Hari itu tepat dihari Jumat adalah pelajaran olahraga, guru olahraga membebaskan kami setelah kegiatan pemanasan selesai dilakukan. Kami bebas untuk melakukan olahraga apa saja yang kami inginkan.
Para gadis didalam kelas kami memilih untuk bermain sepak bola, jangan salah meskipun sepak bola permainan anak laki-laki, kami memainkannya juga meskipun tidak semahir anak laki-laki pada umumnya.
Anak laki-laki didalam kelas kami berkumpul di teras ruang kelas kami, duduk sambil menonton permainan kami. Beberapa dari mereka meminum minuman dingin, dan yang lainnya tidak tahu apa yang sedang mereka bahas.
Bertanya tentang aku, aku berada di posisi yang jarang bergerak. Jadi aku hanya tampak seperti bersantai saja saat bola tidak mendekati gawang kami. Sebenarnya aku juga tidak banyak protes, ada awalnya teman-teman sekelas memperebutkan siapa yang akan menyerang.
Dan karena aku tidak ikut mengoceh, aku di tempatkan sebagai penjaga gawang. Tim para gadis tidak mendapatkan hasil yang baik, tidak tepatnya tim kami tidak bisa menendang bola dengan baik.
“Hei, apa kau bisa menendang bola?” Amber, selaku tim kami bertahan padaku.
“Sedikit, ada apa?” Aku bertanya.
“Ayo bertukar, aku sedikit lelah,” jawabnya. Aku diam sebentar sebelum mengangguk dan bertukar posisi dengannya.
Permainan kami dimulai, sebenarnya aku tidak pandai bermain bola sepak, aku hanya tahu bahwa bola harus melewati gawang jadi aku hanya mengincar gawang lawan.
Kami bermain cukup lama, sampai seorang teman menabrak tubuhku hingga aku terjatuh. Biola, gadis dengan tubuh yang agak besar dan berisi, meskipun cantik, aku minum bicara dengannya. Dia hanya meminta maaf lalu pergi, Indira membantu aku berdiri dan membawa aku kembali ke dalam kelas kami.
“Apakah sakit?” Indira bertanya padaku, dan aku hanya menggeleng sebagai jawaban.
“Kakimu tidak luka kan? Apa kita periksa ke UKS saja?”
“Tidak usah, jangan khawatir. Aku baik kok.”
“Tapi...”
Aku tersenyum padanya, memperlihatkan bahwa aku memang merasa baik. Hanya sedikit lecet saja karena gesekan tanah. Indira memang selalu seperti ini, dia menghawatirkan aku padahal sangat jelas bahwa aku lebih tua tiga bulan darinya.
Aku duduk di kursi ku, setelah pelajaran olahraga itu adalah jam istirahat. Aku tetap berada di dalam kelas, ditemani oleh Indira. Kami biasanya membawa air minum sendiri sehingga kami tidak perlu mengantri di kantin.
Ruang kelas tampak sepi, hanya tersisa beberapa orang saja. Selang beberapa menit, pintu kelas terbuka sehingga membuat kau menoleh. Pandangan kami pun bertemu, aku mengernyit dan mulai bertanya-tanya, Untuk apa kak Leon ada di kelas kami?
Kak Leon datang menghampiri meja kami, dia meletakkan Betadine, plester obat di atas meja kemudian tersenyum kearah kami, satu pertanyaan lagi dari mana kak Leon tahu aku sedang terluka?
“Terima kasih, ” ucapku lalu hendak mengambil Betadine dan plester obat, tapi sebelum aku sentuh seseorang sudah lebih dulu mengambilnya.
Aku mengangkat kepalaku agar aku bisa melihat wajah muram Daren? Aku berpikir sebentar lalu menyadari bahwa tempat duduknya digunakan oleh kak Leon, wajahnya sedang tersenyum lalu tidak lama aku aku merasakan kepalaku ditepuk olehnya.
“Aku pergi dulu, kau bisa istirahat hingga kakimu sembuh, dan lagi kau juga masih barus berlatih untuk lomba lukis daerah kan?”
“Ya, terima kasih,” aku menjawab singkat, walau terkesan tidak sopan karena aku tidak memanggilnya kakak, tapi dia tampak tidak peduli.
Setelah Kak Leon pergi, Daren berjalan menuju mejanya yang tepat berada di depanku. Dia berbalik lalu menatapku, “Apa yang dia lakukan disini?”
Aku diam menatapnya dengan bingung, ada apa?, “Dia datang membawa obat untuk Rafael, kakinya luka saat olahraga tadi,” Indira mewakili aku untuk memberi jawaban.
“Apa kau dekat dengannya? Mengapa dia tahu kalau kau masih harus berlatih melukis?”
Indira menjawab pertanyaan Daren lagi, “Tentu saja dia tahu, Kak Leon adalah perwakilan sekolah cabang olahraga.”
Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya akan lebih aman jika menghentikan pembicaraan mereka. Aku memandang Kris untuk meminta bantuannya, namun dia hanya menggerakkan bahunya, tidak peduli.
Sejak awal, Indira dan Daren Sam sekali tidak akur, ini bermula pada hari pertama dimana Indira tidak ingin keduanya duduk di depan, ini bukan tanpa alasan. Kris duduk tepat di depannya, dan tubuh Kris besar dan agak berisi.
Dan Daren walaupun duduk di depanku, dia sering bergerak kiri dan kanan lalu menoleh ke belakangku hanya untuk bertanya tentang mata pelajaran atau meminjam alat tulis ku.
“Jauhi dia dimasa depan,” aku mendengar Daren berkata demikian. Aku menatapnya dan mengernyit, “Ada apa?”
“Usiamu masih muda, jangan pacaran dulu.”
Aku diam, dan berpikir sebenar lalu melirik ke Indira dan Kris, apa maksudnya? Kita bahkan masih satu tahun kelahiran, aku bahkan tidak pernah berpikir untuk pacaran karena nenek dan kakek serta mama dan papa berkata bahwa tugas seorang anak sekolah adalah belajar.
Obrolan kamipun terhenti ketika guru memasuki ruang kelas, Kali ini adalah pelajaran Seni rupa, Guru yang mengajar adalah seorang pria berusia sekitar 40 tahunan. Materi pada semester kali ini adalah menggambar.
Guru menjelaskan pada kami tentang cara membedakan buku gambar biasa dengan buku gambar A3, setelah menjelaskan guru meminta kami untuk bebas berkarya, sementara dirinya duduk di kursi dan mengawasi kami.
Setelah beberapa menit, aku mendengar suara Daren, “Boleh aku pinjam rautan milikmu?”
Aku mengangguk tanpa menjawab karena aku sedang sibuk menggambar Tedong. Tedong adalah nama Kerbau dalam bahasa Toraja, dan merupakan hewan ternak terlaris di daerahku.
“Gambar mu bagus, Apa yang ingin kau ambil di masa depan?”
“Aku rasa, aku sudah pernah menjawabnya.”
“Ah, aku ingat sekarang. Kau sangat cocok masuk bidang arsitektur, lihat hasil gambar ku, aku bahkan tidak bisa membuatnya dengan benar.”
Aku tersenyum di balik bibirku, rasanya mood Daren sudah lebih baik sekarang, dia sudah mulai menganggu belajarku lagi. Aku melihat guru berdiri dan mulai berjalan ke arah kami. Ini membuat aku mengangguk-angguk, berniat memberi isyarat pada Daren agar segera menoleh kembali ke mejanya.
“Daren Alfonsus, apakah kau mendapat inspirasi di meja teman kelas mu?” Guru seni berdiri di depan mejanya, Daren langsung menoleh dan kembali mengerjakan tugas gambarnya.
Guru kemudian melihat aku lalu tersenyum, ini membuat aku merasa sedikit gemetar. Aku kan tidak salah apa-apa, Daren yang terus saja menoleh ke arahku.
“Aku mendengar bahwa Ibu Nia sudah menemukan dua kandidat baru lagi untuk menjadi peserta lomba lukis daerah.”
Aku berhenti bergerak, mataku dan Amber saling melirik, ‘Benarkah? Hei, ini bagus.’
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments