Ruang tamu minimalis tertata apik dengan ragam hiasan sederhana. Sofa jenis lawson berwarna biru memadati satu bagian, dan Martin duduk di sana saat ini. Secangkir kopi masih mengepul sudah dihidangkan Yara di depannya.
Gadis itu sendiri baru saja masuk ke dalam kamar untuk sekedar menaruh barang dan melepas segenggam kegugupannya. Pasalnya, ini kali pertama ia pulang dengan membawa seorang pria. Dan pria itu adalah keponakan bos besarnya sendiri. Apakah ini harus disyukuri atau ia sesali?
Cukup beberapa menit Yara bisa menenangkan diri, lalu keluar setelah napas dan jantungnya kembali teratur.
Blazer coklatnya telah ia lepas, menyisakan kemeja putih yang cukup ketat membungkus bagian atas tubuhnya yang mungil namun berisi. Bawah kakinya terbalut span setinggi lutut. Yara cukup seksi untuk dikategorikan gadis berkarakter lugu.
Dan tampilannya itu tak lepas dari pandangan liar Martin di posisinya. Kaki telanjang Yara nampak mulus berlenggok mendekat ke arahnya seperti tengah menggoda. Dan itu bukan lagi ‘seperti’, Martin benar-benar tak bisa menahan diri.
Baru tubuh mungil Yara hendak menekuk tubuhnya untuk duduk, lelaki itu menariknya cepat sampai berakhir di atas pangkuannya dalam posisi menyamping.
Yara tentu saja terperanjat. “Ma-Martin, ka-kamu ngapain?!”
Deru napas Martin sudah tak bisa dikondisikan.
“Aku gak bisa nahan diri, Yara," bisiknya tepat di telinga gadis itu.
Yara tersentak. Ia jelas tahu selanjutnya akan tak beres. Didorongnya dada Martin untuk melepaskan diri. Namun yang terjadi adalah pria itu semakin merekatkan kuncian tangan mendekap tubuhnya. “Martin jangan kayak gini, aku mohon!” Yara coba mengiba.
Sayangnya bukan Martin jika mundur begitu saja.
Pelukan ia longgarkan. Mencoba menahan diri atas terkaman rasa panas dalam diri yang ingin segera melucuti. Ditatapnya sepasang mata Yara yang sendu berisi sepulas ketakutan. “Kamu gak perlu peduli tentang perbedaan kasta. Gak usah takut sama Om Rohan. Yang punya perasaan itu aku. Aku pria yang bertanggung jawab atas wanita. Jadi aku gak peduli apa pun. Aku suka kamu, Yara. Bahkan sejak pertama kali kita ketemu.”
Suara itu terdengar mendayu di telinga Yara. Dia terdiam dalam tatapan yang terkunci. Hati dan keyakinannya sepertinya telah bergeser. Ia tergoda, tak lain karena perasaan yang sama.
Memanfaatkat kesempatan itu, Martin buru-buru beraksi. Dibungkamnya mulut Yara dengan kecupan. Kecupan diam yang lama-lama ia perdalam. Meneroboskan lidahnya untuk mengeksplor seisi mulut Yara yang beraroma mint.
Tubuh Yara bereaksi karena tindakan itu. Ada terjangan hangat dan liar yang yang menari di bagian bawah perutnya. Terlebih tangan Martin mulai merangsek nakal ke bagian dada yang sedetik lalu kancingnya dipreteli pria itu. Yara melenguh dengan remasann-remasann penuh sensasi tangan kekar Martin.
Tak ada waktu bahkan untuk sekedar mengumpat. Kini Yara sama menginginkan. Kepala dan rambut Martin yang berputar di sekitaran lehernya ia tekan dan cengkram-cengkram seperti memerintah agar pria itu jangan berhenti.
Martin tertawa dalam hatinya.
Benar, 'kan? Sekali kedip saja, ia sudah bisa bisa melahap ikan yang bahkan lebih segar dari biasa.
“Kita pindah ke kamar kamu, ya?”
🖤🖤🖤🖤
Saat ini tepat jam satu dini hari. Glorien masih tak bisa melelapkan diri di alam mimpi. Sepasang matanya telah bengkak hasil menangis meratap nasib.
Terlentang salah, miring kanan kiri pun salah. Sesekali ia duduk hanya untuk mengusap perutnya yang masih rata. Ada calon manusia di dalam sana, dan itu adalah darah dagingnya.
Bagaimana sesaat lalu ia bisa berpikir untuk menggugurkan, sedang hanya dengan membayangkan sepasang tangan mungil saja, rasa sayang sudah muncul menggelitik perasaannya sebagai seorang calon ibu.
“Tuhaaann,” ratapnya 'tak tahu harus apa.
Bayangan wajah Samudra lagi-lagi melintas, berikut pernyataan tanggung jawabnya di detik terakhir mereka bertemu. Pria itu tampan. Andai dia berada dalam keadaan yang mendukung untuk bisa maju menghadap Rohan, Glorien tidak akan seputus asa ini.
Tersesat tanpa keputusan, gadis itu akhirnya terlelap.
Pagi-pagi sekali Mbok Rum sudah mengetuk pintu kamar Glorien. Menghela kesadaran gadis itu dari lelap yang bahkan baru berlangsung belum genap tiga jam.
KLEK!
Suara pintu terbuka.
Mbok Rum buru-buru masuk dengan menenteng senampan sarapan lengkap segelas susu.
“Sarapan dulu, Nona. Dari kemarin gak ada makanan yang masuk ke perut Nona Glo. Mbok cemas Nona Glo sakit.”
Glorien kembali duduk di atas kasur. Matanya bengkak dengan lingkar hitam mengelilingi. “Aku belum laper, Mbok.”
Tatapan iba Mbok Rum membuatnya sedikit tak nyaman hingga membuang wajah ke lain sisi.
“Tapi Nona tetep harus makan. Nanti Tuan bisa marah!”
“Bilang Papa aku gak enak badan.”
Helaan napas Mbok Rum terdengar kasar.
Dengan tangan tuanya, dibelainya lembut rambut Glorien yang tergerai memanjang ke depan dada. “Bagaimana kalau Nona gugurkan saja kandungan Nona.”
Glorien tersentak. “Apa katamu, Mbok?!” Ia tak percaya wanita selembut Mbok Rum juga punya pemikiran sedangkal itu, sama seperti dirinya semalam tadi.
“Iya, Nona. Kalau dibiarkan membesar, gimana nasib Nona ke depannya? Tuan pasti murka. Beliau juga pasti memburu Samudra kemana pun anak muda itu pergi.”
Mendengar nama Samudra dikaitkan, sontak Glorien tercenung. Manik nanar menatap Mbok Rum penuh bimbang.
Benar! Meskipun papanya tahu dia hamil, orang tua itu juga tidak akan membunuh dirinya. Tapi Samudra ... bagaimana nasib lelaki itu?
Rohan Pascal memang bukan raja tega hingga sanggup membunuh--selama yang diketahuinya. Tapi harga yang akan Samudra bayar, tentu tidak akan semurah sabun detergen.
Pandangan Glorien beralih cepat pada makanan yang tadi ditaruh Mbok Rum di atas nakas di sampingnya.
Serangkap roti berselai coklat dilahapnya cepat didorong segelas susu. Walaupun setelahnya rasa bergolak kembali menyerang perutnya, Glorien menahan sebisa mungkin.
“Nona, pelan-pelan!" Mbok Rum nampak cemas.
Glorien tak mengindahkan. Roti dan susu itu kini telah habis dilahapnya. “Aku mau mandi, terus ke kampus!”
Setengah jam kemudian, Glorien menuruni tangga. Sepasang matanya ditutup kacamata berlensa kekuningan. Dress setinggi lutut berlengan panjang dikenakannya dengan sepatu kets bersama-sama.
“Glo!” Dari suatu arah, Rohan Pascal memanggil. Keningnya mengernyit heran melihat kelakuan tak biasa putrinya.
“Aku ada tugas cepet di kampus, Pa. Tadi udah sarapan sama Mbok di kamar.”
Alasan itu bisa diterima Rohan. Anggukan paham melejitkan langkah putrinya untuk mengecup tangan dan pipinya mengucap salam, kemudian berlalu cepat.
Mbok Rum yang baru menuruni tangga bersama sekeranjang baju kotor, menatap kepergian gadis itu dengan raut cemas. Apa yang akan dilakukan Glorien? Apakah dia akan menemui Samudra. Mbok Rum tak mendengar kata apa pun lagi setelah gadis itu menyelasaikan ritual makan, mandi hingga berdandan, selain kata pamit. “Lindungi dia, Gusti!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
PREMPUAN GOBLOK.. BGITU MUDAHNYA TERBUAI UNTUK BERZINAH..
2023-11-20
1