dan seorang laki-laki dewasa masuk ke ruangan.

"Sayang!" Wanita itu menyambut dengan manja dan mesra. Membawanya duduk di sofa dengan tangan yang menggamit lengan laki-laki tersebut.

"Dia perempuan yang aku pilihkan untuk melahirkan anak kita. Bagaimana? Kau suka?"

Laki-laki itu memicing, menelisik dalam-dalam sosok Cempaka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!