Anjir! Kalo jalan liat liat dong!" Secara tak sengaja aku menyenggol bahu Riki.
"Maaf, Aku gak tahu! Jalannya gak kelihatan!" Ucapku. Bagaimana bisa aku melihat jalan ketika tanganku dipenuhi tumpukan buku yang menjulang ke atas hingga nyaris menutup mataku.
"Dasar! Udah tau pendek, bawa buku sebanyak itu." Riki masih saja menggerutu padahal aku sudah meminta maaf.
"(Daripada ngedumel kan lebih baik nolong)" ucapku dalam hati kesal. Aku yang kesulitan melihat tak tahu jika ada pot bunga di bawah. Dan tak sengaja kakiku tersandung.
"Ahhh.. brukkk." Semua buku yang kubawa berhamburan. Aku tersungkur dilantai, bahkan kakiku berdarah. Ku kira Riki akan pergi diam saja. Ternyata dia berbalik arah menolongku.
"Kan tadi Gue udah bilang! Jangan maksain bawa buku sebanyak itu. malah nekad! Lo kan bisa minta tolong!" Riki membantuku mengambil buku yang tercecer dilantai.
"Lah kamu sendiri udah tau aku repot, kenapa gak inisiatif buat nolong coba?" Aku tak kalah kesal juga memungut buku itu.
"Ya deh, maaf. Gue kira Lo gak mau berurusan sama Gue. Kayak yang lain!" Aku mendengar nada bicara Riki seolah berubah menjadi kesedihan.
"Ahh. Itu sih perasaan kamu aja. Emang mereka bilang kayak gitu sama kamu? Enggak kan?" Timpalku tak terima atas prasangka Riki yang terlalu berlebihan.
"Nama Lo siapa sih? Kita udah dua kali ketemu tapi gue belum tau."
Aku melirik kesal. Jadi ternyata Riki sama sekali tak mengetahui siapa namaku. "Fiuhh.. emang lah dasar nasib murid gak terkenal sampai Lo aja gak tahu. Nama Gue Dania! Udah ya.. gue mau ke kantor. Keburu ditunggu Bu Lia." Aku masih bertekad membawa buku itu tanpa rasa kapok.
"Sini! Gue bantu!" Riki meminta sebagian buku yang ku bawa. Aku dan Riki berjalan beriringan menuju Kantor Guru.
Semua anak mungkin memandang aneh. Seorang Riki mau membawa buku ke kantor sungguh pemandangan yang langka.
"Makasih ya Rik, udah mau bantuin." Aku dan Riki berjalan keluar Kantor Guru. "Iya sama sama, Dania. Maaf gue boleh gak minta nomer WhatsApp Lo." Ucap Riki ragu.
"Ya? Boleh kok. Nih!" Aku menyodorkan ponselku agar Riki lebih mudah menscan barcode WhatsApp.
"Makasih ya!"
"Oke!"
Kami berpisah di persimpangan kelas. Aku belok kiri sedangkan Riki belok kanan. Kakiku masih mengeluarkan darah akibat luka tadi.
" Uchh.. perih." Ucapku meringis.
" Ehh. Ngapain Riki kesini?"
" Lihat tuh? Gue gak salah lihat kan?"
"Jangan jangan dia nyasar lagi."
Aku mendengar anak anak dikelas sedang berbisik. Sedangkan aku masih sibuk membersihkan luka dengan tisu.
"Nih buat Lo!" Ucap Riki menyodorkan plaster untuk luka. Pantas saja semuanya kaget.
" Eh buat aku nih? Makasih ya!" Aku menerima plaster itu. Tentu saja semua anak dikelasku merasa kaget.
" Gue balik ke kelas dulu ya!" Riki berlalu dan meninggalkan senyuman manis. "What? Gue gak salah lihat kan Dania?" Seru Agnes yang datang mendekati ku dengan wajah centilnya.
" Apaan sih? Heboh banget." Aku membuka plaster itu dan menempelkan pada luka dikaki.
" Kok Riki bisa deket sama Lo? Keren amat!" Tanya Agnes tertarik.
" Ya gak tau! Tadi Riki kesini gak Lo tanya. Emang Gue paranormal!" Sungutku pada Agnes.
Aku tak tertarik melanjutkan pembicaraan ini. Untungnya Pak Budi guru bahasa Inggris datang. Semua teman beralih fokus melihat Pak Budi.
Aku masih tersentuh atas tindakan Riki yang peduli. Aku bahkan sampai tersenyum senyum sendiri.
**
Aku berjalan sendirian menyusuri jalan. Lagi lagi aku melihat Riki sedang dikeroyok orang yang sama.
"Ahh. Itu anak kok bikin masalah terus sih? Gak capek apa?" Aku ingin berlalu tak mau ikut campur. Tapi sayangnya hati nuraniku mendorong untuk menolong.
"Yah, resiko orang baik! " Aku memuji diriku sendiri.
Woy kalian pergi! Ada pak Polisi lagi patroli loh." Aku sengaja berbohong untuk membubarkan mereka semua.
"Ehh, cabut! Cabut!"
Taktik ku berhasil mereka meninggalkan Riki yang masih tersungkur ditanah.
"Kamu sehari gak bikin ulah gatel ya?" Ku sodorkan tanganku untuk menolong Riki.
"Makasih!" Riki enggan menerima tanganku dan berusaha bangkit sendiri. Aku melihat bibir Riki berdarah.
"Eh iya, sini duduk dulu." Aku menarik tangan Riki, ku ajak dia duduk di sebuah batu pinggir jalan.
Aku mengeluarkan plaster luka tadi dari dalam saku.
"Lo mau ngapain?" Tanya Riki.
"Udah diem deh!" Aku membuka plaster itu dan menempelkan pada bibir Riki.
"Nah, selesai! Udah ya Gue pulang dulu! Jangan bikin ulah lagi." Ku tinggalkan Riki dengan senyuman manisku.
Aku merasa aneh. "Kenapa ya wajah Riki merah?"
*
*
*
"Sial. Kenapa sih jantung gue deg deg kan kaya gini?" Riki menekan dadanya yang berdegup tak beraturan. Riki masih terbayang wajah ayu Dania ketika memasang plaster itu tepat didepan wajahnya.
Wajah yang yang ayu dengan lipglos tipis membuat Riki terpana.
"Ahh, mungkin aku kurang minum air putih." Riki segera mengambil air putih dari dalam kulkas.
"Glek. Glek. Glek."
"Loh kok gak ilang ilang sih?" Riki masih saja tak sadar jika dirinya sedang jatuh cinta pada seorang wanita.
"Brakk."
"Kamu mau kemana lagi Atmika?" Seru Pak Anggoro pada istrinya yang sudah bersiap dengan tas ransel besarnya.
"Aku mau ke Amerika. Temenku udah nungguin di Bandara." Seru Atmika sambil membenarkan tasnya yang miring.
"Kenapa kamu pergi terus? Kapan kamu ada waktu untuk keluarga hah?" Bentak Anggoro menarik tas Atmika, melarangnya pergi. "Gak bisa! Aku udah ditunggu in sama temenku Mas." Atmika menepis tangan Anggoro.
"Hey! Kamu ini ya! Aku akan cari kesenangan aku sendiri. Lihat saja Atmika! Aku gak perduli kamu mau pulang atau enggak. AKU GAK PERDULI!" Anggoro meninggikan suaranya tetapi Atmika tak bergeming seakan bersiap dengan segala resiko yang akan Ia terima.
Pemandangan ini adalah makanan sehari hari bagi Riki. Keluarga yang hancur berantakan ini tak pernah indah seperti rumah orang lain. Furniture serta barang mewah lainnya hanya sebagai panjangan tanpa arti. Rumah adalah alasan untuk kembali tetapi tidak untuk Riki.
Bagi Riki rumah adalah neraka. Suasana yang selalu panas membuatnya gerah dan jarang berada dirumah.
Riki berlalu dan masuk kedalam kamar.
"Kenapa sih Keluargaku gak sama kaya yang lain. Semua sibuk mencari kesenangan masing masing. Bahkan mereka gak peduli sama aku." Riki menatap tajam tubuhnya sendiri dari pantulan kaca lemari. Merenungi nasib buruk yang selalu menimpanya sejak kecil.
*
"Halo sayang! Lagi dimana?" Ucap Anggoro pada salah satu simpanannya.
"Oh. Sini lah. Aku kesepian nih! Aku tunggu di rumah ya sayang! Muachh."
Ucap Anggoro pada Angel.
Kepergian Atmika dari rumah bukan tanpa alasan. Sejak awal menikah Anggoro selalu berselingkuh darinya. Entah sudah berapa puluh wanita bagi Anggoro yang hobi bergonta ganti pasangan. Tak ada rasa tobat untuknya yang sudah memasuki usia kepala 4.
Mungkin saja Atmika merasa jengah dan mencari kesibukan sendiri untuk obat luka dihatinya yang Ia alami bertahun tahun.
"Papa! jangan bawa wanita itu kesini lagi!" Ucap Riki pada Anggoro.
"Kamu anak kecil diam aja! Gak usah ikut campur urusan orang tua!" Sentak Anggoro tak terima.
"Papa kapan berubah? Mama kayak gitu juga karena ulah Papa sendiri!" Riki mulai berani menyalahkan Anggoro atas perubahan Mamanya.
"Kau! Berani sekarang melawan Papa ya!"
"Ya! Aku mulai jenuh dan bosan harus hidup dengan keluarga yang egois. Silahkan Papa urus selingkuhan Papa itu!"
"Plakkk." Anggoro melayangkan tamparan tepat dipipi Riki.
"Lagi Pa! Lagi! Biar Papa puas! Aku akan pergi dari rumah. Silahkan Papa berbuat sesuka hati Papa."
"Kamu jangan kebanyakan gaya ya Riki! Bisa apa kamu tanpa uang Papa hah!"
"Brakk."
"Riki! Kamu mau kemana?"
Riki tak perduli, dan tetap meninggalkan rumah megah itu. Riki sudah muak harus hidup dengan watak Papa nya yang keras kepala dan egois.
Kehidupan keluarga itu semakin hancur lebur tak bersisa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments