Aku berulang kali bergantian menatap siomay dan Daren. Daren tersenyum masih dengan menatap aku, kemudian aku mengambil alih tusukan siomay dari tangannya dan memakannya sendiri.
Aku melihat pandangan matanya mulai berubah, senyumnya mulai menghilang. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, sehingga aku hanya tersenyum senang padanya, “Terima kasih, siomaynya enak.”
“Tentu saja, itu karena dia sendiri yang
,” Kris menghabiskan siomay terakhirnya.
“Eh, yang benar?” situasi menjadi cukup hening, aku kemudian merasakan tanganku digenggam olehnya.
“Sudah, Ayo pergi bel sudah berbunyi tuh.”
“Ya, sudah berbunyi, dan kau pun mulai mencari kesempatan.”
“Diam! Ayo,pergi.”
“Em,” Dia mengubah Panggilannya lagi.
Ku pandangi tangan yang terus menggenggam tanganku itu, mengapa rasanya hangat dan cukup nyaman? Tangan Daren sedikit lebih besar dari tanganku,
pas diusianya yang baru 14 tahun beberapa minggu yang lalu.
Dia menarik tanganku untuk mengikutinya hingga kami tiba di kelas. Daren membuka pintu kelas, kemudian kami masuk. Teman kelas memperhatikan kami, sekumpulan anak laki-laki di belakang bersiul seperti burung pipit.
“Apakah ada kabar baik?”
“Apakah kalian sudah bersama?”
“Hei, beri kami konfirmasi, Daren!”
“Diam!” suara bariton Daren keluar. Aku terdiam, masih berdiri di sampingnya memandang tangan kami, Daren belum melepaskan tanganku. Aku mengetuk pundaknya agar dia menoleh padaku.
“Ada apa?” Daren bertanya seolah-olah tidak sadar akan sesuatu.
Aku tersenyum padanya lalu berkata; “Aku mau duduk, jadi bisakah kamu melepaskan tanganku? Teman sekelas memperhatikan kita dari tadi.”
Daren menoleh ke arah tangan kami, kemudian dia mematung sejenak, menatap lama tangan kami lalu memutuskan untuk menoleh padaku, “Em?”
“Akan aku lepas, tapi jangan harap kau bisa lepas dariku.”
“Apa maksudnya? Apakah kita tertempel seperti menggunakan lem? Sehingga tidak bisa terlepas?”
“Kamu masih harus banyak belajar Rafael, suatu hari kamu akan mengerti apa yang aku maksud, ” Daren tersenyum, lalu melepas genggaman tangannya kemudian tangannya menyentuh kepalaku.
“Duduklah, sebentar lagi kelas akan dimulai.” Aku patuh seperti seekor anak anjing kecil, pergi duduk di kursi.
Aku terdiam, memikirkan kembali apa yang baru saja terjadi. Perasaan hangat masih terasa di telapak tanganku, Aku memandang punggung Daren, kulihat dia sedang bercengkrama dengan temannya.
Entahlah, kurasa aku suka saat dia tersenyum. Wajahnya tampak lebih cerah, dan itu seperti ingin membuat aku ikut tersenyum juga, tapi aku dengan sebaik mungkin menahannya.
Ada apa dengan area jantungku yang berdenyut tidak karuan?
Aku menggelengkan kepala, pikiranku itu tidak mungkin. Pasti hanya sebuah kebetulan saja, seperti ketika aku melihat adikku tertawa dengan gembira bermain dengan bonekanya, aku menyukainya.
Tuk!
Aku mengangkat pandangan ku, tangan itu masih ada di dahi ku, dari jarak sedekat ini aku melihat matanya, pandangan kami bertemu dan itu terjadi beberapa saat sebelum dia melepas harinya dari dahi ku.
“Jangan melamun, apa yang kau pikirkan?” Daren bertanya, suaranya halus dan sedikit berbeda.
“Aku... ah, tidak aku tidak memikirkan apapun.”
Daren mengangkat satu alisnya menatapku, lagi. Aku tercengang, tangannya kembali terangkat dan menyentuh puncak kepalaku lagi, lalu bibirnya terangkat membentuk senyum yang tipis.
“Lain kali kalau kau menghayal lagi aku mungkin saja akan melakukan sesuatu padamu.”
“Hah? Apa?” Aku tercengang lagi dan sedikit mundur dari jangkauannya.
“Tidak ada apa-apa,” Setelah berkata demikian, Daren berbalik menatap ke depan papan tulis.
Guru mengajar sekitar 2 jam lebih, kemudian di lanjutkan dengan pelajaran lain, hingga sekitar pukul 13.15, kelas terakhir pun selesai. Aku dan indira duduk sejenak untuk menunggu kelas agak sepi agar tidak berdesakan.
Setelah itu, kami pulang hanya untuk mengisi perut dan bersiap untuk ke sekolah lagi, karena harus mengikuti ekskul. Bertemu di gerbang sekolah, bersama-sama memasuki lingkungan sekolah.
Seperti biasa, kami langsung disambut oleh kak Leon, dengan buku absen dan pena di tangannya. Hari ini kak Leon menggunakan kacamata, dengan wajah yang bugar, seusai olahraga.
Kami masuk dan mengumpulkan barang-barang kami di satu meja. Kemudian memulai pemanasan, sebelum akhirnya berpasangan untuk menjadi lawan Badminton.
Permainan berlangsung kurang lebih 45 menit, hingga pukul 15.00 Wita.
“Ayo, istirahat sebentar,” Indira mengajakku, kami kemudian duduk di teras ruang guru yang berdekatan dengan barang-barang kami.
“Ingin makan?” Tanyaku, sambil Mengipas wajahku.
Indira mengangguk, “Bakwan seberang sekolah, bagaimana?”
“Berminyak tapi, bolehlah.”
Di seberang sekolah ku ada banyak gardu, juga sebuah toko swalayan dan Cafe kecil, tempat biasanya anak-anak akan nongkrong. Menu istimewa yang paling digemari adalah Bakwan.
Bakwan Cafe tersebut tidak tipis dan justru tebal, dan besar dengan harga yang terbilang murah Rp1.500, -/ biji. Dengan sambal yang pedas-manis, terkadang jika ada waktu kami selalu singgah disana setelah kelas selesai.
Saat kami sudah ingin pergi, pundak ku ditahan oleh seseorang sehingga hal tersebut menahan gerak lu. Aku menoleh, mendapati Kris dan Daren, yang baru selesai bermain.
“Sudah akan pulang? Kemana kalian akan pergi?” Kris bertanya.
“Cafe seberang, kami hendak ke sana, ” Jawabku.
“Boleh kami ikut?” tanyanya lagi.
“Mengapa kalian harus bertanya? Ayo, cepat. Aku sudah lapar tahu, ” Kali ini Indira, yang langsung menarik tanganku untuk mengikutinya.
Daren dan Kris menyusul di belakang kami, untuk sekilas aku melihat bibirnya terangkat lagi tadi. Setibanya kami di cafe kecil seberang sekolah, sang pemilik Cafe menyambut kedatangan kami.
Pemilik Cafe berusia sekitar 30th, beranak satu, suaminya bekerja sebagai seorang guru disalah satu Sekolah Dasar di kota kami, Kami duduk di salah satu meja dengan empat kursi tepat di samping jendela.
Setelah menunggu beberapa saat, dua piring bakwan akhirnya muncul di meja kami, beserta sambal khas milik Ibu Arum tidak lupa dengan minuman kami empat jus jeruk.
“Selamat makan,” ucap kami semua. Karena hanya menikmati camilan sore, kami menikmatinya sambil mengobrol ria.
Jam kemudian menunjukkan pukul empat sore, “Setelah makan pulang?” tanya Daren.
“Iya, lantas kemana lagi? Rumah kami jauh tahu,” Indira menjawab.
“Iya benar, jika terlambat pulang aku bisa dapat wawancara dari keluarga,” tambah ku.
“Setelah ini, ikut denganku saja Ella. Hari juga sudah semakin sore, mungkin angkot didepan Gereja sudah tidak ada.”
“Bukankah arah rumah kalian berbeda?” Tanya Daren.
“Ya, tapi jalurnya tetap sama. Hanya saja aku naik dua angkot, Angkot pertama yang aku tumpangi akan melewati rumah Ella, ” jawab Kris.
Daren mengangguk paham, kemudian berkata: “Kalau begitu, jaga dia untukku.”
“Tentu saja, aku akan menjaga dia untukmu.”
Prak!!
Suara hantaman di atas meja terdengar, sehingga membuat kami bertiga menoleh pada Indira. Wajah Indira tampak jengah dengan mulut yang masih mengunyah bakwan, lalu dia minum dan berkata;
“Lanjutkan obrolan kalian, anggap saja aku tidak ada disini. Lain kali jangan mengajak mereka berdua, Ella”
“Makanya cari crush sana,” ejek Kris yang kemudian berteriak kesal karena Indira menendang kakinya.
“Seperti kau punya saja,” balas Indira.
“Hentikan kalian berdua, jangan meributkan hal itu kita semua tidak punya crush disini.”
Semua menjadi diam, Daren menoleh ke tempat lain, Kris menampar wajahnya sendiri dan Indira menghela napas kemudian menggelengkan kepalanya: “Kau benar-benar tidak peka, Ella. Aku jadi kasihan dengan seseorang.”
“Hah, Apa!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments