Hari Biasa

Beberapa hari kemudian adalah hari senin, kegiatan rutin di pagi hari adalah upacara bendera. Matahari sedikit tinggi, kami berdiri berbaris, hingga waktu dimana pemimpin upacara mengumumkan sesuatu.

Kami berdiri dibawa terik matahari, kepala sekolah mengumumkan tentang prestasi yang telah di peroleh oleh sekolah kami minggu kemarin. Anak basket putra memperoleh urutan pertama dalam lomba kemarin.

Ekskul badminton memperoleh urutan kedua untuk putra dan ketiga untuk putri. Aku kagum pada mereka, saat aku lihat nama-nama yang berpartisipasi dipanggil untuk maju ke depan.

Aku tersenyum ketika memerhatikan Kak Leon merupakan salah satu yang namanya di sebutkan, Kak Leon memang keren, tahun lalu kak Leon berhasil masuk urutan ketiga untuk badminton putra.

Sekarang dia mengorek prestasi lagi, aku merasakan rambutku dengan pelan ditarik dengan lembut oleh seseorang. Aku menoleh ke samping kiri dan mulai mengernyit.

“Ada apa? ” Aku bertanya pada Melvin yang berdiri tepat di sampingku.

“Berhenti memamerkan senyummu itu, ” Jawabnya

Hah? “Kenapa? ”

“Kau membuat mood seseorang menjadi buruk, ” jelasnya.

‘Memang apa yang sudah aku lakukan?’ tanyaku sendiri, mengapa aku merasa orang-orang mulai mengatur aku harus tersenyum pada siapa?

Aku kemudian kembali berpikir sejenak kemudian aku mencoba menoleh pada Indira yang tepat berada di belakangku namun gagal karena Indira sudah lebih dulu berbisik padaku.

“Jangan bergerak, kau bisa menarik perhatian para guru.”

“Apa yang terjadi dibelakang? Mengapa Melvin berkata aku harus berhenti tersenyum?”

“Jangan di pikirkan, dia hanya ingin mengusili dirimu. Sebenarnya, Daren agak merasa agak pusing dan sejak tadi kau bergerak kiri kanan.”

“Oh, maafkan aku. aku tidak akan bergerak lagi.”

Setelah beberapa lama, upacara selesai. Aku tidak menyangka bahwa bidang seni hanya akan memperoleh posisi ketiga karena didiskualifikasi dari sesi lomba terakhir.

Guru berkata bahwa pada saat itu Dian tiba-tiba tidak sadarkan diri, sementara lomba harus di lakukan oleh dua orang tim yang ikut serta dalam perlombaan. temanku berkata bahwa panitia tidak mengizinkan untuk mencari pengganti.

Setelah tiba di kelas, kami duduk di tempat kami dan menunggu guru datang. Aku memperhatikan punggung Daren, lalu aku membuka tasku dan mengambil minyak kayu putih.

Dia berbalik dan menatap aku dengan malas, wajahnya agak merah. Aku rasa dia besar-benar sedang tidak enak badan. Dia bertanya padaku, “Ada apa?”

Aku menyodorkan minyak kayu putih, “Pakailah, aku harap kau merasa lebih enakan.”

Dia menatap aku dengan tanpa ada niat merespon, Aku menghela napas kemudian meraih tangannya dan meletakkan botol minyak kayu putih tersebut di tangannya.

“Pakai saja, katakan jika kau butuh yang lain. Aku rasa aku punya tolak angin juga, ” setelah berkata demikian aku tersenyum adanya, tidak lupa aku menyentuh dahinya untuk mengecek suhu badannya.

“Aku rasa kau butuh istirahat, wajahmu tampak memerah, suhu mu naik tapi hei... Apakah kau sedang panas dingin?”

“Hei, hentikan itu. Guru sudah datang, ” Indira mengingatkan aku.

Kemudian aku sedikit mendengar Kris seperti berkata: “Yakinlah kau pasti tidak akan bisa tidur malam ini.”

“Diam kau.”

Pelajaran berlangsung seperti biasa, hingga jam istirahat berbunyi. Guru keluar dan kami mulai mengemasi buku-buku kami. Aku melihat Daren tetap di tempat duduknya, hanya menutup mata dan enggan untuk pergi.

“Ella, apa kau tidak akan ke kantin?” Kudengar Indira bertanya.

“Bolehkah aku titip saja? Aku sedang enggan keluar, aku juga sedang menunggu seseorang. ”

“Kalau begitu baiklah, aku akan segera kembali, ayo Kris kau juga pasti akan membelikan makanan untuk dia kan? ”

“Ah, uhm... iya. ”

Mereka berdua pun pergi, aku kemudian ikut membaringkan kepalaku di atas tas ranselku dan menatap ke arah Daren. Baru saja aku ingin menutup mataku, suara Daren membuat aku membuka mata lagi.

“Siapa yang sedang kau tunggu?” Tanya Daren.

“Mengapa kau bertanya?” Aku menatap dia yang wajahnya semakin dekat dengan wajahku.

“Aku sedang menunggumu. Tentu saja aku sedang bercanda, aku akan menjagamu sampai pulang sekolah.”

Daren kemudian membulatkan matanya dengan lebar, menatap aku kemudian dia sedikit tersenyum. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi mengapa aku senang melihat dia tersenyum?

Udara di sekitarku terasa lebih hangat, tangannya terangkat kemudian dia mengelus kepalaku dengan lembut. Aku ingin menutup mataku, tapi suara seseorang yang berteriak memanggil namaku di luar kelas membuat kami mematung.

Daren kemudian berkata, “Bukankah barusan kau berkata akan menjaga aku sampai pulang sekolah?” wajahnya tampak sayup lagi.

“Aku sungguh tidak tahu, mereka tiba-tiba datang sendiri.”

Aku berkata mereka karena memang lebih dari dua, keduanya adalah Raka dan Kak Leon. Mereka dengan tidak sopan masuk kedalam ruang kelas kami dan duduk di sekitar kursi yang sedang kosong.

Kelas kami sedang sepi, hanya ada beberapa penghuni saja. Aku merasakan aura di sekitar jadi tidak enak, ada apa ini. Apa hanya perasaanku saja atau mereka bertiga sedang berkomunikasi melalui pandangan mata.

“Kak Leon, Raka apa yang kalian lakukan di kelasku?”

“Aku hanya ingin melihatmu, apa itu salah? Aku sudah lama tidak melihatmu tahu,” Kak Leon yang pertama menjawab.

Lalu kau! Aku melirik ada Raka.

“Aku datang ingin minta maaf karena tidak bisa menduduki tempat pertama seperti yang aku katakan.”

Aku sedikit terkejut, kemudian mengingat apa yang akan terjadi jika Raka berhasil mendapatkan tempat pertama. Sudahlah aku juga sudah lupa dia meminta apa dariku jika dia berhasil.

“Baiklah, sekarang kalian bisa pergi. daren sedang sakit jadi tidak bisa mendengar suara bising. ”

“Hah? Apa kau mengusir kami?”.

“aku tidak bermaksud kak, lihat daren pasti merasa sangat pusing mendengar kebisingan kita, lihat wajahnya bahkan jadi merah. Hubungi saja aku melalui pesan kak.”

“Aduh... ” Aku melihat Daren menyentuh kepalanya dan matanya sedikit berair.

Kak Leon berdiri kemudian melirik ke arah ku sebentar, aku jadi bertanya mengapa semua prang suka mengelus kepalaku? Aku bukan anak anjing atau kelinci atau kucing.

“Aku bersyukur kau tidak peka Ella.”

Aku melirik pada Raka dan Daren lalu bertanya setelah kak Leon meninggalkan kelas, “Apa maksudnya dengan tidak peka?”

“Itu artinya kau sulit memahami situasi, ” Suara Indira terdengar dari pintu, ia sudah kembali dengan makanan  di tangannya.

“Apa maksudmu?” Aku bertanya kembali.

“Sudah, jangan katakan lagi, bagus untukmu artinya kau belum dewasa dan masih polos.”

Hei, ayolah aku bahkan jauh lebih tua empat bulan darimu.

“Itu benar, makanya aku tidak ingin berterus terang. Dia masih belum begitu kecil dan usianya juga belum dewasa.”

Apa maksudnya dengan berterus terang? Adakah dari kalian yang bisa menjelaskan hal ini padaku? Apa yang sedang kalian bahas? Aku menatap Kris yang langsung membuang muka dan Raka yang sudah berdiri dari duduknya bersiap untuk pergi.

“Itu benar, aku juga tidak akan  berterus terang sampai dia mengerti tentang hal itu.”

Hei! Apakah hanya aku yang tidak mengerti disini?

Apa yang sudah kalian sembunyikan dariku!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!