Mia dan Darius langsung melejit menuju Jakarta setelah mendapat telepon dari Mada. Kabar ditemukannya Samudra dalam kondisi sekarat di sebuah jalanan sepi, membuat putri dan ayahnya itu diserang rasa lebih dari ketakutan menghadapi kematian. Samudra adalah harta yang mereka rela kehilangan nyawa, meskipun di antara mereka tak ada hubungan darah sama sekali.
Saat ini Mia tengah terisak di pelukan ayahnya. Dan Darius sendiri, walau terbungkus dengan wajah penuh kesabaran, tak dipungkir, kecemasan pria paruh baya itu juga bukan lagi kepalang tanggung. Ia benar-benar takut.
Sedang Mada dengan muka tak kalah rapuh berdiri dengan punggung tersandar dinding di samping pintu ruang IGD. Kepalanya merunduk dalam. Sama dengan ayah dan keponakan Samudra, Mada juga sangat takut kehilangan sahabatnya yang tengik dan menjengkelkan itu. Sudah dipastikan, papan caturnya akan berdebu untuk beberapa waktu ke depan, atau mungkin selamanya akan menjadi usang, jika nyawa Samudra benar-benar tak bisa diselamatkan.
Sudah empat hari, Samudra belum juga sadarkan diri. Dua jam lalu ia diperiksa seorang dokter dan dinyatakan belum ada tanda-tanda akan sadarkan diri. Organ vitalnya rusak beberapa. Entah sampai kapan Samudra akan dalam keadaan koma.
Di luar ruangan.
Secara lembut, kedua tangan Darius mendorong Mia agar terangkat dari peluknya. Ditatapnya wajah sembab sang anak lalu berkata, “Ayah mau bicara dulu sama Mada, ya?”
Menyeka sekilas air matanya, Mia mengangguki.
Darius mulai berdiri setelah mengusap singkat kepala putrinya.
Mada yang masih bergeming dalam posisi sama dihampirinya.
“Boleh Om bicara sebentar?” tanyanya usai berdiri tepat di hadapan Mada.
Respon Mada dengan cepat menegakkan tubuh. Ada kekuan juga dari sikapnya. “Iya, Om.”
Darius mengangguk tipis lalu berjalan sedikit menjauh dari sana. Mada yang paham, sekilas menengok ke arah Mia, lalu bergegas mengikuti Darius yang sudah berbelok ke arah koridor lain.
Satu deret kursi tunggu salah satunya diduduki Darius, dan Mada menyusul setelah itu tepat di sebelah kirinya.
“Om yakin kamu tahu banyak hal tentang Sam melebihi Om setelah dia keluar dari penjara,” Darius membuka. Lurus pandangannya kemudian ia tolehkan ke arah Mada. “Tolong jelasin sama Om ... ada apa sebenarnya, Mada?”
Kesempatan bertanya ini baru datang. Hari-hari sebelumnya Mada selalu menghindar dan menjawab tidak tahu.
Dalam beberapa saat Mada menatap pria baya itu, sebelum akhirnya membuang wajah kembali lurus ke depan. “Mada bingung jelasinnya, Om," ia menjawab pada akhirnya.
Darius mengerut kening. “Tolong kasih tahu Om!” desaknya. “Apa Sam berbuat salah sampai orang tega membuatnya seperti ini?”
Ia paham benar, jika ini adalah kasus perampokan, motor dan aset yang dibawa Samudra ke tempat kejadian pasti raib. Tapi yang didengarnya dari Mada saat awal kedatangannya, selain tubuhnya yang babak belur, semua barang berharga Samudra termasuk dompet dan lainnya, masih utuh tak ada rusak sedikit pun.
“Mada!” Darius menegur kediaman pemuda di depannya. “Om ini orang tuanya Samudra,” sambungnya bermimik melas.
Mada semakin bingung. Ia harus jujur atau bagaimana?
Meskipun kasus penganiayaan Samudra belum diketahui siapa pelakunya, tapi Mada yakin, bahwa semua itu ada hubungannya dengan keluarga Pascal.
“Mada sendiri sebenarnya belum yakin, Om,” jawab pemuda itu gamang. Ia mungkin memang harus jujur. “Tapi satu yang Mada curigai. Semua itu ada hubungannya sama putri Pascal yang beberapa hari lalu menginap di bengkel barengan Sam.”
Darius terperanjat. “Pascal?”
Ia merasa tak asing dengan nama itu.
“Iya, Om," Mada mengangguki. “Glorien Pascal, putri tunggal Pascal Corporation. Perusahaan besar yang hampir nguasain sepertiga wilayah Jakarta.”
Kali ini Darius benar-benar membelalak. “Apa yang terjadi?! Ke-kenapa Samudra bisa bersama gadis kaya itu?!” tanyanya kalang kabut.
Kesiur napas terembus kasar dari mulut Mada. “Mada juga gak paham, Om. Waktu cewek itu di bengkel, Mada lagi ada kerjaan di luar,” jelasnya. “Tapi sedikit yang Mada tau dari cerita Sam, dia sama cewek itu udah ngelakuin--”
Kalimatnya sontak diputus. Ada rasa tak nyaman karena hal yang akan ia ucapkan sedikit absurd dan memalukan. Hanya wajah merenyih kaku yang kini ditunjukannya pada Darius.
Dari mimik itu, Darius langsung paham. Ia membuang wajah ke lain arah. Dadanya mulai bergolak. Beragam pikir perlahan menyesaki kepalanya hingga merayang. “Jadi maksud kamu, mereka yang melakukan ini semua pada Sam?” tanyanya kemudian.
“Biarpun Mada gak bisa pastikan, tapi Mada yakin, pelakunya pasti mereka, Om.”
“Tapi Sam nggak menculik gadis itu, 'kan?!” sergah cepat Darius seraya menghentak kembali wajahnya pada Mada.
Mada balik menatap lelaki baya itu, lalu menggeleng. “Mada yakin Sam gak akan sekonyol itu, Om,” jawabnya. “Kata Sam, dia ketemu cewek itu di jalanan malem-malem.” Selanjutnya Mada membeberkan sesuai yang diceritakan Samudra padanya tempo hari itu.
Darius men-desah panjang menyikapi. Ia tahu Samudra bukan anak nakal. Tapi urusan bersama para gadis dan apa pun yang menyangkut hal itu, ia tahu itu karena Samudra bersikap mengikuti naluri kedewasaannya. Bukankah itu wajar?
Tentu saja tidak!
Sekali lagi ia menampar dirinya. Tidak akan wajar untuk seorang putri Pascal.
“Ayah!” Suara panggilan Mia tiba-tiba menginterupsi. “Koko udah sadar!”
Mada dan Darius spontan berdiri bersamaan.
Tanpa banyak kata, mereka semua gegas berlari ke arah ruang IGD.
Tepat sampai di sana, seorang dokter baru saja keluar.
“Gimana keadaan anak saya, Dok?!" Darius bertanya tak sabar.
“Sodara Sam baru saja membuka mata. Kalau ada yang mau masuk, saya sarankan, cukup satu orang saja,” ujar dokter itu.
Ketiga orang di depannya sesaat saling pandang, sampai akhirnya Darius memilih dirinya untuk masuk usai melihat anggukan Mada dan putrinya, pertanda peluang boleh dirinya yang mengambil.
“Saya masuk, Dok.”
“Silakan, Pak,” balas dokter. “Kalau begitu saya permisi.” Semua mengangguk dan berterima kasih.
Pintu berkaca itu perlahan disibak Darius. Menimbulkan celah kecil lalu membesar. Menampilkan ruangan secara keseluruhan yang di mana ada satu brankar yang direbahi Samudra dengan kondisi naas di bagian tengah.
Hati Darius seketika mencelos sakit. Tampilan Samudra benar-benar seperti zombie.
Kepala terlilit perban dengan bercakan darah di satu titik, bibir bawah dan pipinya membengkak tak tentu bentuk. Lengan putih mulus habis dipenuhi lebam-lebam biru yang mengenaskan. Jika baju pasien berwarna biru itu disibak, Darius yakin, ada banyak luka lain di sana, dan ia tak ingin melihat itu.
Meski dalam hati luar biasa sakit, tapi satu hal yang masih bisa ia syukuri. Samudra masih diberi kesempatan hidup.
“Ayah.” Suara sapaan Samudra terdengar lirih. “Ayah kapan--”
“Pssstt!" Darius malah menghardik. “Udah. Gak usah banyak bicara dulu. Ayah cuma mau liat kamu.” Sebuah kursi di samping brankar ditarik lalu didudukinya.
“Maafin Sam, Ayah.”
Samudra kembali berucap lemah, yang kembali disambut Darius dengan gelengan. Namun kali ini ia benar-benar tak bisa membendung air matanya. Darius terisak.
“Yah!” Samudra semakin merasa bersalah melihat itu. “Jangan--”
“Abis kamu sembuh, ikut Ayah sama Mia pulang ke Sukabumi, ya!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
NA_SaRi
Ah, ternyata scene mewek ini, ikut pulang aja bang gih
2023-03-01
2