Guru membuka rapat siang kami dengan doa, setelah itu guru membuka sebuah buku kecil miliknya dan memainkan penanya, sambil memperhatikan sekitar untuk memastikan semuanya hadir dalam pertemuan.
Aku masih merasakan padangan Daren padaku, namun aku mencoba untuk mengabaikannya saja dan beralih meladeni pertanyaan dari Raka dan gadis yang ada di samping ku.
Setelah Guru selesai memeriksa kehadiran para murid tahun kedua, Guru memulai diskusi kami dengan rencana rekoleksi yang akan dilaksanakan. “Aku memilih dua tempat untuk tempat Rekoleksi kita, area di dekat pegunungan dan di dekat perbatasan kota...”
“Mana yang akan kalian pilih?”
Para murid menjadi terdiam, kemudian kami membuat sebuah undian untuk menemukan tempat mana yang akan kami pilih untuk rekoleksi nanti.
Ada dua pilihan untuk tempat rekoleksi, Gereja di atas puncak yang akan menuju ke perbatasan kota Palopo atau Gereja yang masih dalam wilayah Toraja, Kami menulis di selembar kertas, lalu Mengumpulkannya. Setelah terkumpul, Guru kemudian menghitungnya.
“27 untuk Gereja yang masih berasal di kawasan Toraja dan 25 untuk Gereja di perbatasan, 3 orang pilih netral...”
“Baiklah, sudah kita putuskan akan memilih yang mana.”
Seorang kemudian bertanya, “Guru apakah ada kegiatan aksi untuk mengumpulkan Biaya?”
“Tentu saja, biaya yang terkumpul nanti akan kita gunakan untuk membantu gereja dan anak-anak sekali di sana.”
Setelah guru menjawab, kami mengangguk dengan setuju. Tentu saja, karena hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan kami. Biasanya kami akan menyisihkan uang jajan kami untuk mengisi kartu aksi kami.
Perhitungan dari bulan sekarang itu membutuhkan sembilan bulan, hingga hari sebelum menjelang akhir tahun kedua. Merasa tidak ada yang akan di bahas lagi, guru kembali memimpin kami dalam doa untuk menutup kegiatan kami sore ini.
Saat itu, hari sudah sore dan sekolah sudah sepi. Aku berjalan bersama yang lainnya, menuju ke gerbang sekolah. Dan kemudian kami semua berpisah, aku berjalan bersama dengan beberapa anak sekolah lainnya menuju ke parkiran angkutan umum berada.
Aku menunggu sebentar hingga angkutan umum itu penuh, jam sudah menunjukkan siang hari, jam pulang anak Sekolah menengah Atas. Aku duduk di paling pojok dekat jendela, mengabaikan kakak-kakak SMA yang asik bergosip ria.
Setibanya aku di rumah, benar saja kakek dan nenek aku sudah menunggu aku sementara adikku yang masih di jenjang Sekolah Dasar sedang asik bermain masak-masakan di halaman rumah.
“Kenapa, tumben terlambat pulang?” Nenekku bertanya.
“Maaf, Nek. Tadi ada pertemuan sebentar. Kami akan melakukan rekoleksi menjelang kenaikan kelas nanti.”
“Rekoleksi? Kemana kalian akan pergi?” kakek bertanya padaku.
“Sepertinya itu adalah Deri,”
Lokasi Gereja yang dipilih guru ada di sekitar area Deri', Sulawesi Selatan. Aku belum pernah kesana jadi aku masih kurang tahu pasti lokasi tepatnya.
Aku sulit mendapatkan izin dari keluarga, kecuali jika kondisinya seperti sekarang ada kegiatan sekolah tentang keagamaan. Keluargaku pasti akan langsung memberikan aku tiket warna hijau, bukan lagi warna merah.
Setelah selesai berbincang dengan kakek dan nenekku, aku menuju ke dalam kamarku, mengganti pakaian lalu menuju ruang makan untuk makan siang, mencuci piring setelahnya lalu kembali ke kamar untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah.
Kegiatan ku setelah pulang sekolah tidak banyak, dan juga ku pikir itu agak membosankan. Malam harinya, kami seperti keluarga lain. Berkumpul di meja makan lalu makan bersama, menyikat gigi lalu pergi tidur setelah jam menunjukkan pukul 21.00 Wita.
Keesokan harinya, aku bangun seperti biasa dan melakukan rutinitas harian ku sebelum berangkat ke sekolah. Perjalanan ke sekolah itu tidak terasa, aku tiba sebelum bel berbunyi. Lalu bersama-sama menuju ke taman baca untuk berdoa bersama.
Waktu doa yang diberikan untuk kami kurang lebih 25 menit. Semaksimal mungkin kami cukupkan untuk menyelesaikan lima peristiwa untuk hari ini.
Dalam tradisi suci, Doa Rosario pertama kali di sebarkan oleh Santo Dominic (221). Setelah doa kami kembali ke kelas, pintu kelas sudah terbuka yang menandakan bahwa teman sekelas juga sudah selesai ibadah pagi.
Kami masuk dan duduk menunggu guru untuk datang mengajar, Indira memperhatikan aku lalu dia bertanya; “Mengapa kalian ibadah lama sekali? Hampir 30 menit.”
Aku meliriknya, “Kali ini berbeda, biasanya hanya ibadah biasa namun dalam bulan ini kami berdoa rosario.”
“Oh, begitu. Pantas saja kau selalu menggunakan kalung itu.”
“Tidak juga, aku berpikir untuk terus menggunakannya sekarang.”
“Benarkah?” Indira mengernyit itu membuat aku hanya tersenyum untuk menjawabnya.
Kemudian guru masuk kedalam kelas, pelajaran pertama hari ini adalah matematika. Guru menerangkan kemudian setelah itu seperti biasa, Guru menyediakan beberapa soal untuk kami kerjakan.
Ketika aku sedang fokus untuk menulis soal, aku menegakkan kepalaku dan akhirnya bagian yang aku ingin catat sedikit terhalang karena kepala Daren.
Rambut hitamnya tampak halus dan sehat serta punggungnya tegak, Aku tidak ingin mengganggunya tapi aku juga harus segera menulis. Oleh karena itu, aku menggunakan pena ku untuk menekan-nekan punggungnya.
Dia menoleh ke belakang dan seketika aku di buat menjadi batu untuk sejenak, Daren menatap aku tapi bibirnya sama sekali tidak tersenyum.
“Apa?” nada suara yang Daren gunakan tidak kasar, tidak tinggi juga itu agak halus.
Aku menundukkan kepala, menelan saliva ku lalu menggunakan suara lembut; “Maaf, kepalamu menghalangi bagian yang ingin aku tulis.”
“Oh... ” Daren berkata demikian, memperhatikan tulisan tanganku, menoleh kearah guru kemudian mengangkat pena dan buku tulisnya lalu diletakkannya tepat di depan buku ku.
Kemudian sebelum aku berbicara, Daren sudah mendahului aku:
“Lihat saja punyaku, aku agak tidak nyaman saat seseorang menatap punggungku, Aku lebih suka saat seseorang itu menatap wajah ku.”
‘Seseorang...Hah, Siapa?’ timbullah pertanyaan ini dalam pikiranku.
Mungkin otakku sama sekali tidak memiliki kapasitas untuk bisa mengerti ucapannya. Jadi untuk itulah, aku hanya tersenyum dan berterima kasih padanya.
Guru kemudian memperhatikan seisi kelas dan matanya berhenti di punggung Daren, mengernyit lalu berbicara; “Daren, apa yang kau lakukan dengan mengganggu teman sekelas mu?”
Daren menoleh ke depan dan menjawab pertanyaan guru: “Guru, Aku hanya membantu Rafaella karena ia sedikit tidak mengerti beberapa bagian. ”
Dasar, pembohong!
“Kalau begitu, bagus. Teruskan saja, teman sekelas memang harus saling membantu.”
“...” Aku terdiam karena suaraku terhambat di temggorokan. Mengapa Daren menggunakan alasan itu? Jelas saja aku rasa Daren sendiri tahu bahwa aku tidak bodoh di matematika.
Aku bisa mengerjakannya sendiri, tanpa bantuan siapapun. Aku pikir ini hanya sebuah alasan tidak logis agar dia memiliki teman untuk cerita.
Daren kemudian tersenyum dengan rasa bangga di wajahnya dan berkata; “Bagaimana aku hebat kan?”
Kris yang duduk di sampingnya menjawab; “Ya, kau hebat dalam mencari alasan!”
Indira juga ikut menjawab: “Ya, kau hebat bisa mencari alasan untuk mengganggu sahabatku. ”
“...”
“?!” kalian semua, aku tidak mengerti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments