Bab 8. Kepergian Ibu

"Arion ... Bisakah kamu memilihkan makanan untukku?" tanya Zivanya. Karena tidak mungkin kalau dirinya akan memakan semua macam yang ada di sana. Jikalau nanti tidak sampai dihabiskan akan terasa mubadzir dan menyia-nyiakan uang yang telah dibayar tidak murah.

"Memangnya kenapa? Bingung ya?" tanya Arion sambil mengeluarkan sebelah tangannya dari dalam saku dan Zivanya pun mengangguk dengan mata yang masih melihat ke arah etalase. Kemudian mengusap dagunya seolah sedang berpikir. "Makanan apa yang ingin kamu makan tapi gak pernah bisa kamu beli?" tanya pria itu lagi.

"Hmm ... semuanya sangat ingin aku coba. Tapi ... Rasanya gak mungkin aku bisa menghabiskannya dalam satu waktu," jawab gadis itu sambil menoleh ke arah Arion.

Seketika pria itu tertawa. "Ya sudah pilih salah satu dulu. Kalau memang ibumu sudah masuk ke kamar rawat inap, kamu bisa setiap hari makan di sini ... Gratis!" ucap Arion lalu berbisik lagi pada Zivanya.

Gadis itu pun terkekeh pelan. "Makanan disini mahal semua Arion. Lagi pula gratis darimana coba?"

"Kan aku sudah membayarkan sampai kamu puas makan disini," timpal Arion.

"Gak usah berlebihan, aku masih bisa menghemat dengan makan di warung makan di sekitaran pinggir jalan dekat rumah sakit ini," ujar Zivanya seraya menggelengkan kepala.

"Selama ada aku, kamu akan terus makan enak setiap hari." Arion tak ingin kalah. Ia terus menunjukkan taringnya sebagai seorang pahlawan untuk Zivanya.

"Memangnya kalaupun gak ada kamu, aku gak bisa makan enak? Menurutku makanan sederhana pun akan terasa sangat nikmat kalau kita bersyukur." Zivanya ikut tersulut karena Arion.

"Ya tetap saja. Sesederhananya makanan, kalau makan hanya dengan lauk itu-itu saja akan terasa bosan Zivanya ... Sudah cepat kamu pilih makanannya, nanti keburu operasinya selesai. Aku gak mau kalau kamu sampai gak makan!" kata Arion melontarkan ancaman.

Zivanya menghela napasnya. "Baiklah."

...----------------...

Tak terasa hari sudah menjelang siang, operasi yang dilakukan pada ibunya Zivanya telah selesai. Dokter serta perawat pun keluar dari ruangan itu.

Zivanya seketika berdiri seraya menghampiri mereka. "Bagaimana keadaan ibu saya Dok?"

Dokter itu mengempaskan napas pelan. "Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun ibu Anda tidak bisa diselamatkan. Pasien mengalami pendarahan yang cukup parah. Kami pun sudah berusaha memberinya transfusi darah. Akan tetapi kondisinya semakin drop."

Zivanya meremang, matanya pun telah berkabut. Dalam hitungan detik cairan bening pun mengalit begitu saja tanpa permisi.

"Gak mungkin Dok. Ibu pasti masih bisa diselamatkan!" Gadis itu teriak histeris. Pikirannya semakin kalut dan sulit untuk berpikir jernih. Ia menjadi bahan tontonan di sekitar ruang operasi oleh para pengunjung yang sedang menunggu juga.

Arion reflek memeluk Zivanya. Berharap gadis itu bisa mendapatkan ketenangan. Padahal selama ini Zivanya sangat jarang dipeluk oleh ayahnya.

Entah kenapa keresahan dalam jiwanya pun meredam karena pelukan hangat yang diberikan oleh Arion. Zivanya memiliki ketenangan tersendiri pada pria itu.

"Arion, kau tahu? aku mulai nyaman denganmu ... Tapi aku sadar kalau kita berbeda," ucap Zivanya dalam hatinya.

"Nona, mohon segera mengurus kepulangan jenazah ibu Anda. Sebab pasien harus segera di kebumikan, mengingat darah yang masih terus keluar dari rongga hidung dan telinganya. Supaya tidak sampai tercium bau darah terlalu lama."

Mendengar apa yang dokter katakan, Zivanya seolah tidak ada tenaga.

"Baik Dok. Akan segera saya urus!" ucap Arion dengan tegas. Sebelah tanganmya masih memeluk serta menahan Zivanya dari samping supaya tubuh gadis itu tidak sampai jatuh ke lantai.

Setelah itu dokter pamit dan pergi dari hadapan mereka. Arion pun membawa Zivanya duduk terlebih dahulu.

Pandangan gadis itu kosong. Jiwanya. Seakan tidak ada pada raganya.

"Zivanya," ucap Arion dengan suara yang pelan sekali. "Kamu tunggu disini gak apa-apa 'kan? Aku akan mengurus kepulangan jenazah ibumu terlebih dahulu."

Bola mata Zivanya bergerak ke arah Arion. Warnanya memerah dan sembab pada kantung matanya. "Aku gak tau lagi harus bilang apa selain terima kasih padamu Arion. Kamu sangat baik sekali padaku," lirih gadis itu. Suaranya pun masih bergetar.

Arion tak mampu berkata apa-apa. Entah kenapa sejak pertama kali ia bertemu dengan Zivanya, hatinya semakin tergerak ingin tahu tentang gadis itu, dan ternyata benar saja semua yang ia rasakan begitu nyata adanya. Sosoknya begitu dibutuhkan olehnya.

...----------------...

Sampai di rumah duka, peti yang membungkus jenazah almarhumah ibunda Zivanya di letakkan di ruang tamu yang sebelumnya kursi pun telah di keluarkan ke teras rumah.

Namun setelah itu Arion memilih hanya duduk di luar. Karena memang ia berbeda keyakinan dengan Zivanya.

Para tetangga berdatangan untuk melayat sebagai tanda bela sungkawa kepada Zivanya.

"Neng yang kuat ya, semoga amal ibadah ibu di terima di sisi Allah," ucap salah seorang tetangga pada Zivanya yang terus berada di samping jenazah ibunya, baru saja selesai mengaji.

"Terima kasih banyak, Bu," balas Zivanya berusaha tersenyum ditengah matanya yang sembab.

Lalu para tetangga bergantian mengaji untuk almarhumah.

Tiba-tiba Zivanya ingat akan ayahnya. Ia pun beranjak dan pergi ke kamar kedua orang tuanya.

Zivanya mencari berkas penting serta informasi lainnya. Namun ternyata kamar itu seperti kamar pada umumnya. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan jika dilihat sekilas oleh pandang mata.

Gadis itu terus mencari ke dalam lemari, laci serta kolong tempat tidur. Ia tidak menemukan apapun. Terutama sertifikat rumah.

"Dimana ayah atau ibu mrnyimpan sertifikat rumah ini? Perasaanku kok tiba-tiba tidak enak. Semoga tidak terjadi apa-apa," ucap Zivanya dalam hatinya. Ia akhirnya keluar dari kamar itu lalu pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian.

Saat baru saja selesai berganti pakaian, suara notifikasi pada ponselnya pun berbunyi. Zivanya segera melihatnya. Ternyata Arion yang mengirimkan pesan untuknya.

[Arion : Zivanya, maaf aku harus pulang terlebih dahulu. Nanti malam aku akan menjemputmu.]

Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Ia ingat akan janjinya untuk berkencan dengan Arion malam ini. Sebab, esok hari sudah harus berangkat ke sekolah seperti biasanya. Mengingat dalam hitungan minggu, ia akan segera melaksanakan ujian akhir nasional.

[Zivanya : Iya tidak apa-apa. Oke, sampai bertemu nanti malam.]

Setelah pesan terkirim, Zivanya keluar dari kamarnya.

Sebelum sore tiba, para tetangga membantu proses pemakaman almarhumah ibunda Zivanya. Suasana haru semakin terasa ketika sang ibu dikebumikan. Isak tangis pun tak bisa ditahan oleh gadis itu.

Diluar masalah yang terjadi pada kedua orang tuanya. Zivanya sangat menyayangi mereka. Rasa kehilangan yang saat ini dialaminya, begitu mendalam. Apalagi ibunya itu sosok yang ada setiap hari di rumah.

Meskipun jarang sekali berbicara panjang lebar untuk bercerita. Namun kenangan itu akan Zivanya simpan hingga suatu hari dirinya bertemu dalam dunia yang berbeda.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!