Tanpa sopan santun Utari masuk ke kediaman Ratih dan duduk di depan ayah Ratih yang sedang ngeteh ria di teras rumah Ratih yang ditata indah dan asri dengan berbagai macam bunga dan tumbuhan.
"Siapa kamu!" pertanyaan itu langsung keluar saat ayah Ratih memandang wajah Utari di depannya dengan pakaian yang cukup tak sopan bagi penglihatan ayah Ratih yang seorang tetua agama di daerah itu.
"Aku menunggu putrimu!" kata Utari, dia masih terus menatap ke arah mata ayah Ratih dan bola mata Utari membiru. Ayah Ratih merubah ekspresinya kembali seakan tak terjadi apa-apa.
Ratih yang baru sampai di depan rumahnya tampak terkejut dengan keberadaan Utari yang duduk santai bersama ayahnya di ruang depan, dengan baju yang amat terbuka itu bagaimana bisa Utari tak dapat ceramah gratis dari ayahnya.
Senyuman manis Utari memecahkan lamunan Ratih di depan pagar besi rumahnya. Dengan langkah perlahan Ratih masuk ke dalam dan menyapa ayahnya dan Utari dengan salam.
"Kenapa kau tak mendengarkan apa kata ayahmu?" tanya Utari, dia sudah di dalam kamar Ratih yang sangat rapi dengan nuansa pink yang cantik.
"Tentang apa!" Ratih baru saja masuk ke dalam kamar dengan beberapa cemilan dan air putih di atas nampan.
"Aska!" kata yang disebutkan Utari langsung mengema di renung hati Ratih.
"Kalian tak punya ikatan apa pun di masa lalu atau masa kini, kalian tak pernah ditakdirkan bersama!" lanjut Utari.
"Apa maksutmu?" Ratih masih bingung dengan perkataan wanita aneh di depannya.
"Intinya kau tak akan mendapatkan Aska jika kau tak merubah takdir!" kata Utari dengan wajah liciknya.
"Takdir itu hanya Allah yang menentukan! Siapa kamu berani...!"
"Hustttttttttt....jangan bicara agama padaku! Aku menghabiskan 900 tahun hidupku untuk mencari hal-hal semacam Tuhan, tapi hal itu tidak ada!
"Menurutmu berapa kali aku sujut di depan Ka'bah???
"Berapa kali aku mengikuti jemaat di Gereja?
"Atau berapa tahun aku berusaha menjadi Budha yang taat?
"Aku hanya meminta kematian pada mereka, tapi aku tak bisa mati sampai hari ini!" Utari mencoba menahan emosi yang sudah menguasainya.
Tujuannya ke sini adalah untuk membujuk Ratih agar mengikuti harapannya untuk membuat perjanjian gaib dengannya
"Jika kau punya harapan apa pun! Satu-satunya yang bisa kau percaya hanyalah aku!" kata Utari, membuat Ratih sedikit bengong karena mendengar ucapan '900 tahun' dari bibir wanita yang bahkan lebih muda darinya.
"Aku tak tau apa agamamu, tapi tak baik jika kau menghina agama saya!" kata Ratih yang masih tidak terpengaruh oleh rayuan Utari.
"Dengar baik-baik Ratih, apa kau bisa menahan keinginanmu untuk mendapatkan Aska?
"Kau hanya ditakdirkan lewat sebentar di kehidupan Aska, dan akan menjadi debu di ingatan Aska!
"Kau hanya wanita yang pernah mengisi renung hatinya sebentar, hanya sebatas itu!" perkataan Utari itu selalu terngiang-ngiang di fikiran Ratih.
Cintanya pada Aska bahkan melebihi cintanya pada keluarganya, entah berapa kali bapaknya mengomelinya masalah pacarannya dengan Aska yang menjadi bahan gunjingan orang sekampung. Tapi dia tetap tak berani bicara pada Aska secara tegas untuk menuntut pernikahan atau perpisahan. Ratih merasa berat untuk berpisah dari Aska meski dia harus mengorbankan kehormatannya sebagai seorang wanita Islam yang taat.
______---------_______-------_____------_______-------
Tak hanya kehormatan dirimu Ratih yang sangup kau korbankan untuk Aska, tapi rasa cintamu yang sangat besar itu sangup membuatmu mengorbankan jiwamu untuk lelaki itu....
Karena itu aku datang ke sini, meski aku engan melihat wajahmu yang menyedihkan itu....
UTARI
_______-------______------______--------_______------_______
.
.
.
.
Pandangan mata Varo berayun tak jelas menyusuri pemandangan di luar jendela dari dalam kelasnya. Kenapa tak jelas, karena di otaknya sedang menghayalkan Kencana Utari Dewi yang sudah membuatnya menggila. Terlihat sangat kentara dengan senyuman indah merekah di wajah manisnya, tak mungkin siswa SMA kelas tiga itu hanya mengagumi langit cerah pagi itu.
"Oyyyy udah sinting ni anak!" gumam Ravael, Ravael adalah teman sekelas dan juga teman sebadungan dengan Varo.
"Pasti karena cewek tempo hari!" sahut Milen, yang baru saja masuk ke dalam kelas setelah menemui guru dari kantor.
"Aissssssss.....bisa gila gue!" desah Varo kesal, dia mengacak-acak rambutnya yang sudah dia warnai hitam lagi.
"Datengin aja rumahnya, bego amat sih loe!" nasehat Milen.
"Nanti gue dibilang murahan!" ujar Varo dia seketika lunglai dan melempar kepalanya ke meja untuk bersandar.
"Ya elehhhh dari pada elo ngeluh sepanjang hari gini bikin gue pusing!" Milen duduk di depan Varo yang memang adalah mejanya.
"Cewek itu kayaknya lebih suka cowok yang nakal dan murahan!" kata Ravael yang duduk di mejanya yang sejajar dengan Varo.
"Dia suka cowok yang rapi dan juga wangi dan berambut hitam, dia juga berbicara soal ciuman saat itu maksutnya apa!" kata Varo.
Bruakkkkk
Semua orang di dalam kelas itu kaget dan mengerutu ke arah Ravael yang penandang aksi penggebrakan meja karena mendengar kata 'ciuman' dari mulut Varo.
"Tentu saja dia ingin kau menerkamnya lebih dulu!" kata Ravael yang membuat Milen dan Varo bengong di campur ekspresi bingung.
"Bego itu gratis tapi jangan diborong semua anjirrr! Gini yaaaa, saat cewek mengatakan sesuatu tentang kontak fisik, itu artinya dia ingin dikejar!" lanjut Ravael,
"Tapi Utari nggak sedang lari el!" sepertinya penjelasan Ravael sama sekali tak merasuk ke otak bodoh Varo.
"Dia sedang lari darimu bambang! Dia jauh-jauh datang ke sini untuk menemuimu dan setelah melihatmu, dia tak datang lagi, kan tolil!
"Atau jangan-jangan Utari itu tak suka padamu?" Ravael malah mengarang cerita cinta aneh di kepalanya.
"Lalu gimana kalau Utari tak suka sama gue, kalian harus bantu gue yaaaa!" mohon Varo pada kedua temannya yang sama bodohnya dengan dirinya.
"Cinta itu nggak bisa dipaksakan, apa lagi pada wanita secantik dan sekeren Utari itu!" gumam Milen yang memang ikut melihat Utari saat pertama kali Utari menemui Varo.
"Gue yakin dia suka kok sama loe! Kalau nggak suka, dia tak akan membahas kata ciuman sama elo!" kata Ravael, membuat Varo sedikit lega.
"Bener juga!" gumam Milen.
"Sekarang giliran elo yang bertindak! Dekati dia! Pepet terus sampe dia klepek-klepek sama elo!" nasehat Ravael akhirnya dimengerti oleh Varo dan Milen karena dua kepala beda isi itu menganguk-anguk.
"Masalahnya gue nggak tau rumahnya dan nggak punya no hpnya!" kata Varo dengan wajah menyedihkannya.
"Mati aja deh loe!" suruh Milen pada Varo karena begonya tidak dapat ditolong lagi.
"Kalian tega baget sih ama gue!" desah Varo yang semakin sedih melihat kedua temannya tak mengubrisnya lagi.
Varo tak bisa apa-apa lagi karena guru sudah memasuki ruangan kelasnya, jadi dia harus diam dan belajar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments