Setelah doa pagi selesai kami kembali ke kelas untuk memulai pelajaran, mata pelajaran pertama adalah matematika. Aku cukup pintar dalam bidang ini, buktinya teman sekelas pasti akan selalu bertanya padaku jika sedikit tidak paham.
Kami menunggu guru pengajar tiba dan mulai menjelaskan materi untuk hari ini, seperti hari-hari yang kemarin Daren selalu membalikkan tubuhnya dan mulai mengajak aku berbicara lagi.
Kali ini ia meminta aku untuk menjelaskan tentang pekerjaan rumah yang sudah aku kerjakan, aku hanya mengabulkan permohonannya. Memberikan penjelasan padanya sambil mengarahkan penaku pada buku ku.
Aku tidak tahu berapa menit yang aku gunakan untuk menjelaskan pada Daren tentang bahasan tersebut, yang jelas setelah itu aku mengangkat kepalaku dan aku menemukan senyum itu lagi terpampang jelas di wajahnya.
“Anak-anak kumpulkan pekerjaan rumah kalian, Ibu akan memeriksanya sebentar setelah itu kita kuis,” Guru meletakkan barangnya di meja lalu mulai mengabsen kehadiran kami.
Kelas kemudian menjadi sedikit kacau, Guru adalah seorang wanita muda beranak satu, seorang guru yang baru diterima di sekolah setelah guru sebelumnya pensiun.
Seorang teman kelas mengangkat tangannya untuk bertanya; “Guru, pertemuan sebelumnya Anda tidak berkata bahwa akan ada kuis.”
“Apakah aku harus memberi kabar pada kalian jika ingin melakukan sesuatu?” Guru bertanya.
Siswa lain kemudian menjawab;
“Guru, kami tidak memiliki persiapan untuk kuis.”
Guru menatap seisi kelas, “Lalu, apa yang kalian lakukan kemarin? Siapa yang mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah?!”
seisi kelas diam, tidak ada yang ingin berbicara lagi. Guru kemudian mulai memeriksa hasil kerja kami, guru membagi susunan buku tersebut kedalam dua bagian.
Guru kemudian menatap kami semua lalu berbicara; “Siapa yang baru mengerjakan tugas di sekolah? Meniru hasil kerja teman sekelas.”
Teman sekelas “.... ”
“Tidak ada yang ingin mengaku? Kalau begitu, Ibu akan bertanya. Daren, apa kau tidak menyelesaikan pekerjaan rumahmu?”
Aku melihat punggung Daren yang sedikit tersentak, kemudian mendengar dia berbicara dengan jujur, “Maaf guru, aku sedikit kesulitan mengerjakan pertanyaan nomor ketiga sehingga aku meminta bantuan Rafaella untuk membimbing aku pagi ini.”
Guru kemudian menatap aku, “Benarkah begitu? Dia tidak menyalin hasil kerjamu kan?”
Aku mengangguk saja, “Tidak Guru, kami kemarin sudah berdiskusi lewat SMS tapi itu agak menyulitkan kami...”
“Baiklah, Ibu mengerti. Awal yang bagus saat kalian membentuk kelompok belajar. Sekarang, mereka yang mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah akan ibu kurangi nilainya, tidak akan sama dengan yang sudah siap dari rumah.”
Seorang murid memprotes keputusan guru, tapi guru tidak merespon hanya menatap murid tersebut lalu mengambil spidol dan menulis beberapa soal di papan tulis.
“Siapkan kertas kalian, dan kerjakan selama jam pelajaran. tidak ada yang kerja sama, jika sampai terjadi kalian mendapat telur busuk.”
"... ”
Kelas menjadi bising, kami mengerjakan soal yang sudah ada di papan tulis sedangkan guru mulai memberikan nilai pada pekerjaan rumah kami. Setelah sekian waktu, kertas ulangan dikumpul dan Guru memanggil pemimpin kelas untuk mengembalikan pekerjaan rumah kami.
Kelas menjadi bising lagi, karena para murid membandingkan nilai tugas akhir mereka. Aku dan Indira juga saling memeriksa hasil pekerjaan masing-masing, poin kami hanya berbeda dua angka.
“Uh,bukankah ini sama saja? Mengapa poin kita berbeda?” Aku bertanya jelas saja itu adalah (x) bukan (r).
“Guru mungkin tidak bisa membedakan tulisan mu, dari pandanganku jelas itu (r) bukan (x)”
“Apakah begitu?” Aku menyentuh daguku, sambil berpikir.
“Mari aku lihat... ” Aku berhenti berpikir ketika mendengar Daren berbicara. Dia mengambil kertas ku dan memandangnya untuk sejenak, lalu mengatakan kalimat yang membuat hatiku tertusuk; “Itu memang (r) bukan (x), tampaknya kau menulis terlalu cepat sehingga menjadi cakar ayam.”
Dasar tidak tahu Terima kasih! Aku sudah membantunya pagi tadi tapi sekarang dia membalas aku seperti ini? Dengan mengejek tulisanku. Ya, aku tahu bahwa tulisanku tidaklah rapi, tapi tidak bisakah dia mengatakannya saat aku sedang tidak berada di tempat?
Dia membuat aku kesal saja, sehingga tanpa sadar aku menggembungkan pipiku dan membuang muka darinya. tidak lupa aku merebut kembali milikku. Tingkahku tidak lama karena tiba-tiba aku merasakan tatapan mata itu lagi.
Aku menoleh lagi padanya, dengan kekesalan ku, “Apa,sih!”
“Tidak, jangan lakukan hal seperti tadi lagi, ” nada suara Daren membuat aku terkejut lagi, dia kenapa sih?
Aku diam tidak mengerti, dia kemudian sekilas tersenyum tipis lalu menepuk puncak kepalaku dengan pelan, “Apa kau akan ikut rekoleksi nanti?”
“Um? Mengapa kau bertanya, bukankah ini acara sekolah?” aku hanya bertanya balik.
“Tidak, lupakan saja.”
Setelah mengatakan itu, Daren berbalik dan mulai memperhatikan papan tulis lagi. sementara itu, aku masih setia memandangi punggungnya.
Aku melirik pada Indira dan bertanya padanya; “Dia kenapa sih?”
“Jangan tanya aku,”
“....”
Apakah ada perkataanku yang membuatnya bad mood lagi? Terkadang aku tidak bisa dengan pasti memastikan apa yang diinginkan Daren, sikapnya kadang suka berubah, dan itu membuatku bingung.
Setelah kelas usai, aku melihat Daren meninggalkan ruang kelas bersama dengan teman-temannya. Aku baru saja usai merapikan mejaku setelah mengobrol dengan Indira, kami tidak menuju kantin seperti biasa sebab kami membawa makan siang dari rumah.
Ruang kelas tampak lebih tenang sebab sedang istirahat, sebagian siswi berkumpul menjadi satu untuk memulai obrolan mereka, dan para siswa bermain bola sepak di lapangan, tepat di depan ruang kelas kami. Seorang teman sekelas menghampiri mejaku, dia salah satu gadis yang suka ikut perkumpulan dengan para gadis lainnya.
“Hei, Rafaella...” sapanya padaku.
“Ada apa, Ursula?” tanyaku.
Dia mendekat ke arahku yang sebelumnya duduk di sebuah kursi di samping mejaku, kemudian berbisik “Hei, apa benar kau mengenal Putra?”
Hah, Putra? Siapa? Aku mengernyit menatap bingung pada Ursula, untuk meminta dia menjelaskan lebih lanjut lagi. ada banyak orang yang namanya Putra, tahu. Putra anak kepala sekolah, Putra anak kelas sebelah, atau mas penjual batagor yang namanya juga Mas Putra.
“Itu loh, Putra anak kelas VIII.1... ” Aku berkedip mendengarnya, sejak kapan anak unggulan punya anggota bernama Putra?
“Hah, aku tidak tahu, kau mungkin salah orang. Aku tidak mengenalnya.”
“Apa iya? Tapi pagi tadi saat kalian belum kembali ke kelas, dia mencari kamu tahu.”
Apa! Mencari aku? Ada urusan apa anak unggulan mencari aku? Aku jarang mengobrol dengan mereka, kecuali saat ibadah pagi. Itu benar, aku hanya mengenal beberapa anak kelas unggulan tidak kenal semuanya.
“Mungkin, Rafael lain. Aku ingat kelas lain juga ada yang namanya Rafael, tepatnya namanya Rafaelsky....”
“Tapi yang dicari itu Rafaella bukan Rafaelsky tahu... ”
“Tidak, pasti itu salah orang...”
Kalimatku tergantung ketika suara yang familiar terdengar di telingaku, memanggil namaku dengan keras sampai membuat mereka menghentikan aktivitasnya sejenak.
“Hah!!!” aku ikut membuat heboh tanpa sadar berteriak, mengedipkan mata lima kali untuk memastikan aku tidak sedang bermimpi. Bagaimana orang satu ini bisa ada disini sih?
Bukankah seharusnya dia di luar kota bersama saudara nenek ku?
Aku berdiri berjalan keluar kelas, mendekat ke arah anak itu. Tanganku di tariknya lalu aku di peluk dengar erat sampai aku hampir tidak bisa bernapas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments