Menjadi seorang narapidana tanpa kesalahan, Samudra menjalani hukuman [tentu] yang tak seharusnya. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dikatakan hanya sekedar. Samudra menderita sekaligus berusaha kuat selama itu.
Dipukuli, dijambak, dirampas jatah makan, hingga dipaksa menjadi budak nafsu para pria napi senior yang kehausan karena tak satu pun ada wanita di sana, yang pada akhirnya Samudra kembali babak belur karena menolak.
Sekeras itu yang ia jalani dalam dinginnya jeruji tahanan.
Samudra bahkan merasa jijik pada dirinya sendiri karena lemah terlalu lama. Kekuatannya muncul setelah hampir satu tahun ia berada di sana. Berani melawan karena tuntutan juga lelah diperbudak sesama napi--meskipun dia hanya kambing hitam pada nyatanya. Hidup terkadang setolol itu.
Dan saat ini, pertemuannya dengan Riani, seketika mencuatkan kembali perasaan dendam dalam hatinya atas semua derita yang ia rasakan.
Akan tetapi ....
Siapa sangka perasaan ingin menghancurkan itu bisa berbalik lemah dan rapuh di waktu yang hanya hitungan menit.
Samudra memang dendam, ia benci pada Riani dan keluarganya, tapi Tuhan ... justru menghadiahi semuanya lebih cepat dari yang dia bayangkan, bahkan sebelum ia berniat membalas dengan tangannya sendiri. Riani dan keluarganya hancur di waktu nyaris bersamaan dengan saat ia masuk ke dalam penjara.
Sekontan itu sebuah karma diberlakukan?
Sekarang Samudra termenung di dalam mobil yang sudah melaju menuju pulang. Kemudi digantikan Kang Omon. Samudra merasa tak bertenaga. Tubuhnya mendadak lemah. Kang Omon bertanya kenapa, hanya dijawabnya, “Masuk angin, Kang.” Pria berkumis itu mengangguk paham dan menyuruhnya istirahat saja.
Bayangan tangis Riani terus membayang di pelupuk mata. Perasaan iba menyeruak cepat menampari sisi kemanusiaannya. Lima tahun dibui ... itu bukan waktu singkat yang mudah diterima, tapi ganjaran terhadap keluarga Riani, melibatkan banyak orang yang sakit dan merugi, rasanya sudah cukup sebagai balasan.
Sekarang Samudra berpikir, ‘Penjara mungkin adalah sekolah, untuknya berubah menjadi sosok yang lebih tangguh secara mental’.
Satu jam waktu tempuh sudah berakhir. Mobil pickup yang dikendalikan Kang Omon terparkir baik di halaman rumah Darius. Samudra turun lalu duduk terkulai di bangku teras.
“Mau Akang kerokin, Sam?” tanya Kang Omon merasa prihatin.
“Gak usah, Kang. Minum aer anget trus tidur bentar juga baekan kayaknya," tolak ramah Samudra.
“Kitu, nya?" Kang Omon mengernyit kening. “Ya udah atuh. Akang pamit balik dulu. Ini kunci mobilnya Akang taro di meja.”
“Iya, Kang. Makasih yak.”
Kang Omon mengangguk kemudian berlalu.
Jam-jam menjelang ashar seperti saat ini, Darius mungkin masih berada di perkebunan, sedangkan Miana masih di kampus atau mungkin di villa singgah.
Rumah sederhana itu nampak sepi.
Seraya memegangi kepalanya yang tiba-tiba nyeri, Samudra melangkah untuk masuk ke dalam rumah. Namun belum sampai langkah menjejak keset bertuliskan ‘welcome’ di depan pintu, sebuah suara menginterupsi.
“Samudra.”
Itu tak terlalu keras, bahkan lebih terdengar seperti rintih, namun berhasil mencuri perhatian Samudra untuk berbalik.
Tepat ditangkapnya seonggok tubuh yang berdiri beberapa jarak di belakangnya, jantung Samudra mendadak bertalu cepat. Bola matanya bahkan ikut membesar. “Glo.”
Langkah pelan terangkat mendekat ke arah Samudra. Dengan mata menetes buliran bening, Glorien terlihat kacau. “Sam.”
Samudra merasa sedang bermimpi. Ia terpaku diam. Glorien sudah berdiri tepat di hadapannya dengan wajah terdongak karena tinggi yang tak sebanding.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Samudra bingung. Dari air mata gadis itu, pandangannya kemudian berbelok ke lain tempat di mana sebuah koper dorong milik Glorien berdiri di ujung teras. “Kamu kabur lagi?”
Glorien mengangguk. “Iya.”
Samudra melotot kaget. “Kamu kok doyan banget sih, kabur-kaburan?” tanyanya tak habis pikir. “Trus dari mana kamu tau aku di sini?”
Dalam isaknya Glorien menjawab, “Mada.”
Membuat Samudra memutar bola mata mendengar nama sialan itu. “Kutu kupret!” umpatnya, lalu kembali memandang Glorien dengan prihatin. “Ya udah kamu duduk dulu. Aku ambilin minum bentar.”
Glorien mengangguk lalu duduk di kursi yang tadi diduduki Samudra. Sementara lelaki itu mencelat ke dalam rumah untuk mengambil air.
Selang beberapa saat keduanya sudah duduk mengisi masing-masing kursi--terhalang meja bulat di tengahnya.
“Gimana kabar kamu, Glo?” Samudra membuka cakap.
Sikap Glo nampak tak biasa. Samudra jelas tahu gadis itu tengah bermasalah. Tapi mengapa harus lari padanya? Bukankah akan lebih keruh jika mereka kembali bertemu seperti ini?
Ragam asumsi mulai memenuhi kepala lelaki 24 tahun itu.
Pun ia mengingat kembali bagaimana ketika dirinya dihajar orang-orang suruhan Pascaal hingga koma. Lalu kemunculan Glorien saat ini ...?
“Aku hamil, Sam!”
‼️‼️‼️‼️
Tak ubah petir mencabar langit.
Pemberitahuan itu seperti menyetrum seisi jiwa Samudra. “A-apa kamu bilang?!” Berharap ia mungkin salah mendengar.
Glo dengan cepat menghentak wajah ke arah lelaki itu. Air mata masih setia berderai di kedua bilah pipinya yang kini tirus. “Aku serius. Aku hamil, Sam! Hamil anak kamu!”
Jantungnya melompat. Samudra benar-benar seperti disengat listrik ribuan volt. K-O!
“Ha-hamil?”
“Ya!” sergah Glorien, lalu kembali merunduk, menatap jari jemarinya yang saling meremass di atas lahunan. “Usianya delapan minggu.”
Dalam sepersekian menit Samudra membeku dengan mata masih melebar. Rasa tak percaya masih menggoda. Tapi melihat mata Glorien yang berair itu, ia tahu ... tak ada kebohongan di dalam sana.
“Trus aku harus gimana, Glo?” tanyanya kemudian setelah berhasil mengendalikan rasa terkejutnya.
Glorien kembali menoleh dan menatap ke dalam mata sendu lelaki di hadapannya itu. “Nikahin aku!”
Keterkejutan yang baru luntur seketika kembali lagi. Samudra semakin bingung. “Tapi papa kamu? Keluarga kamu?”
“Itulah alasan kenapa aku melarikan diri!” serobot Glorien. “Aku gak mau bunuh anak aku, Samudra." Suaranya melemah. “Papa maksa aku buat gugurin bayi ini,” sambungnya putus asa.
Hantaman tak kasat mata menyerang jiwa Samudra. Ada kilatan emosi tertahan dalam sorotnya. Ia terdiam di sekian waktu.
Hingga suara Glorien kemudian menyadarkannya, “Kenapa, Sam? Apa kamu juga mau aku gugurin bayi ini?”
Lagi, jantung Samudra melompat mendengar pertanyaan itu. Kini ia beranjak dari duduknya. Dengan posisi membungkuk, dipegangnya kedua bahu Glorien, lalu berujar, “Dengerin aku, Glo! .... Biarpun aku bukan orang baik, tapi aku bukan pembunuh! Demi Tuhan ... apa pun yang terjadi, kita harus pertahankan bayi ini! Bayi dalam kandungan kamu! Bayi kita! Darah daging kita!” Lantas direngkuhnya tubuh Glorien dalam dekapan. “Aku pasti tanggung jawab dan berusaha jaga kalian.”
Menanggapi kata demi kata lelaki itu, seketika perasaan Glorien menghangat. Ia sesenggukan dalam haru yang tak bisa dijelaskan. Perlahan, dua tangannya terangkat, kaku di udara, lalu melingkar rekat di pinggang Samudra. “Aku tau kamu orang baik.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments