Glorien cukup menyesalkan kenapa Mada tidak mau memberitahunya perihal keberadaan Samudra. Kini harinya berjalan seolah kedua kaki tak menapak bumi. Hidupnya seperti melayang-layang tak tentu arah, memangku jiwanya tak dengan rasa.
Sampai seminggu kemudian, Rohan Pascal mulai merasa ada yang tak beres dengan tingkah dan sikap putri semata wayangnya. Hal demikian ia nilai dari Glorien yang jarang ikut makan pagi dan malam bersama, lebih banyak mengurung diri sepulang kuliah, juga wajah yang terlihat semakin pucat.
Siang itu, Mbok Rum dipanggil Rohan ke ruangannya untuk setidaknya menjawab beberapa pertanyaan tentang sang putri.
“Nona Glo cuma masuk angin, Tuan. Ditambah tugas kampus yang menumpuk, kata dokter dia kelelahan juga.” Sebisa mungkin Mbok Rum memasang ekspresi wajar. Ia belum bisa mengatakan sejujurnya karena cemas terjadi hal buruk pada nonanya. Rohan Pascal tak akan tinggal diam apalagi dengan legowo menerima bayi dalam kandungan Glorien, jika semua diketahui pria itu saat ini.
Kondisi Glo tengah kacau dan terpuruk. Perlakuan sang ayah nantinya hanya akan memperburuk keadaan yang telah buruk pada dasarnya.
Dengan mata tajamnya, Rohan menatap Mbok yang berdiri di hadapan dengan tangan tertaut di depan perut dan merunduk. “Baiklah. Mbok boleh keluar. Saya akan temui Glo di kamarnya nanti.”
Mbok Rum mengangguk patuh. “Baik, Tuan. Saya permisi.”
...*****...
Sukabumi.
Baik Darius maupun Miana, keduanya tak peduli dan coba menutup telinga dengan rapat. Gunjingan orang tentang kembalinya Samudra ke kampung halaman memang mengundang keriuhan tak pantas di sekitaran. Beruntung Miana dan ayahnya sudah terlalu kebal untuk tersinggung, sakit hati, apalagi membalas. Samudra tak bersalah--satu kalimat yang tetap keduanya yakini sampai hari ini dan mungkin hingga akhir hayat.
Kini Samudra telah pulih. Orang-orang juga mulai bisa beradaptasi.
Perkebunan sayuran milik Darius cukup luas. Satu yang tak bisa dielak, sesuap nasi yang masuk ke tenggorokan dan perut mereka di sekitar, adalah dari hasil menjadi pekerja di kebun Darius. Demikian mereka cukup malu untuk bersikap anarkis pada Samudra walau hanya sekedar melempar canda.
Namun seiring berjalannya waktu, keyakinan tentang ketidakbersalahan Samudra mulai tumbuh di benak orang-orang. Sikap hangat dan peduli juga penuh kasih yang ditunjukkan pemuda itu meluruhkan benci dalam diri mereka jadi empati. Kini nama baik Samudra benar-benar telah kembali.
*
*
Samudra berpasrah. Masalahnya dengan Glorien, mungkin sudah berakhir. Ia akan memulai kehidupan baru di Sukabumi seperti dulu.
Hari ini jatah pemuda itu mengirim sayuran ke pasar perbatasan. Sebuah mobil pick up berwarna hitam dikemudikannya. Satu orang pegawai Darius ikut berperan sebagai tukang bongkar nantinya, duduk di jok samping Samudra.
Kesibukan mulai nampak setelah keduanya sampai di tujuan.
Samudra membantu alakadarnya.
“Ngopi dulu yuk, Kang.” Samudra mengajak pria itu--sebut saja Kang Omon. Kumis tebalnya membuat tampilan Kang Omon seperti preman, tapi dia baik hati dan tidak sombong juga tak makan sabun.
“Hayu!” sahut Kang Omon antusias.
Sebuah kedai kopi di tepian pasar dipilih Samudra. Dua gelas kopi hitam terhidang sesuai pesanan. Kang Omon menyalakan sebatang rokok seraya bersandar tiang menikmati moment. Sementara gerimis mulai turun, menyebar di segala sudut yang terbuka.
Satu buah roti kemasan diambil Samudra dari keranjang di atas meja. Ia mengupas lalu mengunyah penuh rasa.
Saat yang sama, seorang gadis berjalan menuju sebuah toko kelontong di samping kedai. Samudra memerhatikan melalui ekor mata pada mulanya, sampai kemudian kepalanya ikut meliuk merasa tertarik.
Semakin diperhatikan, semakin ia mengenali sosok tersebut.
“Riani.” Samudra berdesis menyebut nama wanita itu.
Riani adalah gadis yang enam tahun lalu menyukai dan mengejarnya seperti orang gila.
Riani juga yang secara tidak langsung menyebabkan ia dibui tanpa kesalahan akibat tuduhan yang tak berdasar.
Ya! Riani adalah anak tuan pemilik pabrik tekstil yang menjadikan Samudra sebagai salah satu terdakwa kasus perampokan kala itu, hingga berkubang lima tahun lamanya dalam penjara.
Samudra menolak cinta gadis itu karena beberapa alasan.
Saat itu ia masih terbilang remaja untuk serius berhubungan dengan seorang gadis, sementara Riani memaksa ingin menikah.
Namun siapa sangka, penolakan itu justru menjadi pemantik yang menyulut kemarahan ayah Riani, hingga tuduhan perampokan itu pun terlimpah pada Samudra. Semua seperti sudah terencana dengan matang. Darius dan Samudra seperti kecoak terinjak yang tak mampu berkoar melontar pembelaan, karena keabsahan semua bukti. Entah bagaimana semua terjadi.
“Kang, tunggu bentar, ya!" kata Samudra pada Kang Omon.
“Rèk kamana, Sam?”¹ tanya Kang Omon.
“Nemuin anak Juragan!”
Kang Omon geleng-geleng. “Dasar budak ngora!”² Lalu melahap satu buah pisang goreng di atas nampan dengan rakus.
Dan saat ini ....
“Hay, Riani!”
Wanita itu berbalik spontan lalu tercengang. Lelaki yang menyapa dan kini berdiri di depannya jelas ia mengenali walau setidaknya butuh sekian detik. “S-Samudra,” desisnya.
“Gimana kabar kamu?” tanya Samudra begitu santai. Santai yang dipoles sengaja untuk menutupi sikap berang sesungguhnya dalam hati. Ia masih cukup dendam pada wanita itu terutama keluarganya.
Bukan menjawab, Riani malah mundur dengan kaku, lalu berlari menjauh di langkahnya yang ke sekian.
Samudra tersenyum. Sekali hentak bergerak, berhasil diraihnya pergelangan tangan wanita itu.
“Ka-kamu mau apa?” tanya gagap Riani. Ekpsresi itu jelas menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Berkali coba ditariknya tangan dari cekalan Samudra, namun tak berhasil.
“Kenapa ketakutan gitu?” tanya Samudra.
Riani tak menjawab. Tenggorokannya terasa berat seperti tercekik. Sepasang mata bulatnya memutari wajah Samudra sana-sini seolah memohon.
“Aku cuma mau ngobrol," kata Samudra.
Riani akhirnya diam. Ketegangannya perlahan mengendur. “Ma-mau ngobrol apa?” tanyanya seraya mengusap pergelangan tangan yang baru saja dilepas Samudra.
“Kita cari tempat.”
Langkah lebar Samudra diikuti Riani. Wanita muda itu berjalan di belakang, sambil sesekali mencuri pandang punggung Samudra yang terlihat lebih kekar dibanding yang diingatnya hampir enam tahun lalu. Tak elak, hatinya masih saja berdesir menandakan perasaan itu masih ada dalam hatinya. Terlebih Samudra kini jauh lebih tampan dan matang di usianya yang menginjak angka 24.
“Di sini aja!”
Di depan sebuah kios tutup. Satu kursi panjang diduduki Samudra lebih dulu. Riani mengikut ragu setelahnya.
Bait obrolan basa-basi mulai lancar dari keduanya. Hingga sampai pada kalimat inti Samudra yang sukses membuat Riani terkejut lalu tertunduk dalam.
“Apa ayah kamu puas setelah berhasil penjarain aku? Dan apa hidup kamu tenang setelah itu?”
Riani mulai terisak. Air matanya terus jatuh menimpa sepasang tangan yang ia tautkan di atas paha.
Samudra bukan si raja tega. Melihat wanita menangis, ia seperti melihat Miana yang meronta menangis berteriak saat ia digelandang polisi kala itu. Hatinya ikut berdesir. “Udah, gak perlu jawab!” ucapnya seraya memalingkan wajah.
“Ayah aku udah dapet ganjaran dari dosanya sama kamu, Samudra! Dia sekarang sakit stroke, gak bisa ngapa-ngapain. Usaha kami bangkrut. Ibu pergi ninggalin kami. Sekolah aku juga berantakan. Dan sekarang aku udah nikah sama lelaki tua juragan ikan, cuma buat bantuin pengobatan ayah!”
********
¹ . Rèk kamana, Sam? \= Mau kemana, Sam?
² . Dasar budak ngora! \= Dasar anak muda!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Eka Awa
karna nya di bayar lunas sudah sam
2024-11-22
0
Sry Handayani
karma nya
2024-11-23
0