Tak peduli aturan, tak peduli kontrak, tak peduli tugas sebagai istri. Jika bisa, Cempaka hanya ingin menjadi dirinya sendiri yang bebas. Seperti burung yang mengepakkan sayapnya lebar-lebar, membentang di cakrawala.
Namun, kontrak jual-beli yang ditandatangani Baron juga dirinya beberapa saat lalu, meruntuhkan semua keinginan itu. Melemahkan tekad yang tumbuh dalam hati. Kini, hanya ada Cempaka yang harus menjalani pernikahan kontrak itu.
Mengandung seorang anak dan melahirkannya, tapi bukan untuk diri sendiri. Melainkan untuk seseorang yang telah rela membayar mahal rahimnya. Sayang, dia sama sekali tidak mengecap manisnya uang tersebut.
Ditemani Arjuna, Cempaka memasuki rumah besar itu. Betapa terkejut, ketika melihat ada beberapa orang di dalam sana. Langkahnya terhenti, rasa gugup juga mulai melanda hati.
"Ayo! Itu keluarga dari Tuan Caesar," ajak Arjuna sembari merangkul lengan Cempaka.
Oh! Sedikit bingung, tapi kemudian ia sadar bahwa di mata laki-laki itu pernikahan mereka hanyalah sebuah kontrak.
"Arjuna! Sini, Nak. Apa dia istrimu? Kenapa kau menikah tidak memberitahu kami?" panggil seorang wanita tua yang rambutnya disanggul rapi. Kacamata bertengger di wajahnya, ia melambai meminta Arjuna untuk mendekat.
Laki-laki itu mengangguk sambil berbisik kepada Cempaka, "Beliau itu Nyonya besar, ibu Tuan Caesar." Cempaka memperhatikan semua orang di sana, ada tiga orang wanita yang duduk di hadapan sepasang suami istri itu.
Arjuna berdiri di samping sofa yang diduduki oleh Caesar. Mengangguk sopan, layaknya seorang bawahan terhadap sang tuan. Cempaka hanya diam, tak tahu apa yang harus dia lakukan.
Mata ketiga perempuan yang duduk di sana menilik penampilan Cempaka yang tampak biasa saja. Mereka mencibirkan bibir, dan hal tersebut tak disukai oleh Caesar. Terlebih saat tangan gadis itu melingkar di lengan Arjuna.
Cempaka menunduk, sadar di mana tempatnya. Melihat dari pandangan mereka saja, sudah cukup memberitahunya.
"Siapa namanya?" Bukan bertanya pada orang yang dimaksud, tapi pada laki-laki di sampingnya.
"Cempaka, Nyonya." Wanita itu tersenyum, tapi sama sekali tidak memandang Cempaka, bahkan tak satupun dari mereka yang mempersilahkan keduanya untuk duduk.
"Permisi, Nyonya. Saya izin ke depan," pamit Arjuna betapa mengerti dengan perasaan Cempaka saat itu.
Tak ada sahutan, tangan wanita tua yang mengibas menjadi isyarat untuk mereka segera pergi.
"Ayo!" Arjuna mengajak gadis itu untuk pergi.
"Kita mau ke mana?" tanya Cempaka setelah mereka berada di teras.
"Tidak akan mungkin kita berada di dalam. Mereka tak suka di perkumpulan keluarga orang rendahan seperti kita ada di sana," jawab Arjuna melepas tangan Cempaka dan menuntunnya ke pos jaga.
Di sanalah pemuda itu selalu beristirahat ketika menunggu Caesar. Ada seorang penjaga gerbang di sana yang ramah, mempersilahkan mereka untuk duduk.
"Tuan, apa gadis ini istri Anda?" tanya sang penjaga gerbang dengan hati-hati.
"Bukan, Pak. Ini Nyonya Muda kita, istri Tuan Caesar, tapi jangan pernah beritahu siapapun tentang beliau. Ini rahasia," jawab Arjuna.
Ia percaya pada laki-laki paruh baya itu. Lisannya selalu terjaga, pandai menyimpan rahasia. Tak akan ia membocorkannya kepada orang lain.
"Baik, Tuan. Saya mengerti." Ia menoleh kepada Cempaka, menunduk penuh hormat.
"Saya Herman, Nyonya. Senang bisa mengenal Anda," ucapnya sopan.
Cempaka tersenyum meski penderitaan jelas tergambar di kedua maniknya.
"Saya Cempaka. Jangan sungkan kepada saya, Pak. Saya hanyalah istri rahasia yang kehadirannya tak diakui. Saya bukan majikan Bapak," tutur Cempaka yang tak ingin dianggap sebagai nyonya di rumah besar itu.
Herman serba salah, menatap pada Arjuna yang tak mampu berkata-kata. Pandangannya kembali beralih pada Cempaka, ada rasa kasihan muncul di hatinya.
"Bagi saya sama saja, Nyonya. Apapun status Anda, di mata saya Anda layak dihormati," tegas Herman tak akan merubah sikapnya terhadap Cempaka.
Cempaka terdiam, usia laki-laki itu mungkin saja sama dengan Baron. Ia permisi meninggalkan pos jaga dan duduk di luarnya.
"Bagaimana perasaanmu? Sudah lebih baik?" tanyanya menelisik wajah Cempaka yang begitu sederhana dan apa adanya.
Gadis itu menghela napas, bingung dengan perasaannya sendiri. Ia menunduk, menggelengkan kepala tak tahu. Arjuna tersenyum, berpaling dari menatap wajah sedih Cempaka.
"Aku pernah bertemu dengan seorang perempuan yang baik. Dia sama sekali tidak mengenalku, bahkan melihat wajahku saja tidak, tapi dia tak segan membantuku. Aku ingin bertemu lagi dengannya hanya untuk mengucapkan kata terima kasih yang tak sempat aku ucapkan." Arjun tersenyum membayangkan wajah muram Cempaka kala itu.
Sementara gadis di sampingnya mendengarkan dengan kepala tertunduk.
"Sore itu di apotik, aku yang lupa membawa dompet tak dapat membayar biaya obat yang kubeli. Gadis itu membayarnya meski tahu tak sedikit uang yang harus ia keluarkan." Arjuna melirik Cempaka.
Gadis itu bereaksi, teringat pada laki-laki yang menyerobot tubuhnya hingga terjatuh di lantai. Ia membelalak, sedikit kesal memang. Akan tetapi sudah melupakan kejadian itu dengan mudah.
"Terima kasih, karena kau telah menolongku saat itu. Jika tidak, mungkin aku telah kehilangan pekerjaan saat ini," ungkap Arjuna tersenyum ke arah Cempaka.
Gadis itu tertegun, ternyata memang dialah yang dimaksud Arjuna. Perlahan, kepalanya menoleh memandang lekat-lekat wajah tampan berkarisma di sampingnya.
"Jadi, kau laki-laki itu? Laki-laki yang menabrak tubuhku hingga terjatuh di lantai?" Cempaka memicing, menelisik manik Arjuna yang berwarna coklat dan hangat.
Dia terkekeh, itu tanpa sengaja karena terburu-buru harus menebus obat.
"Maaf, itu karena aku sedang terburu-buru untuk menembus obat." Arjuna tersenyum, terlihat tulus dan apa adanya.
Cempaka menghela napas, tak menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki itu.
"Tidak masalah. Bagaimana dengan ibumu? Dia baik-baik saja?" tanyanya. Mengulas senyum tanpa beban, senyum yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Hati Arjuna bergetar, terguncang dunianya. Buru-buru ia berpaling, menatap pada yang lain.
"Beliau tidak apa-apa. Sudah baik-baik saja. Sekali lagi aku ucapkan banyak terima kasih," ucap Arjuna.
Ia beranjak dan pergi keluar, duduk berdua bersama penjaga pos di depan pos jaga. Berbincang sambil menahan gejolak yang meluap-luap dalam hati.
Di dalam rumah, Caesar mengurai kepalan tangan setelah kepergian Cempaka. Entah apa yang terjadi, setiap kali melihat gadis itu hatinya selalu bertingkah aneh.
"Apa dia akan tinggal di sini?" tanya wanita tua sembari menyesap teh hijau miliknya.
"Mungkin iya, Bu. Supaya Eva memiliki teman ketika aku harus pergi," sahut Caesar mencari alasan yang tepat untuk menyembunyikan Cempaka.
"Yah, itu memang benar karena Ibu juga tidak selalu bisa datang ke sini. Lalu, bagaimana hasilnya? Apa tidak ada masalah dengan kesuburan kalian?" Dia lanjut bertanya sebuah pertanyaan yang membuat keduanya menjadi gugup.
"Tidak ada, Ibu. Kami subur dan akan segera memiliki anak," jawab Eva meremas jemari Caesar.
Laki-laki itu tertunduk, sungguh tak berdaya di hadapan semua orang.
"Syukurlah. Segeralah beri wanita tua ini cucu, aku menginginkannya," pinta sang ibunda sambil mengulas senyum.
"Iya, Ibu."
Mereka harus segera melakukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments