“Pak Jo!” Glo melihat pria paruh baya itu seolah melihat hantu. “Gimana bisa Pak Jo tahu aku di sini?!”
Pria yang disapanya Pak Jo itu menarik napas lalu tersenyum. “Pak Rohan sangat mencemaskan Anda, Nona. Sebaiknya Nona pulang,” jawabnya tak sesuai pertanyaan Glorine.
Gadis itu menyikapi dengan termenung. Ditatapnya Pak Jo dengan raut bingung, lalu beralih pada Samudra yang masih diam memerhatikan.
“Saya mohon Nona mau bekerja sama,” lanjut Pak Jo dengan tubuh tipis membungkuk. “Pak Rohan bilang, semua bisa dibicarakan baik-baik jika Nona ingin melakukan yang Nona mau.” Lalu kembali menegakkan tubuh.
Glo dalam kebingungan. Saat ini ia tengah memberontak. Kabur dari rumah sebagai bentuk demo pada sang papa karena aturan-aturan yang tidak ia sukai.
Sekilas dari sini Samudra paham. Gadis yang hampir 24 jam bersamanya itu, bukan gadis sembarangan. Lalu yang terjadi di antara mereka semalam, apakah akan berdampak buruk ke depan untuknya dan juga Glo?
Samudra belum bisa memahami situasi ini secara benar.
Dalam beberapa jenak Glo menatap Samudra. Yang terjadi di antaranya dan lelaki itu memang tak sederhana, tapi dengan kedatangan Pak Jo, semua tentu harus ia tutup sampai di sini. Selain takut papanya akan marah, ia juga cemas sesuatu terjadi pada Samudra jika ia kukuh pada pendirian akan pemberontakannya.
Pada akhirnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Glo memilih masuk ke dalam mobil mengikuti permintaan bawahan sang papa.
Samudra yang melihat itu coba mencegah, namun geraknya ditahan dua orang pria berbadan tegap yang dibawa Pak Jo.
“Glo!” teriaknya meronta.
Sesaat Pak Jo melihat pemuda itu dengan tatapan sulit diartikan, lalu berbalik ikut masuk ke dalam mobil bersama Glorien.
Tak ada yang bisa dilakukan Samudra. Dua pria yang mencekalnya sudah turut berlalu dengan mobil yang berbeda.
Ia mematung dengan ekspresi bingung, sebelum akhirnya memilih kembali pulang ke bengkelnya.
Sampai di sana, Lussi sudah tak lagi terlihat. Ia melangkah masuk lebih dalam menyusur ruang.
Nanar pandangannya ketika masuk ke dalam ruangan di mana semalam ia menghabiskan waktu gilanya bersama Glo. Kaleng-kaleng bir kosong bahkan masih berserak kacau di atas meja.
Samudra mematung.
Bayangan bagaimana ia dan gadis itu bersenandung, hingga bergelut dengan peluh saling memadu, seketika memenuhi pikirannya. Membuat hati dan kepalanya terasa memanas dan ingin pecah.
Menjatuhkan diri duduk di atas sofa yang sama yang semalam mereka gunakan. Memaut wajah dengan kasar hingga mengacak rambut gondrongnya seraya berteriak frustrasi.
Keadaan itu terasa lebih buruk dibanding pengkhianatan Lussi.
Ponsel yang tergeletak di atas meja, diraih Samudra. Pikirannya baru saja memberitahu sesuatu. Menelepon Mada.
“Hallo, Mad.”
Tak seperti kemarin, kali ini sahutan Mada di seberang telepon terdengar lebih bersemangat. “Ya, Sam!”
“Lu pernah denger nama Glorien gak sebelumnya?” Samudra langsung ke intinya. Ia menangkap nama itu dari pria paruh baya yang menjemput Glo tadi. “Kalo gak salah, nama bapaknya ... Rehan, apa siapa gitu, ya.”
“Glorien?” Mada mengulang. “Anaknya Rehan? ... Rehan yang anaknya enem belas bukan?!”
“Bangsat!” semprot Samudra. “Gua serius, Kampret!” kesalnya. “Iya, Glorien. Mungkin anak menteri, pejabat, artis, atau apalah gitu? Gua emang berasa gak asing ato pernah denger sih 'tu nama. Tapi kagak tau siapa.”
Sejenak diam tak ada sahutan, Mada mungkin sedang berpikir. Sampai tiba-tiba terdengar celetukan lain dengan suara samar di dekat Mada--mungkin temannya.
“Glorien Pascal kali, anaknya Rohan Pascal?”
Samudra jelas mendengar itu. “Oke. Bentar, Mad.” Telepon gegas dimatikannya.
Glorien Pascal.
Nama itu langsung ia ketik di laman pencarian Google.
Detik itu juga muncul beragam artikel dan gambar mengenai siapa sosok gadis itu.
Sebait informasi dibacanya cepat.
“Glorien Pascal, putri semata wayang Rohan Pascal, pengusaha hotel, resort dan berbagai usaha lain yang cukup besar di Jakarta bahkan hingga kota lainnya.”
Jantung Samudra berdentam keras, terlebih saat salah satu gambar menunjukkan ketika Glo dengan gaun anggunnya tengah berada di sebuah pesta megah bersama sang ayah, bak seorang putri istana.
“Mati gua!" decit lelaki muda itu. Dia benar-benar adalah Glo yang hampir 24 jam ini bersamanya.
Bukan sekedar kebersamaan biasa, ia bahkan meniduri anak pengusaha kaya itu gak pake otak.
Kebingungan melanda Samudra semakin kelam.
Bagaimana ia akan bertanggung jawab?
... *****...
Di lain tempat.
Glorine baru saja sampai di kediamannya. Langkah kaku dan wajah takut melengkapi penampilan kacau yang tentu tak biasa di mata semua yang mengenalnya.
“Nona! Oh, Gusti ... akhirnya Nona pulang!”
Seorang wanita tua tergopoh menghampirinya dari arah dalam. Wajah cemas sekaligus senang bercampur satu ekspresi.
“Mbok Rum!” Glo menyambut pelukan wanita itu.
“Nona baek-baek aja, 'kan?” tanya Mbok Rum setelah pelukan mereka terlerai. Kedua tangannya beralih pada lengan putri asuhnya. Disapunya tampilan Glo dari ujung rambut hingga ujung kaki. Keningnya tebal berkerut pertanda sesuatu tak biasa ditangkapnya. “Kenapa Nona berantakan begini?”
Glorien tersenyum sumbang seraya turut mengamati penampilannya sendiri. “Aku gak papa, Mbok. Cuma belom mandi aja," kelakarnya sedapat pikir.
Di belakangnya, Pak Jo sudah berdiri. “Sebaiknya Mbok ajak Nona Glo masuk. Biarkan dia mandi lalu istirahat,” ujar pria itu.
Tersadar dengan kelalaiannya, Mbok Rum mengangguk cepat. “Iya, iya, Pak Jo. Mari Nona, Mbok antar ke kamar.”
Ketiganya lalu berjalan masuk ke dalam rumah yang megahnya mungkin menyerupai keraton tanah Pasundan.
Baru anak tangga kelima diinjak sepasang kaki Glo dan Mbok Rum di dalam rumah, semilir suara menginterupsi dari arah kanan tangga.
“Dipikir enak idup di luar!”
Glorien dan Mbok Rum sontak menoleh.
Senyum sinis Martin--saudara sepupu Glo, menyambutnya penuh cemooh. “Ngapain dijemput segala sih, Pak Jo?! Bagus dia jadi gelandangan!”
Glo menatap tak suka. Tapi tak ada kata yang ia lontarkan untuk membalas. Bukan tak berani, hanya terlalu malas karena sudah dianggapnya kebiasaan.
Menanggapi kalimat sarkas Martin itu, Pak Jo memberi gestur; ‘teruskan langkah kalian, tak usah pedulikan ucapan pemuda itu,’ pada Glo dan Mbok Rum.
Paham dengan maksudnya, kedua wanita bentang usia tersebut mengangguk, lalu berbalik dan kembali meneruskan langkah tak ingin peduli.
Meladeni Martin yang sumbang itu bukan pilihan baik. Membuang waktu dan pastinya akan berujung debat pèpèsan kosong. Dan Martin selalu senang dengan itu, terlebih dibantu Margaret, ibunya.
Martin dan Margaret memang selalu mendamba akan kepergian Glo dari kediaman Pascal, walaupun tak menunjukkan secara gamblang di depan Rohan. Mereka akan menjadi penjilat di hadapan sang raja acapkali kesempatan itu datang.
Pascal Corp, tentu menjadi alasan kuat bagi mereka. Glorien adalah putri satu-satunya Rohan Pascal, yang sudah tentu gadis itu adalah nama tunggal yang akan menyandang gelar sebagai pewaris kuasa bisnis milik sang ayah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Machan
nah loh
2023-03-14
2
Machan
tetep dengan gayanya, tapi gua suka bambang ini😅😅
2023-03-14
1
NA_SaRi
Apa kabar burung, Bang? Syudududu
2023-02-26
0