Bab 4. Gadis Biasa

Suara gemuruh petir mulai terdengar di penjuru langit malam ini. Kegaduhan di rumahnya pun masih terus berlanjut ditambah dengan suara pecahan piring hingga kaca.

Para tetangga berdatangan, berikut dengan ketua RT. Mereka berusaha melerai pertengkaran suami istri itu.

Akan tetapi Zivanya tetap berjalan menelusuri sepanjang trotoar jalan tanpa arah tujuan yang jelas. Deringan ponsel yang sejak tadi berbunyi pun tidak dihiraukannya.

Lalu sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya.

"Zivanya!" panggil seorang gadis yang berasal dari dalam mobil itu sambil membuka kaca jendelanya.

Orang yang dipanggil pun menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Glenka! Bagaimana bisa kamu menemuiku disini?" seru Zivanya berusaha menetralkan emosi yang masih bergelut dalam batinnya.

"Apa sih yang enggak bagi Glenka?" seloroh gadis itu lalu terbahak. Zivanya hanya tersenyum menanggapinya. "Yuk masuk! Mau sampai kapan memangnya kamu jalan di pinggir jalan seperti ini? Malam-malam pula," sambungnya.

Zivanya menghela napasnya lalu menoleh ke kanan dan kiri.

Sementara itu Glenka pun mengikuti arah pandang Zivanya. "Lihatin apa sih? Ada yang sedang mengikutimu?" tanyanya penasaran.

"Ah, enggak apa-apa kok," jawab Zivanya yang sebenarnya baru menyadari kalau sepanjang jalan yang tadi di laluinya itu cukup sepi.

Glenka membukakan pintu mobilnya dari dalam. "Ayok masuk!" serunya lagi dan Zivanya pun akhirnya masuk ke dalam.

"Kamu mengendarai mobil sendiri dari rumah?" tanya Zivanya sambil memasang sabuk pengaman.

"He-em." Glenka mengangguk.

"Memangnya kamu sudah punya SIM?" tanya Zivanya lagi.

"Sudah dong! Tepat di hari ulang tahunku sebulan yang lalu, daddy-ku memberikannya padaku plus mobil ini," jawab Glenka dengan rasa bahagianya. Sementara itu, Zivanya ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh temannya itu.

"Omong-omong, kalau aku perhatikan kamu kok kayak orang kebingungan gitu Ziv. Lagi ada masalah?" tanya Glenka yang mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

"Hmm, masa sih?" Zivanya mengerutkan alisnya. "Hanya perasaan kamu saja mungkin," tambahnya.

"Iya mungkin ya." Glenka tidak ingin memperpanjang lagi. Sebab apapun yang sedang di alami temannya itu, selama tidak dia sendiri yang bercerita, Glenka tidak ingin ikut campur.

"Oh iya kok kamu belum pakai apa-apa sih? Bukannya kamu bilang acaranya sebentar lagi?" tanya Zivanya menyadari pakaian Glenka seperti yang digunakan sehari-hari.

"Iya, setelah ini kita ke salon langganan mommy-ku." Glenka menoleh sebentar, tersenyum lalu fokus ke depan lagi.

"Oh begitu ya ... Hmm, kamu biasa pergi ke acara seperti itu ya?" Kali ini Zivanya yang menoleh.

"Jarang sih Ziv. Aku itu paling malas pergi ke acara seperti itu. Isinya para remaja yang kebanyakan tampilan mereka lima sampai enam tahun di atas kita gini," Glenka masih fokus menyetir.

"Lalu kalau kamu kebetulan datang seperti sekarang ini, kamu bakalan berbaur gak dengan mereka?" Zivanya semakin penasaran. Sebab selama ini ia sama sekali tidak tahu menahu soal pergaulan kelas atas.

"Pernah sekali dan aku kapok. Lebih baik aku bergaul dengan nenek-nenek dibanding dengan mereka ... Kalau dari tampilan glamour oke karena mereka dari keluarga kaya. Akan tetapi dari segi bahasa yang mereka keluarkan itu sangat jauh dari apa yang dilihat. Terkesan kasar dan seolah gak pernah duduk dibangku sekolah. Gitu loh Ziv," terang Glenka. Setidaknya Zivanya sudah bisa memperkirakan kalau dirinya sangat jauh dari mereka.

"Maka dari itu aku mengajakmu pergi ke sana. Supaya aku ada temannya," pungkas Glenka dan Zivanya pun hanya mengangguk paham.

...----------------...

Mereka pun tiba di salon langganan ibunya Glenka. Keduanya dirias semenarik mungkin. Terlebih dengan gaun yang sebelumnya telah disediakan oleh Glenka sendiri untuk dirinya dan juga Zivanya. Dalam waktu setengah jam lamanya, mereka akhirnya siap untuk pergi ke pesta.

Glenka melajukan mobilnya diatas kecepatan rata-rata. Sementara Zivanya yang duduk disebelahnya merasa ketakutan. Dia seperti terempas ke belakang. Beruntung ada sabuk pengaman yang melindungi keduanya.

Sesaat kemudian, mereka sampai di tempat acara.

"Ziv jangan lupa rapikan dulu penampilan kita," kata Glenka mengingatkan.

"Oke, Glenka."

Setelah dirasa sudah rapi dan juga cantik. Mereka pun turun dari kursi masing-masing. Bak putri kerajaan turun dari kereta kencana, keduanya berjalan di atas karpet merah.

Ini adalah pengalaman pertama bagi Zivanya. Jujur, hatinya bahagia. Apalagi banyak sekali wartawan yang menyambut kedatangan mereka.

"Glenka, aku merasa seperti seorang selebritis," bisik Zivanya sambil terkekeh.

"Memang begini, yang penting tetap santai. Anggap saja hal ini sudah biasa kamu lakukan," ujar Glenka yang terus menatap ke depan lalu sesekali tersenyum pada para wartawan itu.

Sebab gadis itu tahu kalau setelah ini pasti akan masuk berita di siaran televisi bisnis dan juga koran seputar bisnis.

"Glenka, acaranya meriah sekali. Lebih mirip ke acara wedding." Mata Zivanya berbinar saat sudah berada di dalam dan melihat dekorasi di sekelilingnya.

Glenka hanya tersenyum. Dalam hati ia pun memaklumi dengan sikap Zivanya yang terkesan norak.

"Glenka!" panggil seorang pria. Suaranya samar-sama didengar oleh Glenka, sebab suaea musik klasik di ruangan itu cukup kencang.

Glenka menoleh ke sumber suara. "Arion!" serunya.

Pria itu bergegas menghampiri Glenka. "Kamu sama siapa ke sini?" tanyanya ketika susah berada di depan gadis itu.

"Ini sama temanku ... " Glenka menoleh ke arah Zivanya. Namun temannya itu masih asik melihat ke sekeliling ruangan. "Zivanya!" panggilnya.

"Iya? Apa?" Gadis itu terkesiap lalu menoleh ke arah Glenka.

"Arion kenalin ini Zivanya ... dan Zivanya kenalin ini Arion, adik dari yang punya acara ini. Dia sebaya dengan kita," kata Glenka saling memperkenalkan kedua orang yang ada di depannya.

"Hai, Arion." Pria itu mengulurkan tangannya, mengajak Zivanya berjabat tangan. Namun kedua tangan gadis itu malah disatukan, lalu diletakkan di dadanya.

"Zivanya."

Arion seketika menarik uluran tangannya kembali. Pria itu tersenyum kikuk. Sementara Glenka yang melihat itu, langsung menatap arion.

"Dia muslim dan gak pernah dekat sama cowok," kata Glenka memberi pengertian.

Arion memang satu keyakinan dengan Glenka. Makanya saat melihat sikap Zivanya yang seperti itu, membuatnya terkejut.

"Zivanya, kamu anak dari temannya om Frans?" tanya Arion sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Oh bukan. Aku hanya gadis biasa, teman satu kelas dengan Glenka," jawab Zivanya apa adanya.

"Oh, aku kira kalian buat geng sosialita baru. Pantas saja aku baru melihatmu, Zivanya."

"Arion, mana gandengan kamu? Katanya mau di bawa? Kenalin dong sama aku," tanya Glenka yang memang sudah akrab sekali dengan Arion.

Bagaimana tidak? sedari duduk di bangku taman kanak-kanak, mereka sudah sering bermain bersama. Hanya bedanya Arion melanjutkan sekolah menengah atas di luar negeri.

"Ya nanti. Aku masih malas memikirkan soal wanita. Memangnya kamu pacaran terus sama Rendy, restu belum dapat pula." Arion berdecak setelah mengatakan itu.

"Masa iya seperti itu? Atau jangan-jangan kamu tidak normal lagi? Ups," seloroh Glenka. Di sisi lain Zivanya terkekeh, namun berbeda dengan Arion yang menunjukkan raut wajah tidak suka.

"Ya kamu lihat saja nanti," balas Arion. Akan tetapi ekor mata pria itu melirik ke arah Zivanya.

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

MissHaluuu ❤🔚 "NingFitri"

MissHaluuu ❤🔚 "NingFitri"

lanjuttt

2023-03-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!