Glorien tak pernah membayangkan, hanya satu kali aksi demo terhadap ayahnya, akan menimbulkan dampak yang begitu besar atas dirinya.
Keinginan memutar waktu tentu hanya kiasan. Tak ada yang seperti itu.
Di pelukan Mbor Rum, kini ia menumpahkan segala keluh dan tangisnya. Semua hal yang jadi alasan kenapa dirinya harus begini, telah ia ceritakan penuh pada wanita tua yang telah dianggapnya pengganti ibu tersebut.
Walaupun cukup terkejut, Mbok Rum tetap berusaha tenang. Kepalanya terus bekerja, bagaimana caranya agar semua tak menjadi boomerang bagi gadis kaya yang dirawatnya sedari kecil tersebut.
“Kita pulang ya, Non," ajak Mbok Rum.
Mereka saat ini berada di sebuah taman.
Glorien tak mau pulang. Ia tak tahu bagaimana cara menghadapi sang ayah yang sudah pasti akan murka jika mengetahui dirinya kini tengah mengandung. Mengandung seorang anak dari pria antah berantah yang bahkan tak jelas bibit bebet dan bobotnya.
Kenyataan memang terkadang sepahit itu.
“Aku harus gimana, Mbok?" Glorien masih terisak.
Mbok Rum terus coba menenangkan, walau sebenarnya ia pun sama bingung. “Kita pikirkan nanti ya, Non. Sekarang kita pulang dulu, sebelum papa Non yang keburu duluan sampai di rumah.”
Mengingat wajah berang ayahnya, Glorien mengangguk mengiyakan.
Sampai di rumah, wajah Martin sudah menyambut dengan tatapan ingin tahu di posisinya yang terduduk santai di ruang tengah. Namun gegas Mbok Rum memboyong Glorien menaiki tangga menuju kamar.
“Hh, putri bodoh itu!” cibir Martin dengan bibir sedikit naik.
Tak lama setelah Glorien tak terlihat, dari arah pintu luar, Rohan Pascal, Pak Jo disusul seorang gadis berperawakan mungil masuk ke dalam rumah.
Sontak Martin mengangkat tubuh memberi ucapan selamat malam pada pamannya yang dingin itu. Rohan tak banyak menggubris, dia dan Pak Jo langsung melangkah menuju ruang kerjanya.
“Malam Tuan Martin,” sapanya. Dia itu Yara--putri tunggal Pak Jo yang bekerja di perusahaan Pascal sebagai anggota salah satu divisi. Sebelum pulang, Rohan memintanya untuk ikut karena ada sedikit pekerjaan yang membutuhkan bantuan gadis cerdas itu.
Dengan gaya selengean sok-sokan cool, Martin mendekati Yara. “Selesai sama kerjaan kamu, kita makan di luar yuk," ajaknya dengan kedipan.
Yara tersenyum nge-blush. Dia memang suka Martin, tapi terlalu malu dan selalu menampar diri untuk sadar dengan harga hormat terhadap seorang Rohan. Ia hanya anak seorang asisten, tentu merasa tak pantas berdekatan dengan Martin melewati batasnya sebagai bawahan yang bukan siapa-siapa.
Martin, gadis mana yang bisa tahan dengan pesonanya. Dia arogan, tapi juga jenis penggoda yang handal. Banyak gadis yang terbuai dan berakhir kehilangan perawan hanya dengan satu kedipan mata. Dianugerahi tampan wajah melayu. Manis dengan kulitnya yang eksotis hasil berjemur di pantai setiap akhir pekan bersama sang mama.
“Maaf, Tuan. Saya permisi.” Suara lembut Yara mengabaikan. Ia berlalu menyusul ayahnya dan Rohan ke ruang kerja. Lama berdekatan dengan Martin, 'tak baik untuk kesehatan jantungnya yang dagdigdug tak karuan acapkali pertemuannya dengan pria itu.
Dengan kedua tangan terselip di kedua saku celana, Martin terkekeh geleng-geleng menyikapi tingkah menggemaskan gadis itu. “Kelinci kecil ... tunggu aku menyeretmu,” gumamnya picik, kemudian ikut berlalu dari sana seraya bersiul-siul.
Di ruang kerja, bersama Rohan dan ayahnya, Yara baru saja menerima lembaran yang harus ia kerjakan. Laptop berlogo apel separuh gigit, sudah berlabuh di atas meja tepat di hadapannya. Dengan gesit jari jemari lentiknya mulai bekerja. Bait demi bait inputan data dalam bentuk excel masuk ke dalam layar.
Pak Jo ikut sibuk dengan lembar lain di sofa sebelah kiri dekat putrinya, sesaat setelah bos besarnya berlalu dari sana. Rohan pergi menuju kamarnya untuk beristirahat.
Menit ke sekian belas, ponsel Yara tiba-tiba berbunyi. Bunyi singkat dari pesan watsap yang baru saja masuk. Ia menunda sejenak pekerjaannya untuk sekedar membuka dan membaca pesan itu.
Detik berikutnya, tarikan senyum terlihat menggelitik bibir dengan gincu cherry miliknya.
Pak Jo menoleh tatap pada putrinya. “Yara,” ia menegur. “Cepat selesaikan pekerjaannya. Kamu harus pulang dan istirahat.”
Yara mengangguk. Gegas ponsel kembali ditaruhnya di atas meja. Gerakan jarinya semakin cepat seolah tengah dipukuli.
Pak Jo hanya geleng-geleng kepala, lalu kembali fokus pada gawainya.
“Yara udah selesai, Yah!” kata gadis itu baru saja menutup laptop.
“Sebentar, Ayah telepon Pak Giman buat anter kamu,” kata Pak Jo. “Ayah masih banyak pekerjaan. Gak bisa ikut kamu pulang.”
Namun baru saja merogoh saku jasnya untuk mengambil ponsel, Yara menginterupsi, “Gak usah, Yah! Yara udah pesen taksi online. Kasian, Pak Giman 'kan juga harus istirahat.” Tas mulai diselempangkannya ke atas pundak. “Ayah juga jangan capek-capek!”
Pak Jo mengangguk. “Ya sudah. Hati-hati. Sampe di rumah jangan begadang,” pesannya seraya menerima uluran tangan Yara yang menyalaminya.
“Oke, Yah!” Yara kemudian berlalu cepat.
Ternyata pesan yang diterimanya berasal dari Martin.
Pria 27 tahun itu sudah menunggu dengan senyum dan lambaian tangan sedikit jauh di luar gerbang. Mobil merah marun milik sang ibu disenderinya santai saja.
Yara mendekat. “Kenapa Tuan maksa, sih?” tanyanya dengan senyum malu-malu. “Saya 'kan jadi gak enak.”
Martin memasang senyum semanis mungkin. Pintu mobil sudah disibaknya. “Cuma pengen anter pulang. Apa salahnya sih?” Didorongnya kedua bahu Yara dari belakang untuk masuk ke dalam mobil. Ia memutar ke arah depan untuk kemudian masuk ke pintu lain mengambil posisi kemudi. Mobil itu pun melaju cepat.
Sepanjang perjalanan, keduanya banyak bercanda. Setelah lama saling bicara, Yara tak lagi sekaku sebelumnya, dan itu membuat senang Martin yang memang ahlinya dalam menggoda.
“Kita udah sampai,” kata Yara. “Makasih kamu udah mau anter aku pulang.”
Ya! Martin melarangnya memanggil Tuan saat tak berada di lingkup Pascal, dan Yara setuju pada akhirnya walaupun cukup merasa canggung.
“Gak nawarin aku mampir dulu?”
Pertanyaan Martin sontak menghentikan gerak Yara yang baru saja hendak turun menapak aspal. Dengan kaku, gadis itu berbalik, lalu mendapati Martin yang memandang penuh harapan.
“Tapi 'kan ini udah malem.” Yara menolak tak sebanding hati, yang sebenarnya ia masih ingin berlama-lama dengan pria itu.
“Baru jam 9.20." Martin melirik arloji di tangannya. “Habis segelas kopi juga aku pasti pulang kok!”
Sejenak Yara tercenung untuk berpikir.
“Ya, udah kalo gak boleh! Aku pulang aja!” ujar Martin.
“Eh, jangan gitu!” cegah Yara tak enak hati. “Ya, udah! Secangkir cappuchino. Trus kamu pulang, ya!”
Martin tersenyum senang seperti kejatuhan bintang, lalu mengangguk. “Oke!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Sry Handayani
hoh dasar bajing loncat
2024-11-23
0
Sulaiman Efendy
GOBLOK BANGET TU PUTRINYA PAK JO, MAU AZA DIKADALIN SI MARTIN
2023-11-20
0
NA_SaRi
Adoooh, jgn mau kalo diajak ngopi sambil kecap kecup ya neng
2023-03-03
1