"Lu nggak mikir kalau ucapan Irana tadi benar adanya, 'kan Nur?" tanya Flora saat mereka sudah berada di parkiran.
Nurul mengangkat kedua bahunya.
"Nggak ada yang salah juga kalau lu emang suka sama Alvaro. Hal wajar. Gue juga nggak bakalan ngehakimin lu cuma karena hal seperti ini. Santai aja," jawab Nurul.
"Jawaban lu ini bikin gue ngerasa kalau lu emang percaya kalau gue suka sama si Alvaro. Demi apapun Nur, gue nggak suka sama dia. Emang sih garis hidupnya si Alvaro itu nyaris sempurna, tapi gue nggak tertarik."
Ada rasa kesal di hati Flora mendengar jawaban Nurul. Bukan seperti ini yang ia harapkan.
"Lu nggak usah khawatir. Gue percaya kok sama lu. Lu nggak suka sama Alvaro Genta Prayoga dan tadi gue hanya mengemukakan pendapat gue. Jadi ... lebih baik kita nggak usah bahas si Alvaro. Kita pulang aja dan lanjutin ngerjain skripsi. Oh iya, minggu ini gue belum ada jadwal bimbingan. Gue harap lu serius mau ngurus skripsi biar gue bisa bantuin lu bikin proposal. Gue harap kita bisa ujian skripsi sama," ucap Nurul tulus membantu Flora.
Mata Flora berbinar. Ia dengan cepat mendekap tubuh mungil Nurul hingga gadis itu mengeluh susah bernapas.
"Hehe ... sorry lah. Gue kelewat senang soalnya. Mendadak gue langsung semangat. Gimana kalau kita mulai aja hari ini. Kita ke rumah gue aja. Bantuin gue ya. Biar nyokap bokap lihat juga kalau gue beneran serius mau ngerjain skripsi," ucap Flora antusias.
"Baik nyonya." Nurul menjawab dengan pose memberi hormat.
"Ya nggak gitu juga kali. Yuk masuk mobil, kita jalan sekarang."
...***...
Di ruangan yang berukuran sekitar 5 x 5 meter, di dalamnya terdapat beberapa lemari dan juga seperangkat sofa yang terlihat usang serta satu meja besar yang dilengkapi dengan tiga kursi yang saling berhadap-hadapan.
Ruangan yang terlihat rapih dan tenang itu kini menunjukkan atmosfer sebaliknya. Di sofa sedang duduk beberapa tamu dan di balik meja besar itu seorang wanita paruh baya tengah menatap tegang kepada tamunya.
"Sekali lagi kami minta Bu Uswa segera mengambil keputusan. Ibu tenang saja, kami tidak akan melepaskan kalian begitu saja. Setelah panti ini kami ambil alih, kalian akan diberikan sejumlah uang dan modal untuk membangun panti asuhan yang baru. Kami sudah lelah dengan kebungkaman Anda selama ini. Kami butuh kepastian.
"Lagi pula bangunan ini berdiri di atas tanah milik keluarga Waluyo. Mereka memiliki bukti surat kepemilikan tanah dan jika pun dibawa ke persidangan maka Anda jelas akan kalah. Dan ini pun beliau sudah berbaik hati ingin membeli dan mengganti rugi pada Anda. Beliau akan membangun pusat perbelanjaan di daerah ini. Para warga yang lainnya sudah setuju dan menerima bayarannya, tinggal panti ini saja," ucap salah satu pria berjas hitam dengan setelan begitu rapih.
"Bukannya saya menolak atau bersikap mengulur waktu, Pak. Saya hanya sedang menunggu anak saya menyelesaikan kuliahnya. Tiga bulan lagi, Pak. Bisa kah?" tanya Bu Uswa.
"Itu terlalu lama!"
"Saya juga butuh waktu Pak. Anak-anak di panti ini banyak yang bersekolah. Saya harus mengurus surat pindah dan juga harus mencarikan sekolah baru untuk mereka. Saya harus menginformasikan pada para donatur tetap di panti ini. Saya mohon Pak, tiga bulan lagi. Saya juga masih harus mencari tempat yang baru. Tolonglah Pak," pinta Bu Uswa.
Tiga orang berjas hitam itu pun saling berbisik.
"Baik. Tiga bulan dari sekarang kami akan datang lagi dan saya ingin saat kami kembali, tempat ini sudah di kosongkan. Paham?!
"Paham Pak. Terima kasih banyak," ucap Bu Uswa dengan perasaan lega.
"Baiklah kami permisi."
Sepeninggalan para pria itu, Bu Uswa tetap tinggal di dalam ruangannya. Ia ingin menenangkan diri sambil memikirkan langkah apa yang akan ia ambil kedepannya.
Panti ini sudah ia kelola sejak tiga puluh tahun lamanya. Dahulu, ia dan suaminya memiliki usaha yang terbilang maju. Mereka memiliki kehidupan yang berkecukupan namun tidak memiliki anak. Pak Budi, suami Bu Uswa membangun rumah panti ini karena merasa kasihan pada istrinya yang selalu dirundung kesedihan karena tidak memiliki anak.
Niatan pak Budi ini disambut riang oleh Bu Uswa. Mereka menampung anak-anak jalanan hingga ada anak-anak balita yang kehilangan orang tua atau anak yang tak diinginkan oleh orang tuanya karena hasil hubungan yang tidak sah seperti contohnya Nurul Aina. Entah siapa orang tua dari gadis itu.
Rumah mereka yang dulunya hanya memiliki tiga kamar direnovasi dan juga diperluas karena lahan kosong memang masih cukup luas. Rumah menjadi ramai dan Bu Uswa tidak lagi merasa kesepian.
Satu ketika, pak Budi jatuh sakit dan usahanya pun perlahan-lahan mulai mengalami kebangkrutan hingga ia akhirnya tutup usia, usahanya pun tutup. Untung saja Bu Uswa bisa mengatasi ekonomi keluarga dengan membuat kue yang akan dijual oleh para anak asuhnya juga sumbangan dari donatur.
"Ibu nggak nyangka, harus meninggalkan tempat yang penuh kenangan ini," lirih Bu Uswa sambil memandangi bingkai foto dirinya dan sang suami.
Air mata Bu Uswa menetes melihat foto pak Budi yang sedang tersenyum hangat di sampingnya.
"Waluyo sungguh licik. Jelas-jelas tanah ini milik Mas Budi. Tapi aku bisa apa, surat tanah ini ada padanya. Salahku juga karena sempat meminjamkan sertifikat tanah padanya dan dengan liciknya ia mengganti atas namanya."
Bu Uswa menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan.
"Aku akan menunggu Nurul pulang dan akan membahas ini dengannya. Lebih baik aku memikirkan tempat tinggal baru untuk anak-anak daripada nanti mereka datang merusuh. Aku bicarakan ini dulu dengan Nurul. Nanti, jika sudah menemukan tempat baru maka anak-anak baru akan diberitahukan. Biarlah mereka menikmati waktu-waktu mereka. Pikiran mereka masih belum saatnya untuk diminta memikirkan hal-hal seperti ini."
...***...
Irana tersenyum puas setelah pertempuran panasnya di atas ranjang yang menghabiskan waktu berjam-jam. Dugaannya tidak salah, pria ini sangat kuat dan dirinya dibuat kelelahan hingga dirinya begitu lemas. Setelah pria itu pergi, ia baru beranjak dari tempat tidur menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Irana menatap penampilan dirinya yang polos tanpa sehelai benangpun di depan cermin. Ia nampak takjub dengan banyaknya jejak hasil percintaannya tadi.
"Luar biasa, hahaha."
Irana memutuskan untuk berendam air hangat. Sambil bersiul-siul ia mengingat kejadian panas yang baru beberapa menit lalu berakhir. Sesaat kemudian ia teringat akan kejadian beberapa jam sebelumnya di kampus.
"Hmm ... andai Alvaro bisa jadi milik gue. Gue pasti bakalan jadi wanita terbahagia di dunia. Alvaro ... lu nggak mau gitu nengok gue yang jelas-jelas ada di depan lu. Gue cinta sama lu Alvaro. Kalau saja lu mau jadi milik gue, gue siap ngelakuin apapun buat lu. Bahkan lu ajak gue bercinta pun gue pasrah-pasrah aja. Lu mau apa pasti gue turutin. Alvaro Genta Prayoga,I love you."
Kini wajah tampan Alvaro berubah menjadi wajah Nurul.
"Brengsek! Cewek itu kenapa harus hadir ditengah-tengah gue dan Alvaro?! Gue nggak suka lihat cara Alvaro natap dia. Lihat aja lu Nurul, gue bakalan bikin hari-hari lu kayak di neraka. Jangan coba-coba lu bermimpi buat dapatin Alvaro!"
Mata Irana terpejam, ia mencoba menepis wajah Nurul yang terlihat lugu namun baginya itu wajah yang begitu menjengkelkan.
"Oh Alvaro ... gue harap kita bisa mengulanginya lagi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
𝗹'M tᴵrᴱd [ akun ke 2 ]
aku agak gimana gitu sama karakter si Irana ini, gak wajar dan pikirannya di luar nalar
2023-09-22
0
Yuni
ternyata teman yg tulus tuu jrang,kebanyakan bermuka 2
2023-07-21
0
Biancilla
nah bener kan semua sandiwara alvaro
2023-07-16
1