Ketika aku tiba di rumah, aku langsung membersihkan diriku terlebih dahulu, setelah selesai aku memilih untuk ke lantai bawah rumahku. Kakek dan nenek duduk bersama sambil minum kopi.
Ibuku mungkin sedang bersama teman-temannya melaksanakan kegiatan bulanan mereka setiap tanggal 10, yaitu Arisan Ibu-Ibu. Adikku bermain bersama dengan bibiku, adik ibuku. Ayah tinggal bersama nenek dan kakekku (keluarga ayah).
Keduanya tinggal terpisah karena urusan pekerjaan, Ibu terlanjur mendapatkan pekerjaan di daerah yang kami tinggali sekarang, Ayah juga seperti itu. Karena pekerjaan itulah kami biasanya hanya dua kali dalam satu tahun, di libur kenaikan kelas dan libur Natal.
Ayah berprofesi sebagai seorang karyawan disalah satu perusahaan manufaktur di Indonesia, sementara ibuku berprofesi sebagai bendahara di salah satu sekolah menengah di kota kami.
Keduanya memang sangat sibuk tapi aku sudah mulai memahami hal ini karena didikan dan ajaran orang tuaku bahwa waktu mereka dalam bekerja semuanya itu demi kami, demi pendidikan kami, dan demi masa depan kami.
Oleh karena itu, Ayahku selalu Mengatakan bahwa kami masihkah sebesar biji jagung, untuk menjadi orang maka diperlukan kerja keras dan proses panjang. Maksud Orang disini adalah untuk orang-orang yang sudah bisa menghidupi dirinya sendiri, dengan hasil dari kerja kerasnya sendiri.
Kakek memperhatikan aku saat aku ingin duduk bersama dengan mereka, “Kenapa pulangnya lambat?”
“Aku ada kegiatan ekskul kakek, hingga pukul tiga sore lalu singgah untuk makan camilan di kafe depan sekolah.”
“Lain kali, pulanglah lebih cepat, Anak gadis tidak baik jika pulang terlalu malam, ” kemudian setelah berbicara demikian, Kakek menyeruput kopinya dan melanjutkan obrolan mereka.
“Baik kakek, ” Aku duduk bersama kakek dan nenek mendengarkan obrolan mereka tentang isu-isu yang sedang beredar di sekitar.
“Ella, apa kau dengar berita baru-baru ini? Jadilah anak baik, jangan seperti anak itu, karena pergaulan yang bebas dia sudah akan menikah,” kakek menatap aku sambil berbicara.
“Ella kita adalah anak yang baik dan patuh,” nenek ada di pihak ku Dia mengusap kepalaku dengan sayang.
Itu benar, lagi pula siapa anak itu? Aku sendiri bahkan tidak mengenalnya, sekalipun nenek dan kakek mengatakannya padaku aku tidak akan tahu.
Kenapa?
Karena anak yang sedang dibahas oleh nenek dan kakek ku tinggal jauh dari lingkungan kami. Sekolah kami berbeda, dan lagi aku selalu berada di rumah karena aturan keluarga yang membatasi jam bebas ku.
Mengenai batasan jam, aku bahkan tidak pernah berpikir bahwa aku dilarang untuk melakukan apa yang aku suka atau berkumpul dengan teman lain di luar jam sekolah, maksudnya setelah tiba di rumah dan memutuskan untuk pergi lagi.
Ketika aku Sekolah Dasar di kelas VI ada praktek memasak, kami tergantung di dalam kelompok besar berjumlah sembilan orang untuk memasak makanan lalu membawanya ke sekolah untuk di nilai oleh para guru.
Anggota kelompok ku memutuskan untuk tinggal di satu rumah lalu memasak bersama, tapi berbeda dengan ku yang tidak mendapatkan Izin, aku hanya membantu dalam biaya yang di perlukan.
Ibu, kakek dan nenek bahkan bibiku menentang dengan hal yang sama; “Tidak bisa, lokasinya jauh dan kau adalah anak gadis. Anak gadis tidak bisa sembarang tinggal di rumah orang lain.”
Untung saja aku mendapat teman kelompok yang baik, meskipun pada lahirnya di hari penilaian mereka lebih banyak diam dan enggan untuk berbicara denganku.
Setelah makan malam selesai, aku kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas matematikaku. Hingga pada pukul 20.10 malam, sering ponsel ku berbunyi. Sebuah tanda bahwa aku mendapat sebuah pesan baru.
Pesan dari Daren:
Apa kau sudah tidur?
Tidak, Aku belum tidur
Apakah aku menganggu?
Tentu tidak, ada apa?
Bisakah aku melihat tugas matematika milikmu?
Ingin lihat yang.
Nomor berapa?
Nomor 3 aku sedikit bingung disana.
Baiklah, datang lebih cepat ke kelas besok untuk mencatat jawaban milikku
Okey, Terima kasih
kelinciku
Hah?!
Selamat tidur,
mimpi indah ku
???
Ponsel yang aku miliki adalah Nokia hitam, Aku menunggu beberapa saat namun Dia sudah tidak membalas pesanku, jadi aku memutuskan untuk mematikan ponselku lalu segera tidur.
Pagi harinya aku bangun seperti biasa dan bersiap, sarapan dan minum susu lalu berangkat ke sekolah di jam 06.30 Wita. Area sekolah tampak masih sepi, aku segera berjalan ke ruang kelasku yang dekat dengan gerbang kedua sekolah.
Masih ada waktu 15 menit sebelum bel untuk doa pagi dimulai, aku duduk di kursi ku sambil menunggu Daren, tidak lama dia muncul dan langsung bergegas duduk di kursi milik Indira.
“Kau harus menunggu aku hingga aku selesai,” Daren berbicara di tengah-tengah kegiatannya.
“Bisakah aku pergi bersama yang lain? Waktu doa pagi akan segera tiba,” tawar ku, lalu dia hanya menggelengkan kepalanya dan menjawab; “Pergi bersamaku.”
“Tapi nanti akan sulit menemukan tempat duduk.”
“Duduk di dekatku saja... ”
Daren membuat jeda untuk beberapa saat lalu melanjutkan ucapannya lagi; “... aku sudah titip tempat pada Kris tadi.”
“Kalau begitu, cepat selesaikan pekerjaanmu. Bukankah hanya satu nomor saja, mengapa selama itu?” tanyaku, jelas saja mencatat jawaban untuk satu nomor tidak butuh banyak waktu.
Daren yampak tersenyum dengan matanya yang jelas melirik padaku, aku mengernyit menatapnya balik; “Hei, apa yang kau lihat?”
Dia kemudian tersentak pelan, kaget mungkin karena aku memergoki dia. Dia lalu mempercepat tulisannya, menutup buku dan melempar bukunya kedepan laci mejanya.
“Rafael, ayo kita pergi sekarang, ” Daren berdiri di penghujung pintu menungguku.
KKemudian bersama kami menuju ke taman baca untuk berdoa bersama, sepanjang jalan sudah mulai kosong dan tampak fo pintu perpustakaan sudah tidak ramai lagi.
“Apa kau yakin masih ada tempat?” tanyaku.
“Masuk dan lihat...” Daren berhenti bicara, kami masuk dan benar saja sudah sulit menemukan tempat duduk.
Lokasi tempat teman kelas kami sudah hampir penuh, hanya tersisa satu kursi lagi yang berada tepat di tengah-tengah Kris dan Vero. Tempat lain yang kosong adalah di sisi lain Raka dan seorang gadis dari kelas lain.
Aku melihat Raka melambaikan tangannya ke arahku, dan menepuk tepat kosong di sampingnya. ketika kakiku sudah akan melangkah ke arahnya, tanganku di tahan oleh Daren.
“Pergilah ketempat Kris, biar aku yang duduk di sana,” ucap Daren kemudian dia melangkah pergi enggan mendengarkan aku bicara.
“Rafaella, cepat duduk agar kita bisa mulai berdoa, ” aku tersentak kaget mendengar suara guru tepat di belakang ku.
“Baik Pak,” aku kemudian bergegas menuju tempat Kris dengan kepala yang masih memikirkan apa yang baru saja terjadi.
‘Kenapa dia meminta aku duduk disini?’-Batinku
“Dia tidak suka kau dekat dengan Raka,” aku sedikit terkejut lalu menoleh ke arah Kris yang berada tepat di. Sampingku, ‘Apakah kau bisa membaca pikiranku?’
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments