Dibui tanpa kesalahan, Samudra pikir itu adalah ujian berat terakhir dalam hidupnya. Saat ini, lelaki itu bahkan masih berusaha melupakan setiap detik sialan yang terlewat di penjara dengan menjadi dirinya yang lain. Sayangnya, hidup kadang tak sejalan dengan yang dicita-cita.
Jam lima sore tadi Samudra mendapat telepon dari seorang pria yang kesulitan di tengah jalan karena mobilnya tiba-tiba mogok. Membawa sikap profesional atas nama pekerjaan, ia pergi tanpa beban dan pikiran keruh, karena orang itu merupakan langganan bengkelnya juga.
Namun sesampainya di tempat yang diinfokan, bukan mobil mogok yang ia temukan, melainkan sekumpulan pria kekar dengan kepal dan beberapa senjata tumpul di tangan mereka.
Samudra memandang heran seraya melepas helm dan turun dari motornya. Ia sempat celingukan mengedar tempat yang cukup senyap itu. Tak ada mobil pria langganan bengkel yang tadi menghubunginya.
Pandangannya lalu jatuh menyapa wajah satu per satu pria yang tak kalah garang menatapnya dengan seringai.
Setidaknya lima orang jumlah mereka.
Dan jaraknya dengan Samudra hanya beberapa meter saja.
Merasa tak mengenal dan tak ada kepentingan juga, Samudra memilih kembali naik ke motornya untuk pergi. Berpikir mungkin ia salah membaca lokasi yang tertera. Walau sebenarnya, setitik perasaan mengabarkan ada yang tak beres dengan orang-orang itu.
Dan benar saja, belum pengait helm di bawah dagu selesai ia kuncikan, sebuah benda melayang menimpa punggungnya dengan cukup keras. Samudra memekik memegang bagian yang sakit lalu menoleh.
Para pria itu sudah berada tepat di belakangnya dalam hitungan detik.
“Mau apa kalian?!”
Bukan jawaban berupa kata yang didapat, melainkan sebuah bogeman di wajah yang membuat Samudra tersungkur menimpa motornya sendiri. Darah menciprat saat pukulan kedua kembali melayang.
“Ini untuk pelajaran karena lu udah macem-macem sama Glorien Pascal!” Satu orang menjawab sembari menjambak rambutnya disertai injakan di bagian punggung.
“Aarrghh!” Samudra mengerang keras. Jika hanya satu atau dua orang, ia masih sanggup melawan, namun pukulan mereka susul menyusul dan berdebug debam menghantam setiap bagian tubuhnya hingga benar-benar tak berdaya. Ia menelungkup naas dengan kepala miring di atas aspal yang kasar.
“Cukup! Tinggalkan dia!” Yang berbadan paling besar berseru memberi komando.
Tiga tendangan terakhir memberi kesakitan luar biasa pada Samudra. Ia masih bisa melihat langkah mereka menjauh lalu memasuki sebuah jeep. Pandangannya sudah meremang. Seluruh tubuhnya terasa remuk dengan darah mengalir pasrah dari mulut dan pelipisnya yang robek. Perlahan, kelopak matanya mulai menipis, lalu terkatup menyusul hilang kesadarannya.
...****...
Glorien coba menjalani harinya seperti biasa.
Kuliah dengan rajin, berlatih balet, piano dan biola, belajar ilmu bisnis bersama Pak Jo dan lain-lain, kembali ia tekuni.
Gaun-gaun manis yang sempat membuatnya merasa seperti barbie hidup, kembali dikenakan dengan pasrah walau sebenarnya ia sudah sangat bosan dengan itu.
Ya, menjadi putri manja dan penurut, bertingkah seperti boneka remote yang dikendalikan sang papa, mungkin adalah jalan hidupnya.
Pemberontakan kemarin cukup menjadi kenangan bodoh yang tak perlu diingat apalagi diulangi.
Glorien adalah Glorien--seorang putri tunggal, cikal bakal pewaris Pascal Corporation yang harus taat pada aturan.
Sikap sang papa yang dingin di detik setelah ia kembali ke rumah pasca melarikan diri, mulai mencair seiring sikap putri keraton kembali ia tunjukkan.
Saat ini di bingkai jendela kamarnya yang menganga, Glo terduduk menatap langit luas yang baru saja menurunkan gerimis. Rambutnya melambai-lambai menampar pipi karena sapuan angin.
Sebaik-baik ia berperan sebagai Glorien bagaimana biasa, tetap rasa hatinya tak bisa menipu. Eksplorasi dua hari hasil pemberontakannya cukup memupuk kenangan yang sulit untuk ditepis. Walau Lola--teman yang ia cari-cari saat itu, tak sempat ia temukan apalagi memberinya kebebasan seperti yang dijanjikan gadis itu, tapi Glorien menemukan yang lainnya.
Ia menemukan Samudra.
Ya!
Wajah itulah yang kini menguasai pikiran dan hatinya, hingga berkabut dan membentuk gumpalan menyesakkan di dalam dada.
Tak menyangka, Samudra bukan angin yang hanya melintas lalu menghilang. Ternyata sesulit ini melupakan si bren9sek itu. Terlebih sesuatu yang paling berharga dalam dirinya telah Glorien berikan pada lelaki-- yang sialnya bukan siapa-siapa dalam kehidupannya yang tak berwarna.
Tanpa sadar erat tangan memeluk dirinya sendiri. Glorien merasakan hatinya semakin kosong. Sesingkat itu pertemuannya dengan Samudra, justru malah membuatnya merasa merindu.
“Nanti masuk angin.”
Suara itu membuat Glorien tersentak dari lamunan. Gegas menoleh ke arah asalnya. “Sakti!”
Pemuda dengan lesung pipit menawan itu tersenyum menyambut keterkejutan gadis di depannya. Sehelai kain ia balutkan ke pundak Glorien dengan pelan dan hati-hati. “Lamunin apa, sih?” tanyanya. “Sampe gak sadar aku masuk.”
Seraya menepis canggung, Glorien turun dari jendela. “Nggak. Gak ada!” elaknya. “Aku cuma agak lelah hari ini, jadi sedikit butuh udara segar.”
Pemuda bernama Sakti itu tersenyum. “Gak ada angin segar. Di luar lagi ujan,” katanya. “Ayo masuk. Biar aku tutup jendelanya.”
Glorien mengangguk lalu mengayun langkah menuju ranjang. Sakti menyusul setelah jendela rapat tertutup berikut tirai putihnya yang bercorak spiral.
Kursi pasangan meja belajar Glorien diduduki Sakti kemudian. Sebuah buku tebal diambil lalu disibaknya, membaca isinya sambil lalu tanpa dicerna otaknya sedikit pun.
“Kamu ada apa ke sini?” Glorien membuka tanya. Kain yang tadi dibalutkan Sakti ke pundaknya, ia lepas dan tercampak kemudian di atas bantal di belakangnya.
Buku tebal yang tersangga di satu tangan kembali Sakti letakan di tempat asal. Ia mengangkat wajah untuk bertemu wajah Glorien yang kini menatapnya ingin tahu.
“Sabtu besok 'kan kamu libur panjang sampai Rabu, aku mau ajak kamu jalan-jalan,” terang Sakti.
“Jalan-jalan?” Glorien mengulang dengan terheran. “Jalan-jalan kemana?”
Sakti meraih ponsel yang terselip di dalam saku kemeja denim yang dikenakannya. Sesaat menyapu usap layar, lalu menyodorkan benda itu pada Glorien. “Ke sana.”
Layar ponsel menyala dengan tampilan sebuah pemandangan alam nan indah lengkap dengan keterangan lokasinya, ditatap Glorien cukup terkejut. “Lombok?”
“Humm!” Sakti mengangguk. “Gimana? Tertarik?” tanyanya kemudian.
Wajah senang disertai anggukan semangat Glorien disambut Sakti juga tak kalah senang. “Kita berangkat sore ini juga!”
Glorien kembali terkejut. “Secepat itu?! Trus papaku?” Ekspresinya seketika berubah bingung.
Tekuk tubuh diluruskan Sakti. Ia berdiri lalu berjalan menghampiri Glorien meninggalkan meja belajar. Lahan kosong kasur empuk di samping gadis itu ia duduki tepat berhadapan dengan pemiliknya kemudian. “Aku udah atur semuanya. Om Rohan setuju kok.”
“Serius?!” Glorien tak percaya.
“Hmm.” Senyuman Sakti menunjukkan bahwa ia tak main-main. “Jangan lupa bawa baju anget yang banyak. Lombok cukup dingin di musim ujan kayak gini.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Machan
tar ketemu bambang di sono
2023-03-14
2
Machan
pengsan
2023-03-14
0
NA_SaRi
Nasiblah bang sam
2023-02-28
0