“Duduklah,” kata Samudra seraya menaruh bungkusan nasi padangnya di atas meja.
Gadis yang beberapa saat lalu diselamatkannya dari pria hidung belang itu masih berputar-putar--mengamati sekitar kediamannya.
“Kamu kerja di sini?” tanya gadis itu, sekedar berbasa-basi. Ia mendudukkan diri pada sebuah kursi bersekat meja bundar di tengah-tengah yang menghalangi satu kursi lain di seberangnya.
Dengan satu gelas air di tangan, Samudra menjawab, “Bukan cuma kerja, tapi juga tinggal.” Lantas diberikannya gelas itu pada si gadis yang belum ia ketahui namanya, karena belum ada perkenalan antar keduanya secara khusus.
Gelas air putih sudah berpindah tangan. Kernyitan di dahi si gadis cukup kental menyikapi jawaban Samudra yang kini telah duduk berhadap-hadapan. “Tinggal di sini?” ulangnya terheran. “Di dalam bengkel?” sambung hatinya merenyih.
“Hmm," jawab singkat Samudra seraya membuka bungkusan nasi di atas meja. “Ayo makan," ia mengajak. “Tapi maaf, cuma ada satu bungkus aja.”
Gadis itu mengerjap lalu menggeleng. “Nggak. Kamu aja.”
“Yakin?” tanya Samudra memastikan seraya menatapnya. Gadis itu mengangguk cepat.
Aroma nasi padang berkuah gudeg dengan udang balado sebagai lauk, menyeruak ke penciuman, membuat Samudra tak tahan untuk segera melahapnya dengan semangat, tak peduli jadi tontonan satu pasang mata di depannya. “Ya udah, kalo gitu aku makan dulu.”
Seraya memegang gelas dengan dua telapak tangannya di depan dada, gadis itu menatap lekat Samudra yang sibuk dengan suap demi suap nasi ke mulutnya. Berdesir hatinya melihat pemandangan yang jujur saja ... itu pertama kalinya dia melihat. Entah apa alasannya.
Sepuluh menit kemudian ....
“Kamu mau pulang, biar kuanter?" tawar Samudra usai membereskan bekas makannya.
Gadis itu malah tergagap. “Ng-nggak! Rumahku jauh! Ja-jadi ... boleh gak, aku tidur di tempat kamu ini? Satu malem ini aja?” Kata ‘ini’ dia ucapkan panjang. Memohon dengan tangan terkatup rapat di depan wajah. “Besok pagi aku janji bakal pergi buat cari alamat temenku lagi!”
Sejenak Samudra menelisik. Dari penampilannya, gadis itu sangat amat sederhana. Setelan kemeja biru dipadu jeans longgar membalut tubuh yang sebenarnya cukup menarik dan cukup tinggi untuk kategori wanita Jakarta pada umumnya. Rambutnya berponi, dikuncir habis asal-asalan.
“Kamu kok ... liatinnya gitu?” tanya gadis itu, melihat Samudra yang tiba-tiba diam dengan tangan bersedekap penuh penilaian. Beringsut tubuhnya karena tak nyaman, juga ... sedikit takut!
Samudra mengerjap ringan. Satu tangannya pindah ke pinggang, dan lainnya menggaruk tengkuk yang mungkin saja tiba-tiba terasa gatal. “Ng-nggak! Gak kenapa-napa.” Kemudian kembali memasang sikap seperti biasa. “Emangnya kamu gak takut tidur di sini?”
“Kenapa takut?” Gadis itu balik bertanya dengan polosnya.
Samudra semakin bingung mengambil sikap.
“Ni cewek beggo atau gimana, sih? Kagak takut apa gua apa-apain? Mukanya 'kan lumayan cakep.” Ia tak habis pikir.
“Nggak! Di sini kadang ada suara-suara aneh aja kalo malem!” Pada akhirnya kelakar itu yang terlontar.
Lain dari perkiraan, gadis itu justru terlonjak bangkit lalu melanting memeluk lengan Samudra dengan raut takut. “Serius kamu? Tempat ini ada hantunya?!”
Kali ini Samudra berhasil dibuat terkekeh.
“Aku hantunya!” Seraya memoles singkat dahi berponi milik si gadis.
*
*
Pagi harinya.
Sepasang mata mengerjap-ngerjap, saat cahaya matahari di balik kaca tanpa gorden menembus wajahnya yang masih kusut.
Bangkit dengan satu telapak tangan bertumpu pada kasur, lalu menyeimbangkan tegak tubuhnya untuk duduk.
Cukup terkejut dan tersentak, ketika seorang pria didapatinya terlonjor tidur nyenyak di atas sebuah sofa tak jauh dari kasur single yang ditempatinya saat ini.
“Tuhaaaan. Gimana bisa aku tidur di tempat laki-laki yang bahkan gak aku kenal,” gumamnya seraya mengusap wajah. “Mati aku kalau sampe Papa tau!” Kemudian ditatapnya wajah yang terlelap di atas sofa, terpaku, lalu semakin lama semakin intens.
Jika dilihat-lihat dengan seksama, lelaki itu cukup tampan, ia mulai menilai dalam hatinya.
“Ngggg...?” Menelisik lebih dalam bahkan kepalanya sampai dimiringkan.
Ah, ralat! Bukan cukup tampan, tapi ... sangat tampan, bahkan nyaris sempurna.
Sepasang mata berbingkai bulu-bulu lentik, alis hitam lebat memayung tegas, hidung mancung mencuat lurus, bibir merah tak tebal tak juga tipis seakan melambai minta dikecup. Tanpa sadar bibir gadis itu berdenyut-denyut. Membayangkan bagaimana jika bibirnya dan bibir manis pria itu benar-benar bersentuhan.
“Oh, my God!” Ia tersenyum-senyum kegelian sendiri seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Di tengah-tengah fantasi konyol di pagi hari, tiba-tiba laki-laki di atas sofa yang menjadi objek pikirannya membuka mata. Membuat gadis itu sontak gelagapan--membuang pandang cepat-cepat 'tak ingin ketahuan. “Mati aku!” decit hatinya. Menepuk pelan jidat dengan wajah meringis, sadar akan kekonyolannya sendiri.
“Hey, kamu kenapa?” Samudra--dia bertanya seraya mengangkat tubuhnya untuk duduk. Mengucek mata yang masih membayang khas bangun tidur.
“Ah, aku gak apa-apa!” kilah gadis itu. “Cuma kebelet. Mau tanya kamu di mana toiletnya, tapi gak berani bangunin.”
“Oh,” respon Samudra. “Dari pintu itu, kamu belok kanan. Dari sana ada keliatan pintu warna biru paling pojok. Nah, itu kamar mandinya.” Ia menjelaskan dengan suara serak diiring gerakan tangan.
Gadis itu mengangguk paham, lalu bergegas bangkit dan keluar.
Samudra ikut bangun. Segelas air yang ditampungnya dari dispenser, lalu diteguknya.
Sementara di kamar mandi, si gadis itu menatap sekeliling dengan senyuman, mulai dari lorong yang tadi ia lewati hingga berakhir di depan cermin dalam ruangan.
Lelaki itu memang terlihat urakan, tapi semua yang ada di bangunan rumah bengkel ini, nampak rapi juga mengkilat. Cukup kritis soal kebersihan, dia lagi-lagi bertingkah seperti juri, sok-sok'an memberi nilai.
“Huhhfftt!” Ia menepis pikirannya yang mulai menjalar ngalor dan ngidul. “Mending aku mandi,” putusnya kemudian.
Beberapa saat setelahnya, dia keluar dengan keadaan tubuh yang sudah segar dibalut pakaian yang sama. Kembali masuk ke dalam rumah yang juga satu bagian dengan bengkel di depan sana.
Di ambang pintu, gadis itu kembali terdiam. Kamar sudah dalam keadaan rapi.
“Mau sarapan?” Samudra tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya dengan satu piring berisi macam-macam gorengan.
“Ah, iya. Makasih.” Lagi-lagi gadis itu salah tingkah.
“Ayo!” Samudra mengisyaratkan dengan kepala--mengajak gadis itu ke meja makan yang hanya terdiri dari dua kursi saja.
Di atas meja sudah tersaji dua gelas teh dengan asap masih mengepul.
Samudra mulai melahap makannya tanpa beban. Tanpa sadar, sikap cueknya itu lagi-lagi mencuri perhatian si gadis yang duduk kaku di hadapannya.
“Abis sarapan, aku mandi dulu. Baru kuanterin kamu keliling cari alamat.”
Ocehan Samudra ditanggap tergagap lagi-lagi, ”Oh, a-anterin?!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Tiana
lanjutkan
2023-12-11
0
NA_SaRi
Pikiran siapa sbnrnya ini?
2023-02-20
3
NA_SaRi
Ayo, mulai modus kan
2023-02-20
0