Pada saat pulang sekolah, meskipun kakiku masih sangat sakit aku tetap bertahan di sekolah dan tidak izin untuk pulang. Tentu saja, ini semua karena apa yang di katakan oleh guru tadi siang.
Aku bersemangat sambil menahan rasa sakit di lutut ku. Indira tadi tampak khawatir padaku, menyarankan aku untuk meminta izin saja, dari pada terus berada di sekolah dan menunggu guru datang.
Aku menjadi penasaran karena guru seni rupa berkata bahwa sekolah sudah menemukan kandidat baru untuk mengikuti lomba lukis antar daerah, aku merasa bahwa hari ini adalah keberuntunganku.
Sudah sejak lama aku aku berharap posisiku diganti oleh seseorang, bagaimana pun guru merekrut kami sejak awal karena kami bisa menggambar, guru mengatakan orang yang bisa menggambar akan mudah untuk belajar melukis.
Tapi, aku tidak setuju dengan hal ini. Aku sudah lama mencoba dan memang tidak memiliki skill disana, Kami duduk ditempat biasa menunggu kedatangan guru yang sudah membimbing kami beberapa Minggu ini.
Guru datang mendekati kami, di belakangnya ada dua orang siswa, yang aku rasa satu tingkat dengan kami. Seorang anak laki-laki dan seorang lagi anak perempuan.
Guru berkata, “Perkenalkan mereka adalah Dian dan Raka, dua kandidat yang akan mengikuti lomba lukis daerah.”
Aku berkata setelah menyusun kalimatku, “Guru, bolehkah aku mengundurkan diri? aku baru saja mendapat musibah tadi dan tidak yakin akan sembuh dalam seminggu.”
Aku berkata demikian sambil memeluk lengan kananku, berakting seperti tangan ku ikut bermasalah saat aku terkena insiden pagi di lapangan tadi.
“Apakah separah itu? Apakah sudah diurut?”
“...” Guru menusuk relung hatiku, apakah guru tahu bahwa aku sedang berakting sekarang? Lalu ingin menguji aku?
Aku menggeleng, guru kemudian mengangguk lalu berkata, “Kalau begitu kau bisa menjadi pengawas mereka selama dua Minggu kedepan hingga hari limbah usai.”
"!!!” Perkataan guru membuat aku terkejut, aku ingin bebas dari kegiatan seperti ini. Tapi mengapa aku justru menjadi pendamping mereka hingga lomba usai?
Tidak estetik!
Aku merasakan bahwa mereka yang hadir disana sedang diam-diam menertawakan aku. Aku bisa merasakannya karena kuris papan yang kami gunakan bergoyang, Aku kemudian membuang mukaku kearah lain, dengan pipi yang berisi udara.
Dan sialnya mataku justru di pertemukan dengan mata Raka yang tertuju padaku. Raka berada di kelas paling belakang, jaraknya agak terpisah jauh dari ruang kelas kami, karena posisinya yang berada di belakang Kantin sekolah.
“Guru kau sangat kejam!” batinku, kemudian guru pun pergi meninggalkan kami.
“Jadi apa yang harus dilakukan?” Dian bertanya padaku, lalu aku berpikir kemudian berkata, “Lukis saja apa yang kalian inginkan.”
“Aku sudah bosan dengan objek tumbuhan atau benda, bagaimana jika kau menjadi model kami?” Ambe bertanya padaku.
“Hah?! Aku?” Tanyaku dengan bingung, sambil menatap mereka bertiga secara bergantian.
“Ya, kau. Biarkan kami berlatih melukis manusia.”
“...” Aku diam, ini ide gila. Seseorang yang menjadi model lukis tidak bisa bergerak selama berjam-jam lebih. Aku pasti tidak bisa menahannya, jika harus diam tanpa melakukan apapun.
“Mengapa tidak pakai tulang manusia di dalam laboratorium?” Tawar ku pada mereka.
“Apa yang bisa di dapatkan dari tulang manusia imitasi itu?” Suara Raka akhirnya terdengar, aku meliriknya menunggu dia berbicara lagi.
“Kau sudah tepat, hanya berpose sedikit, atau tersenyum saja dengan manis.”
Uhuk! Aku tidak salah dengarkan? Raka mengatakan aku manis? Dari mananya? Aku bahkan merasa bahwa wajahku dibawah standar, aku jarang berdandan, cuci muka saja itu saat pagi dan malam dengan air dan sabun mandi.
Ibuku berkata bahwa kulit remaja itu sensitif, dan masih muda apa lagi usiaku baru menginjak 13 tahun. Jadi Ibu melarang aku menggunakan produk-produk pencuci wajah yang sudah ada pada saat itu.
“Ella, kau harus melakukannya yah? Ayolah...” Amber menggunakan mata bulat Chihuahua yang menyedihkan padaku.
Ah, sial! Aku menarik perkataan tadi yang mengatakan bahwa hari ini adalah keberuntunganku. Aku benar-benar tidak beruntung hari ini, sudah jatuh saat olahraga, dijadikan asisten untuk mengawasi mereka lalu sekarang menjadi patung untuk beberapa jam kedepan.
Dengan berat hati aku akhirnya menyetujuinya juga, kami memilih untuk duduk di bawah pohon yang berada tepat di depan laboratorium. Hari ini lapangan tampak sepi karena tidak ada ekskul basket, jadi mereka bisa menggunakannya dengan bebas.
Biasanya ekskul dilakukan di hari Jumat, tapi karena beberapa alasan jadwal hari Jumat di pindahkan ke hari Kamis. Klub badminton adalah salah satunya, yang pindah ke hari ini.
Aku bisa melihat Indira sedang bermain bersama dengan anak klub kami, Aku merasakan sebuah tangan menyentuh daguku dan mengubah arah pandang ku. Mataku bertemu lagi dengan Mata Raka, bibirnya tampak tersenyum sedikit dalam.
“Fokus ke depan, jika ingin hasilnya baik, aku hanya akan melukis sekali saja untuk hari ini,” ucap Raka, dia seperti sedang meneliti garis wajahku.
“Cobalah tersenyum lebih lebar.”
Aku mengikutinya, salah satu alisku terangkat, menatap bingung kearahnya, “Ada apa?”
“Wajahmu mengikuti standar kecantikan negara jepang, dengan gigi gingsul, itu manis saat kau tertawa.”
Uhuk! Aku tersedak untuk yang kedua kalinya, mengapa berkata seperti itu? Otakku tidak sampai pada pokok pembahasaan 5ersebut. Dia terus menggerakkan tangannya kek kiri dan ke kanan, atas dan bawah. Wajahnya sangat dekat denganku, ini seperti hidung kami akan bersentuhan saat aku salah bergerak, napas ku terasa hangat.
“Apa yang kalian lakukan?” aku mendengar suara Daren, mataku bergerak melirik ke arahnya yang sedang memegang raket badminton dan bolanya. Raka juga ikut melirik padanya, lalu aku berkata: “Raka sedang mengukur wajahku.”
“Raka? Mengukur wajah? Aku bahkan belum pernah mendengar kau memanggil namaku dalam dua bulan ini.”
“Iya Raka, dia adalah salah satu kandidat yang akan diutus sekolah. Aku sedang membantu mereka, sebagai objek lukis. Kau mungkin tidak ingat aku pernah memanggil namamu di situasi tertentu,” ucapku.
Aku melihat wajahnya berubah, ada apa sih ini? Aku lalu mendengar Daren bertanya lagi; “Bukankah kau sudah di gantikan? Mengapa masih ada disini?”
“Dia menjadi asisten guru sampai lomba selesai,” bukan aku yang menjawab, melainkan Raka.
“Kau jadi asisten guru?” dia bertanya padaku, lalu aku pun mengangguk sebagai jawaban.
Kemudian, Daren memperhatikan kami lagi, Aku diam mengangguk sedikit lalu ingin segera menjauh darinya. Daren tampak berbeda,yah setidaknya dari pandangan matanya.
“Hei, kapan kita akan mulai?” Dian bicara, sejak tadi dia dan Amber sudah duduk menunggu Raka selesai memperbaiki posisi dudukku.
“Ya baik. Ella, kau cukup senyum saka dan jangan bergerak.”
“Aku paham, lakukan cepat, lihat hari sudah semakin sore tahu,” ucapku.
Raka kembali bersama dengan Dian dan Amber, sementara aku duduk di bawah pohon, menatap lurus kearah mereka. Dalam diam, ku gerakkan bola mataku ke arah Daren.
‘Kenapa kau masih disini?’
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments