Bab 19. Menemani Makan

Selepas sholat Isya, Zivanya keluar dari kamarnya. Namun ketika baru menutup pintu kamar, suara bel pun berbunyi. Ia bergegas menghampiri pintu utama, langkahnya sengaja dipercepat bahkan sampai berlari kecil tanpa menyadari Aries yang ada di dapur.

"Zivanya!" panggil pria itu sesaat setelah menaruh gelas ke atas meja.

Gadis itu mendadak menghentikan langkahnya kemudian memutar badannya mengarah ke sumber suara.

"Ada apa Bos? Saya mau bukain pintu," kata Zivanya bersikap sopan.

"Sini, duduk kamu!" Gadis itu terperangah mendengar perintah dari Bos-nya. "Biar saya saja yang buka. Semua akses pintu di rumah ini sudah saya ganti dengan yang baru," sambung Aries lalu berjalan melewati Zivanya begitu saja. Namun gadis itu masih berdiri ditempatnya, tidak langsung menuruti perintah Bos-nya.

Tak lama berselang, Aries masuk kembali ke dalam rumah dengan membawa sebuah kantong plastik berwarna putih.

"Bos itu apa?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Zivanya, Aries justru bertanya balik. "Kenapa kamu belum duduk? Saya bilang kan tadi duduk dulu."

Zivanya menatap Aries tidak suka. Bukan soal perintahnya, melainkan pertanyaan yang baru saja diajukannya tadi.

"Maaf Bos." Hanya itu yang keluar dari mulut Zivanya sambil menundukkan wajahnya.

Aries malah berlalu begitu saja, lalu menaruh bingkisan plastik itu ke atas meja makan. Pria itu kemudian mengambil beberapa piring dari raknya.

"Sini, temani aku makan," perintah pria itu. Namun Zivanya bukan terenyuh ataupun terharu, melainkan merasa heran kenapa Aries menjadi pria baik, tapi lebih terlihat seperti pahlawan kesiangan sih.

"Bos, boleh saya bertanya sesuatu?" Zivanya mendekat lalu duduk berhadapan dengan Aries. Keduanya hanya dipisahkan oleh meja yang berukuran cukup lebar.

Pria itu melirik sekilas dan menatap makanan yang sedang ia persiapkan. "Apa?"

"Bos dan Arion sepertinya perbedaan usia diantara kalian cukup jauh ya?" Pertanyaan itu sekilas tidak penting. Namun itu sebagai awal ke arah pembicaraan yang sebenarnya.

"Lumayan," jawab Aries singkat.

"Berapa tahun?"

"Delapan."

"Berarti usia Bos sekarang ..." Zivanya berpikir sejenak. Menghitung usia dua bersaudara itu. "Dua puluh lima tahun, benar 'kan?"

Aries hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban lalu keduanya diam, terasa hening.

"Bos," panggil Zivanya memecah keheningan itu sendiri.

"Hm!" gumam pria itu lalu melirik sesaat.

"Bos tahu dimana ayah saya sekarang?" Zivanya mulai masuk ke dalam inti pembicaraan.

Aries yang baru saja selesai menyiapkan makanan, mengemas sampah lalu membuang ke tempatnya. "Memangnya kamu gak sakit hati dengan ayahmu? Padahal kamu sendiri secara gak langsung sudah dijual pada saya."

Zivanya diam bergeming. Apa yang dikatakan Aries ada benarnya juga, pikirnya.

Gadis itu terkesiap, tetap menunjukkan raut wajahnya yang terlihat ceria seolah hatinya tidak merasakan apapun yang sangat tersakiti.

"Saya cuma pengen tahu saja. Siapa tahu, kalaupun ayah masih menjadi buron, saya bisa memancingnya supaya ayah keluar dari persembunyiannya."

Mendengar jawaban Zivanya, Aries menatapnya lalu tersenyum menyeringai. Pria itu memberi tatapan remeh terhadapnya, dari sorot matanya tersirat kalau apa yang dikatakan oleh Zivanya barusan adalah sebuah kemustahilan.

"Kenapa Bos lihat saya seperti itu? Bos gak percaya dengan kemampuan saya?" cecar Zivanya. Nada bicaranya mulai meninggi karena tidak terima merasa diremehkan dengan Aries.

Aries hanya bersikap tenang dan dingin. "Seberapa kenal kamu dengan ayahmu itu?" tanya pria itu.

"Ya ... Aku kenal banget. Aku kan anaknya," jawab Zivanya sekenanya. Pada kenyataannya, ia lebih mengenal ibunya dibanding ayahnya sendiri. Sebab, ayahnya itu jarang sekali bertemu dengannya. Bagaimana tidak? Ayahnya setiap berangkat dan pulang ke rumah sering kali disaat Zivanya masih dalam keadaan tidur pulas.

"Seorang anak belum tentu mengenal sifat asli kedua orang tuanya dengan baik. Dan orang tua pun belum tentu memahami anaknya dengan baik."

Mulut Zivanya yang masih terbuka dan hendak menjawab perkataan Aries itu seketika membeku dan perlahan ditutup rapat-rapat.

"Apa Bos mengenal orang tua Bos dengan baik?" tanya Zivanya reflek dan tidak ada maksud apapun. Gadis itu hanya mencari jawaban yang seolah mengumpat di dalam hatinya.

Aries melipat kedua tangannya ke atas meja lalu menatap Zivanya. "Mau saya kenal atau enggak sekalipun dengan kedua orang tua saya, yang jelas itu bukan urusan kamu. Sudah, saya mau makan."

Wajah Zivanya seketika cemberut, ditekuk bagai kertas lecak karena tidak mendapatkan jawaban yang mengenakkan hati dari Aries. Ia hampir saja tidak ingat dengan statusnya di rumah itu. Seketika ia pun tersadar, Aries menjadi pria baik tidak akan merubah statusnya dari sebatas pembantu, sekalipun menjadi teman baiknya.

Sementara Aries makan, Zivanya hanya diam memperhatikan pria itu makan dengan lahapnya. Makanan dari restauran khas Jepang itu sama sekali tidak menggugah selera makan Zivanya. Sebab apa yang disantap oleh Aries saat ini makanan yang belum matang alias mentah.

Setelah menghabiskan makanan itu dan hanya menyisakan satu porsi, Aries baru menyadari kalau sejak tadi Zivanya hanya diam menunggunya makan.

"Kamu gak makan?" tanya pria itu tanpa rasa bersalah.

"Maaf, saya gak doyan makan makanan seperti itu Bos," tolak Zivanya tetap bersikap sopan.

"Itu masih ada satu porsi buat kamu. Biasakan makan makanan seperti ini, karena pasti dilain hari saya akan meminta kamu yang membuatkannya," timpal Aries memberitahu gadis itu.

"Apa iya kalau membuat makanan harus suka dahulu pada makanan yang akan dibuat? Selama ini aku gak pernah masak bahkan menyentuh kompor di dapur pun bisa dihitung pakai jari seumur hidupku," batin Zivanya.

Melihat gadis itu tertegun dalam lamunannya, Aries beranjak dari duduknya.

"Zivanya!" ucapnya dengan suara yang cukup keras. Tentu saja hal itu membuat Zivanya terlonjak kaget.

"Ada apa Bos?"

"Segera bersihkan meja makan dan jangan lupa langsung di cuci. Oh iya, satu porsi makanan ini langsung kamu habiskan ya. Saya gak mau tahu ... Setelah selesai, segera ke ruang kerja saya. Paham?" titah Aries.

Zivanya mengangguk cepat. "Paham Bos."

Aries pun kemudian pergi dari hadapannya. Selepas itu Zivanya menatap satu porsi makanan yang masih utuh di atas meja sambil bersusah payah menelan ludahnya.

"Apa aku bisa menelan makanan itu? Mengunyahnya saja rasanya pasti aneh sekali. Ya Allah, bismillah deh semoga enak dilidah aku," gumam Zivanya lalu mulai memakan makanan itu.

"Kok gini ya rasanya?"

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!