Kabar pernikahan Glorien dan Samudra telah sampai ke telinga Rohan. Sebagai ayah dan tentu berdampingan dengan kekuasaan yang tak main-main, ia bisa saja menggeret paksa putrinya untuk pulang dan membatalkan pernikahan yang sama sekali tak diinginkannya. Selain soal harga diri di depan Darius, kepalanya juga berpikir lain. Rohan bukan orang yang gampang bertindak serampangan.
Glorien pergi karena tidak menyetujui permintaannya menggugurkan kandungan, maka Rohan tidak ingin memaksa lagi. Anak gadisnya dalam keadaan tertekan, tentu dia harus memakai cara lain.
Walau Glorien kini berbelok dari segala aturannya dan malah menikahi pria miskin mantan narapidana, tapi Rohan mau tak mau menerima dulu. Ia harus berpikir keras untuk mengambil Glorien dan mengembalikan ke tempat semula sesuai yang ia siapkan.
“Biarkan saja untuk saat ini. Putriku akan kembali tanpa harus aku paksa. Akan kubuat dia sadar, laki-laki macam apa yang telah dia nikahi.”
Pak Jo mengangguk paham. Di balik kalimat itu, tuannya tentu memiliki rencana besar, dan ia akan mengetahui dengan segera. “Baik, Tuan.”
...******...
Tanpa ada pesta meriah, tak ada jamuan makan besar, hanya acara akad dan selamatan alakadar, Samudra dan Glorien kini sah menjadi pasangan suami istri.
Menyinggung soal cinta, tali yang tersimpul di antara keduanya tidak--atau mungkin belum memiliki hal itu. Semua berlangsung hanya karena bentuk pertanggungjawaban atas calon anak yang ada dalam kandungan Glorien. Tapi semua tetap harus dijalani.
Saat ini pasangan pengantin baru itu tengah berada di dalam kamar Samudra.
“Kamu boleh kembali pada Pascal setelah anak dalam perut kamu lahir. Aku ikhlas rawat dia bareng Ayah sama Mia. Dia gak akan kekurangan cinta.”
Pernyataan Samudra membuat Glorien tertegun. Pandangan dipalingkannya ke arah jendela yang masih terbuka. Sesungguhnya dia bingung bagaimana harus menyikapi semuanya.
Di satu sisi, Glorien mencintai papanya, walaupun aturan pria tua itu banyak membuatnya tertekan, tapi dia juga peduli pada Pascal. Di sisi lain, ada seonggok daging dalam rahimnya yang akan terus berkembang. Dia akan menjadi ibu. Lalu apakah sanggup jika dia melakukan apa yang baru saja dikatakan Samudra?
“Aku ngantuk. Boleh aku tidur?” Pada akhirnya Glorien mengalihkan. Tak ada kalimat yang bisa jadikan jawaban. Hatinya masih buntu untuk berlakon.
Samudra mengangguk. Ekspresi itu, dia belum bisa memahaminya. Apa yang dipikirkan dan apa yang akan diputuskan istrinya, biar waktu yang beri jawaban.
*
*
Hari demi hari berlalu. Banyak hal yang terlewat.
Glorien mulai bisa beradaptasi di dunia Samudra yang sederhana. Sedikit demi sedikit perasaannya juga mulai terpaut pada lelaki itu.
Samudra dengan tulus mencurahkan segenap perhatian pada istri yang entah akan berapa lama mendampinginya. Dunia Glorien masih abu-abu untuk bisa ia kuasai sepenuhnya.
Untuk saat ini, biarlah semua berjalan sesuai alur yang berlaku.
Sebagai hadiah pernikahan, Darius membangunkan sebuah rumah kecil, kurang lebih berukuran tiga puluh meter persegi di tengah dua petak sawahnya yang berdampingan. Rumah sederhana yang indah bak di negeri dongeng.
(Ilustrasi - Kurang lebih, anggap saja begitu 😁)
“Bunganya mulai mekar!” Glorien berseru senang seraya mengangkat sebuah pot bunga 'pukul empat', di halaman.
Samudra yang duduk di bangku kayu dengan secangkir kopi, menatap senang sang istri. “Itu karena kamu merawatnya pake hati.”
Glorien menyambut tersenyum. “Kayak kamu jagain aku pake hati.”
Samudra balas tersenyum. Cangkir kopi di tangannya ia taruh di meja akar yang berada di samping kiri, lalu melenggang mendekati Glorien. Dipeluknya wanita itu dari belakang. “Jaga bayi kita,” katanya lembut mendayu. Diusapnya perut Glo yang masih rata naik dan turun. “Juga rumah dan bunga-bunga ini.”
Mengernyit kening Glorien menanggapi kicau suaminya itu. “Trus kamu?”
Sekian detik Samudra diam. Tengkuk Glo dengan wangi khas-nya ia hirup penuh rasa. Sejenak memejam mata menghayati perlakuannya sendiri.
Glorien masih menunggu.
“Aku mau pergi kerja ke luar kota.”
Dua mata Glorien membelalak. Hatinya tersentak menanggapi apa yang baru saja diutarakan Samudra.
“Ma-maksud kamu?”
Pelukan pun dilerai.
Glorien berbalik menghadap Samudra. Tatap matanya masih menuntut jawaban atas pertanyaannya sesaat lalu. Apakah Samudra sedang bercanda?
“Aku gak mau terus numpang idup sama Ayah. Aku mau idupin kamu sama bayi kita dari hasil kerja keras aku sendiri,” jelas Samudra dengan mimik serius.
Sesaat Glorien terpaku. Dalam mata Samudra ditatapnya dengan manik bergulir kiri dan kanan. “Tadi kamu bilang ke luar kota?” Samudra mengangguk tipis. “Apa itu jauh?”
Sejenak keduanya saling memandang dengan rasa yang sama--sama-sama berat.
“Kalimantan.”
...*****...
Tiga hari kemudian, Samudra benar-benar membuktikan ucapannya. Ia akan pergi ke Kalimantan.
Dan saat ini di pertigaan jalan pedesaan.
Sebuah mini bus sudah disesaki sekian orang yang kesemuanya berjenis kel4min laki-laki. Satu di antaranya adalah Samudra. Mereka akan bertolak ke sebuah tempat di Kalimantan. Sebuah perusahaan pertambangan batu bara, Samudra akan bekerja di sana bersama rekan-rekan dari satu kampung yang sama. Mereka disalurkan seseorang dengan perjanjian upah yang cukup besar.
Glorien ditemani Darius, melambai tangan dengan air mata berderai-derai. Rasanya sedetik lalu ia dan Samudra masih berpeluk saling melepas, sekarang mobil itu telah melaju dan menjauh kemudian menghilang ditelan jarak.
“Ayo pulang, Glo.” Darius mengajak kemudian. Rasa iba tak bisa ditepis dari hatinya. Tapi ia bisa apa? Sudah dilarang dan diminta tetap di perkebunan pun, Samudra tetap menolak dan memaksa untuk pergi.
Jalanan lengang masih ditatap Glo. Berat hati sebenarnya melepas pergi pria yang baru beberapa minggu jadi suaminya itu. Sayang ia pun sama seperti Darius--sama-sama tak bisa menahan.
Dengan langkah berat, Glorien berjalan menuju mobil pick up Darius lalu memasukinya. Sepanjang perjalanan pulang, ia terus merapal do'a; Semoga Samudra tetap dijaga Tuhan, juga dirinya diberikan kesabaran untuk menunggu.
Di dalam mini bus yang mulai memasuki perbatasan kota, Samudra termanggu diam seraya menatap jalanan di luar kaca. Jarak demi jarak terasa cepat. Ransel gendut miliknya ia taruh dalam pelukan. Sebuah ingatan lalu melintas. Dirogohnya gegas bagian depan tasnya yang kecil. Istrinya memasukkan sesuatu sebelum tadi ia memasuki mobil di pertigaan.
Senyuman haru seketika menghias wajah Samudra yang putih bersih tanpa komedo. Sepasang sarung tangan bayi. Entah dari mana Glo mendapatkannya. Ditatap Samudra benda itu hingga hampir dua menit lamanya, sampai kemudian ia kecup dengan rasa mendalam beriring getaran hebat di ujung dada.
“Gua bakal jadi bapak,” kata hatinya bangga. “Sabar ya, Glo Sayang, aku pasti cepet pulang. Moga bisa bawa uang yang banyak. Sekarung ato segentong, biar kamu gak usah balik ke Pascal lagi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments