Keributan

Ada satu hari dimana aku tidak mengerti tentang situasinya. Aku masih sangat ingat ketika itu adalah jam istirahat, dan kebetulan kelas kami kosong. Aku dan Indira membaca buku yang sudah kami pinjam di perpustakaan.

Sementara Kris dan Daren berkumpul di depan ruang kelas, bersama dengan anak laki-laki lainnya. Ruang kelas agak sepi karena banyak yang menuju ke kantin untuk menghabiskan uang mereka.

Ketika itu aku sedang asik membaca dan tidak memperhatikan sekitarku, Sampai pada suara seorang gadis memanggil namaku.

“Ella... ” Pandanganku ke arah sumber suara yang memanggilku, gadis itu berkulit sawo magang dengan rambut panjang dan gigi yang sedikit maju ke depan.

Aku ingat gadis itu adalah adalah anggota baru dikelas kami, dia sebelumnya berada di kelas VII. 7. Aku mengernyit dan melihat tangannya memanggil aku untuk menuju ke tempat duduknya yang berada di dekat jendela dan paling depan..

“Ada apa, Anna?” Aku bertanya padanya, ku lihat dia masih terus menatapku lama.

“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu, bolehkah?” mendengar Anna mengatakan seperti itu aku jadi tidak enak.

Mungkin dia merasa sedikit canggung karena ini pertama kalinya kami mengobrol. Juga Anna adalah tipe yang pendiam, aku rasa dia juga tidak punya banyak teman, Anna selalu sendiri dan hanya menghabiskan  waktu istirahatnya di mejanya saja.

“Katakan saja, tidak perlu sungkan. Kita adalah teman sekilas, bukan?” Aku balik menatapnya untuk menunggu apa yang dia akan tanyakan padaku.

“Apakah kau... ”

Bruak!!!

Anna baru akan bicara ketika suara gaduh terdengar dari luar kelas. Itu langsung membuat aku menoleh ke arah Indira, yang juga sama terkejutnya denganku, “Apa yang terjadi?” tanyaku.

Kulihat Indira menggeleng, “Aku juga tidak tahu, sepertinya ada yang bertengkar.”

“Hei, cepat pisahkan mereka!” seorang teman sekelas bersuara nyaring.

“Hentikan! Hentikan mereka! Astaga, apa yang terjadi pada kalian?” aku mendengar suara ketua kelas kami,  Gealova.

Bruak!!!

“Dasar cowok cengeng! Begitu saja sudah emosi!”  Okta, gadis tomboy di kelasku membuka pintu dengan kasar.

“Apa yang sudah terjadi? Kenapa ramai sekali?” tanyaku dengan harapan seseorang menjelaskan situasinya.

“Daren mengamuk, kejadiannya cepat sekali sehingga aku juga tidak tahu detail kejadiannya,” Varo yang lewat di mejaku menjawab pertanyaanku.

Aku jadi loading lambat, barusan Varo menyebut nama Daren. Bagaimana bisa? Selama ini ketika kami mengobrol, sikap Daren sangat baik juga tutur katanya lembut.

Aku tidak pernah sekalipun mendengar dia mengumpat seperti itu, tidak lama kemudian, pintu yang tadinya sudah ditutup terbuka lagi. Aku melihat pakaian  seragam Daren agak basah, dan begitu pula dengan  wajahnya yang memang seperti orang. Yang baru saja menangis.

Daren duduk di kursinya, begitu lama tanpa menoleh kearah ku seperti biasanya. Aku pikir Daren membutuhkan  tissue sehingga. Aku memiliki inisiatif untuk memberikan tissue milikku padanya.

Tapi aku justru dibuat terkejut karena tindakannya. Dia menepis tanganku sehingga tissue tersebut jatuh ke tanah, “Kalau kau tidak mau menerima bantuan ku, katakan saja. Kenapa bertindak kasar seperti itu sih? Apa susahnya berkata maaf, aku tidak butuh,”

Aku mengambil tissue tersebut kembali lalu aku meletakkannya di tangannya dengan malas. Aku berniat menolongnya karena sedikit khawatir padanya tetapi doa sepertinya tidak membutuhkan aku.

Kemudian aku menatap Kris dan bertanya, “Sebenarnya apa yang sudah terjadi diantara Daren dan Okta?”

“Singkatnya, sapu yang  sedang  Okta mainkan mengenai mata Daren, setelah itu bukannya minta maaf Okta justru mengejek Daren mengatakan dia cengeng karena menangid...” Kris menjelaskannya pada kami.

“Orang mana yang tidak akan menangis jika sesuatu mengenai matanya, itu memang tindakan salah...” Indira menghentikan bacaannya dan melirik punggung Daren.

“Tapi tetap saja, Kenapa dia bertindak kasar pada Ella yang sudah berinisiatif memberikan dia tissue?” tambah Indira, lalu berdecak tidak suka pada pada tindakan Daren terhadapku.

“Sudahlah, Dira. Aku pikir Daren masih dalam emosi tadi, aku tidak apa.” Aku tersenyum padanya,  kembali menatap punggung Daren.

Mungkin tindakanku yang berinisiatif memberikan Tissue untuk mengelap wajahnya yang basah, kurang tepat. Daren mungkin berpikir, aku ikut mengejeknya Cengeng atau mungkin dia tidak mau aku melihat wajahnya yang baru saja menangis.

Tindakan Okta memang salah dalam hal ini, dia seharusnya meminta maaf pada Daren bukannya mengejek karena hasil dari tindakannya yang ceroboh. Aku kemudian melirik pada Sahabatku, Indira juga seperti Okta agak tomboy tapi dia masih bisa menjaga tindkanannya.

Setelah beberapa menit berlalu, Daren membalikkan badannya lalu kembali melihat kearahku, kemudian dia menunduk lagi. Dia menyentuh tanganku yang tadi baru dia tepis, memang disana lebam.

Kepalanya terangkat lalu menatap mataku lagi, “Aku minta maaf, aku tidak sengaja melakukan itu tadi, aku benar-benar dalam emosi. Gadis bar-bar itu...”

Aku tidak tahu mendapat inisiatif dari mana sampai aku dengan berani menyentuh wajahnya, “Aku tahu, Dia mengejek kamu cowok cengeng kan?”

“Kau tahu...”

“Aku mendengar dia mengatakannya tadi, tidak usah memasukkannya ke dalam hati.”

“Kau, apa kau berpikir yang sama dengannya?”

Aku tersenyum menahan tawa ku, bagaimana bisa hanya karena hal kecil seperti itu aku langsung menilai Daren anak yang cengeng. Aku hanya menggelengkan kepala untuk memberi dia jawaban.

Kemudian sorakan ‘Cie...’ dari meja yang ada diseberang ku menyadarkan aku dari tindakanku barusan, serta dari posisi kami sekarang. Daren dan Aku langsung melepaskan tangan kami.

“Haha, apa itu tadi? Posisi itu sangat Romantis seperti sepasang kekasih saja. Atau jangan-jangan kalian...”

“Kami teman, dan kami hanya saling peduli.”

“Benarkah, tapi tatapan mata kalian...”

“Apanya?”

Aku lihat Amber melihat diam, kemudian kembali mengobrol dengan teman sebangkunya. Aku juga kembali pada kesibukanku uang tadi, membaca sebuah buku yang aku pinjam di perpustakaan.

Aku tiba-tiba ingat bahwa tadi Anna sepertinya ingin bertanya sesuatu padaku, aku meliriknya, dia sedang menundukkan dengan sebuah kertas dan pena ditangannya.

“Hei, apa yang kau lihat?” Indira tiba-tiba bertanya padaku.

“Apakah kau merasa bahwa Anna terlalu pendiam?”

“Tidak juga, aku rasa dia mirip denganmu. Tidak akan  bicara jika tidak di ajak lebih dulu.”

“Aku tidak merasa seperti itu. Aku sering mengajakmu bicara lebih dulu.”

“Oh, benarkah? Coba kau ajak Daren mengobrol duluan,” Indira tersenyum seperti sedang mengejekku.

“Yaa... Itu berbeda, Daren anak laki-laki,  aku belum pernah tidak maksudku aku jarang membuka obrolan dengan anak laki-laki sebelumnya, dan rasanya setelah teman kecilku dia adalah teman laki-laki ku yang ke tiga.”

“Jadi aku yang kedua?”

“Tidak, sebenarnya urutannya keluarga, teman kecil lalu kau.”

Daren hanya mengangguk setelah mendengar kalimatku, kemudian telingaku mendengar dia berkata, “Masih ada jarak rupanya.”

Hah?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!