Pangeran Swapraja

Angin pelabuhan yang cukup kencang dinikmati Utari sembari melihat badan kapal yang sudah terlihat menuju arahnya, lambaian tangan cantiknya seakan menyerukan untuk mempercepat laju kapal besar itu untuk segera menjemputnya. Agar besok pagi Utari bisa sampai di pelabuhan seberang, dan setelah itu Utari akan melanjutkan perjalanan ke Wanara dengan kuda selama sehari semalam.

Di kapal Utari mendapat kamar dengan seorang pendekar lelaki yang ternyata dari Maladewa, musuh dari tanah kelahirannyanya. Hal itu diketahui Utari dari pakaian dan bahasa yang digunakan pria yang hanya beberapa tahun lebih tua darinya mungkin seumuran dengan Salendra. Tapi Utari sekarang bukan sedang menjadi Tuan Putri dari Wanara, mereka hanya sesama pendekar di sana.

Tak baik bagi Utari untuk bermusuhan dengan seorang pendekar, meskipun asal pendekar yang ia temui adalah negara musuh negaranya.

"Kudengar ada pemberontakan di Istana Putra Mahkota tahun lalu di Wanara!" kata lelaki bernama Praja itu.

"Bukankah kau dari Wanara?" tanya Praja lagi, lelaki itu cukup supel pada Utari yang jelas-jelas berasal dari kerajaan musuh.

"Yang musuhan itu kerajaan kita, kita di sini sama-sama pendekarkan? Jadi kita tak boleh mencampur adukkan masalah politik negara kita, dengan pertemanan!" kata Praja mencoba memecah suasana di kamar dek yang sempit itu.

"Sayangnya aku tak tertarik, dengan persahabatan antara musuh!" kata Utari, ternyata tindakan berusaha akrab pemuda itu pada Utari membuat gadis manis itu jengah.

Utari kembali mengendong buntelannya dan keluar dari kamar dek kapal itu untuk menghindari pria Maladewa itu.

"Apa kau tau kalau Wanara dan Denmak sekarang bersekutu?" tanya Praja, dan pertanyaan Praja membuat Utari menoleh ke arah Praja yang mengikutinya ke luar dari dek.

"Apa kau bilang?" tanya Utari dengan dahi berkerut bingung.

Wanara dan Denmak adalah dua kerajaan yang tak bisa akur, lalu kenapa Wanara mau bersekutu dengan kerajaan yang penuh tipu muslihat itu.

Praja berjalan bergegas mendahului Utari untuk pergi ke bagian luar dari kapal, memang kapal ini bukan kapal besi hanya kapal yang terbuat dari kayu. Tapi 900 tahun yang lalu kapal ini sudah termasuk kapal yang susah dibuat dan sangat berharga.

Utari semakin penasaran dan menarik lengan Praja ketika pria itu akan menaiki tangga menuju dek atas yang sudah di penuhi para penumpang lain.

"Apa sebenarnya maksutmu?" tanya Utari,

Senyuman kemenangan terlukis indah di wajah Praja karena berhasil menarik perhatian pendekar yang berhasil menguasai elemen es yaitu Utari. Tapi senyuman manis Praja segera hilang karena dia tak mau terlalu kentara karena harapannya telah terwujut.

"Saat ini Kaisar Wanara adalah Ndoro Ageng Wasesa Cokro!" kata Praja, dan di sambut dengan tatapan bengis Utari.

"Wasesa Cokro?"

"Dan Adipati Salendra Wirakrama yang menikahi Wasesa Anjani sudah diangkat menjadi Putra dan Putri Mahkota Wanara!"

Gengaman jemari Utari di lengan Praja melemah, gadis itu menunduk untuk menyembunyikan ekspresinya. Ribuan pertanyaan sedang berputar di otakknya, dia masih mencoba berfikir kalau Praja mengenali dia sebagai Putri Kencana Utari dan mencoba menghasutnya.

"Begitu ya!" Utari mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya.

"Ngomong-ngomong kau dari keluarga mana, bukankah sangat jarang ada Pendekar biasa yang dapat menguasai elemen Es?! Kau pasti dari keluarga berkuasa di Wanara?!" pertanyaan Praja kembali menguncang emosi Utari.

Pria ini tak mengenali dia sebagai Putri Kencana Utari.

"Bagaimana kau tau aku menguasai elemen Es?" tanya Utari. Alasan pria ini tentang bagaimana dia bisa tau tentang elemen Es Utari, tak seberapa dari pada rasa ingin tau Utari tentang keadaan tanah kelahirannya saat ini.

"Aku mengikutimu saat kau keluar dari gua Singo Puteh!" kata Praja jujur. Lelaki itu memang awalnya akan bertapa juga di sana.

Keraguan bahwa tak ada satu pun manusia yang bisa keluar hidup-hidup dari dalam gua itu membuat Praja menunggu selama satu minggu untuk memutuskan, padahal ia sudah sampai di gua keramat itu. Hingga Praja melihat Utari keluar dari dalam gua itu, dan karena penasaran Praja mengikuti Utari hingga di kapal ini.

"Kau mata-mata?" tanya Utari penuh curiga.

"Kenapa aku memata-matai pendekar sepertimu, asal kau tau aku ini Putra Kaisar Hashidadewa dari Maladewa!" Praja mulai sombong diucapannya.

"Siapa namamu!" tanya Utari setengah tak percaya dengan ucapan pria yang baru saja di temuinya itu.

"Pangeran Saprajadewa!" kata Praja, berbisik di telinga Utari.

Utari mundur beberapa langkah dan melihat penampilan Praja dari ujung kaki sampai ujung kepala secara berulang-ulang. Dan dengan rasa tak percaya Utari tersenyum ke arah Praja.

"Kalau pandai mengarang!" gumam Utari.

"Hoyyyyy! Aku ini benar-benar Pangeran tau!" karena merasa di rendahkan Praja akhirnya meninggikan suaranya, lalu menutup mulutnya karena baru sadar.

Jika ada yang tau dia Pangeran maka tamatlah riwayatnya, dia akan diculik dan penculik akan meminta tebusan pada ayah Kaisarnya. Tapi yang paling tak disukai Praja jika kejadian itu terjadi adalah ejekan dari kakaknya, olokan dari para petinggi dan Istrinya tak akan mengijinkan dia pergi jauh dari Istana.

"Tenang saja, wajahmu itu tak memadai untuk menjadi Pangeran! Meski kau muncul dengan Jubah kebesaran Pangeran Negaramu, orang lain pasti hanya akan menganggap kamu mencurinya!" kata Utari.

"Benarkah?! Ada untungnya aku lahir tak setampan kakakku!" kata Praja lega, padahal Utari sedang mengejeknya.

Bodoh...

Utari dan Praja menumpang kapal besar yang terbuat dari kayu itu sampai ke pelabuhan pulauTerbesar. Niat Praja untuk kembali ke gunung Lelembut juga sirna karena Praja takut untuk bertapa di gua Singo Puteh yang sangat dingin dan berbahaya menurut pengalaman Utari.

Perpisahan harus terjadi di setiap pertemuan, entah perpisahan untuk bertemu lagi atau perpisahan yang Abadi. Begitu pula pertemuan Utari dan Praja yang bukan pertemuan berencana, Utari dan Praja berpisah di persimpangan Kerajaan mereka.

"Aku tau kau orang mendiang Putra Mahkota Sri Kencana Kusuma!" kata Praja sebelum perpisahan dua orang yang kini telah melebel diri menjadi teman itu.

"Aku sarankan jangan sampai terlihat dan berhati-hatilah, semua orang di Wanara yang setia pada mendiang Putra Mahkota Sri Kencana Kusuma telah dibunuh!" perkataan Praja itu diiringi dengan lambaian jemari kasarnya yang mengapung di udara, Utari sempat tertegun akan pesan teman barunya itu.

Benarkah terjadi sesuatu yang buruk pada keluarganya di Wanara...

Sesuai rencana Utari sampai di Wanara masih pagi petang, gadis tanpa rasa lelah itu sedang mengendap-endap di depan bangunan Istana Margo Molyo. Istana khusus untuk tempat tinggal keluarga Putra Mahkota. Tak sulit bagi Utari yang sudah menguasai dua elemen dasar kanuragan dan juga satu elemen kombinasi yang sangat sulit untuk dikuasai para Pendekar ,untuk sekedar masuk ke dalam bangunan Istana yang megah dan luas itu.

Kamar Utama yang biasa dihuni oleh ayah dan ibunya menjadi tujuan utama Utari subuh itu, Utari si anak pembangkang ingin memberi kejutan untuk kedua orang tuanya yang masih pulas tertidur.

Suasana kamar masih sama seperti saat Utari tinggalkan. Pedang koleksi ayahnya yang masih tertata rapi di pojok ruangan dekat jendela yang baru saja Utari terobos. Buku-buku kuno yang tertata rapi di rak yang berada di ujung pandangan Utari.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!