20.04. Hari sudah gelap, jalanan di depan rumah kediaman keluarga Ferdiansyah itu tampak sepi dan mencekam, tetapi ini bukan kisah horor atau misteri yang mana memberikan kesan menegangkan di dalamnya, tidak.
Selain suasananya yang gelap, pepohonan rindang dan cahaya dari lampu taman yang redup memberikan kesan menyedihkan juga. Terdapat lampu di bahu jalanan, tetapi jarak antar lampu jalanan yang satu dengan lainnya cukup berjauhan. Pantas saja cahayanya redup. Manalagi suara hewan malam itu terdengar bak musik latar alami.
Sorot lampu kendaraan itu menyala dalam redupnya jalanan dan situasi sekitar perumahan yang dikelilingi pepohonan rindang. Sebuah taksi yang sudah dipesan sebelumnya itu terparkir di depan gerbang rumah Ferdiansyah. Klakson berbunyi, sehingga membuat tiga insan muda yang duduk di teras sambil berbincang dan bersitegang itu buru-buru bangkit.
“Neng, sampai ketemu Kamis depan, ya!” ucap Hanalya. “Eh, tapi jangan sedih, besok aku bakalan main lagi ke sini. Pokoknya harus mau dan nggak ada bantahan!” Seperti biasanya, memaksa dan bermulut besar.
“Jangan mau, Ay!”
“Ay-Ay, matamu! Nama dia Fanya, panggil dia Neng!” Hanalya menyahut dengan kesal.
“Serah gua! Dia temen gua dari SD. Iya, kan, Aya?”
Hanalya memasang wajah memohon sambil menggoyangkan lengan Fanya. “Jangan iyain, Neng,” pintanya, “tuman!”
“Itu taksi kalian udah nungguin loh!” peringat Fanya.
“Pokonya bakalan aku chat, deh. Kamu harus jawab, ya! Mentang-mentang jadi korban teror pesan spam, sampe ganti nomor segala!” cibir Hanalya di akhir kalimat.
Mikel dengan kesal menarik lengan gadis cerewet itu pergi dari hadapan Fanya. Seperti menyeret paksa, tetapi langkah kaki Hanalya juga mengikuti arah tarikan itu sehingga mereka benar-benar akan pergi meninggalkan kediaman rumah Ferdiansyah.
Fanya yang sudah tak nyaman itu bukannya masuk ke dalam rumah malah berjalan mengantarkan dua tamu istimewanya pada malam Senin ini. Ya, besok Senin. Namun, malam ini masih hari Minggu.
“Hati-hati di jalan, ya, Tom dan Jerry-nya sembilan C.” Terkekeh kala Hanalya melotot tajam kepadanya.
“Jangan lupa kabarin kalo udah sampai rumah masing-masing. Kel, hati-hati di jalan pulang ke rumah kamu, ya!” Melambaikan tangan kanannya ketika taksi itu mulai melaju ke arah selatan. Pasti sang sopir akan melewati gerbang belakang komplek.
Fanya lekas menutup gerbang rumahnya ketika taksi pesanan kedua temannya itu sudah siap mengantarkan mereka pulang. Namun, kedatangan seorang laki-laki dengan tas di punggungnya sambil memasang raut datar itu membuatnya urung. Membuka kembali gerbang yang nyaris dikuncinya.
“Habis dari mana?” tanya laki-laki ini.
“Loh, mobilnya mana?”
Dia berdecak kesal. “Kama tanya duluan, ya!”
Bibirnya mengerucut. “Habis anterin temen-temen yang bertamu, taksi yang barusan pergi itu lagi anterin mereka pulang.” Fanya mundur beberapa langkah, mempersilakan laki-laki itu masuk. “Tumben pulang malam. Bukannya pulang subuh, Kang?” Mulutnya membentuk garis keras sambil mendongak menatap ke arah mata laki-laki itu.
“Kenapa? Nggak suka?” Malah sewot.
“Ch! Bukannya nggak suka, Kakang …,” protes, “tadi sore bilangnya bakalan pulang subuh bahkan pagi.” Wajahnya berubah kesal. “Mobilnya kemana? Ditilang?”
“Bengkel! Papa salah ambil kunci mobil, kayaknya sengaja karena tau mobil dia perlu dimasukin ke klinik kesehatan kendaraan.”
Fanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengeluarkan suara kekehan lirih.
Kamaliel Ferdiansyah, sulung dari tiga bersaudara. Si sulung yang masih sibuk menyelesaikan studi pascasarjana. Perannya ialah laki-laki yang protektif kepada keluarga, menyebalkan adalah jalan ninja menuju perdamaian dengan saudaranya, bersekongkol dengan anak tetangga adalah strategi dalam membuat adik perempuannya ini kesal. Dan yang terakhir, menjadi ojek pribadi untuk gadis remajanya yang kaku ini.
“Udahlah nggak usah sok mau marah kayak Mama, aslinya senengkan kalo kakangnya pulang? Biar bisa pinjem henponnya. Lagian kenapa mesti tukeran nomor segala rupa?
“Kamu ini juara olim, tapi kenapa bodoh sekali urusan ada nomor yang is—iya-iya! Nggak lagi, kamu pinter banget ngalihin perhatian tukang isengnya.”
Ngeri juga ketika adik perempuan satu-satunya ini sudah berancang-ancang membawa pot bunga dari tanah liat. Ngeri juga kalau benar-benar mendarat di area tubuhnya, seperti kepala atau wajah, atau mungkin dada.
“Temen kamu yang bertamu itu siapa? Bukannya nggak punya temen, ya?”
“Nye-nye-nye.”
Meledek Kamaliel dengan segenap emosi yang tidak pernah mereda semenjak pertanyaan pertama barusan. Dia segera berjalan masuk ke dalam rumah. Meninggalkan kakaknya tertinggal di belakang.
Lagian, saudara macam apa yang tiap saat selalu meledek dan mengungkit kekurangan saudara lainnya?
“Ada yang chat, nomor belakangnya unik: nol satu empat tiga,” katanya, “satu empat tiga itu artinya i love you, Neng. Mana isi pesannya tuh kocak sekali, kali ini siapa lagi? Kamu udah tau siapa si iseng ke empat belas ini?”
Namun ternyata, tidak pernah tertinggal. Laki-laki yang lebih tua enam tahun dari Fanya ini ternyata mengikuti langkahnya. Bahkan mengikutinya naik tangga, ke lantai dua yang terdapat kamar tidur Fanya, sedangkan kamar kakaknya berada di lantai bawah.
Dengan nada kesal. “Anaknya tetangga!”
Wajahnya yang menjadi tanpa ekspresi. “Hah?” Seketika berseri-seri. “Yang bener?”
“Tanyain langsung ke anaknya. Oh, satu hal lagi,” katanya sebelum menutup pintu kamar. “Tolong jangan kasih nomor baru aku ke dia, Kang.” Dia menarik senyuman tipis, matanya berkaca-kaca.
Kamaliel terpaku. Apa-apaan nada bicara dan kalimat yang dilontarkan adiknya itu? “Harusnya kamu senang, Neng. Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Aku minta tolong, ya. Makasih Kakang yang gantengnya melebihi Jinyoung oppa.” Fanya pikir dengan menghidari pertanyaan dari laki-laki menyebalkan yang sialnya adalah kakaknya sendiri itu akan mengakhiri perasaan tegang dalam dirinya namun ternyata tidak.
Dia melotot tatkala adik perempuannya itu sudah pandai berbohong dan berusaha menghindar darinya. “Heh! Nggak usah menghindar.”
“Kenapa mesti menghindar sih? Siapa yang nangis-nangis cuman karena pengen tau kabar dia? Siapa yang maksa Kama buat jadi mentor dadakan untuk setiap tugas yang Aya nggak mengerti demi berada di tingkat saat ini, supaya bisa tau kabar dia?”
Pertanyaan yang sulit dimengerti ini terus Kamaliel lontarkan untuk adiknya yang sudah memaku diri pada ambang pintu kamar.
“Kamu bukan pecundang. Kalo dia kembali tuh, ya, dihadapi, jangan dihindari sama kayak Aya menghadapi soal-soal rumit waktu itu.”
Fanya berbalik dengan matanya yang mengkilap. “Pecundang, ya?”
Pecundang katanya, Kamaliel tahu apa sih?
Oh, jelas Kamaliel tahu segalanya. Tentang alasan gadis kaku itu bersikap berlebihan dan membuat rencana aneh demi mendapatkan kabar seseorang. Kemudian, setelah seseorang itu kembali dan baik-baik saja Fanya malah menghindar. Kamaliel nggak habis pikir sih.
“Kalian itu udah berteman sejak kecil, Aya. Bahkan udah kayak saudara gitu, masa sama saudara sendiri main hindar-menghindar?”
“Kakang nggak tau apa-apa, ya!”
“Tau!” jawabnya ngegas. “Kama tau, kamu kecewa sama anaknya tetangga itu. Kama tau kamu sedih dan nggak suka ditinggalin. Dan, setelah berhasil dengan bersikap kayak orang nggak tau sopan santun belakangan, kamu emang layak disebut sebagai pecundang.”
“Kamaliel!” Fanya berteriak nyalang.
“Heh, yang sopan kalo sama yang lebih tua, tuh!”
“Aya nggak—”
“Kamu itu manja, makanya ngerengek kayak anak kecil ketika adiknya Fasya pergi, sehingga bikin kamu berubah menjadi orang yang pecundang. Seorang pecundang itu, dia adalah orang yang meninggalkan kebaikan demi keburukan, yang menurut dia lebih mudah mengundang perhatian orang lain. Dan, itu yang kamu lakukan beberapa tahun terakhir.”
Fanya masuk ke dalam kamar, dan tak lupa menutup pintu kamarnya sampai bunyi gebrakkan barusan membuat Kamaliel terperanjat. “Aya nggak pecundang, ya!” tegasnya.
“Yah, beneran marah nih dia?” Laki-laki jangkung ini menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. “Masa iya itu nomor iseng pelakunya anak tetangga? Sejak kapan anak tetangga tau Aya punya henpon, ya? Mereka, kan, udah nggak deket lagi. Kasihan adiknya Kama.”
Kamaliel berbalik, berjalan menuruni tangga, dan masuk ke dalam kamarnya yang berada di sebelah tangga. Wajahnya datar dengan kerutan tipis di antara kedua alisnya. Begitu masuk, ia langsung merekahkan senyuman lebar. “Berhasil! Berhasil bikin dia kesel hari ini, ha-ha-ha-ha.”
“Parah banget, Kang,” sahut seseorang. Ternyata suara ini berasal dari ponsel Kamaliel. “Eh, tapi … maksud lu apaan barusan? Aya berubah?” lanjutnya.
“Bukan apa-apa, Bro. Eh, aing tutup dulu, ya.”
Kamaliel segera menutup panggilan yang sudah tersambung sejak lama, bahkan jauh sebelum Kamaliel berhadapan dengan Fanya di depan rumah mereka. Laki-laki jangkung ini segera mendudukkan dirinya di kursi yang berpasangan dengan meja belajar. Dia segera membuka akses ponselnya sambil tersenyum penuh. Matanya fokus ke layar benda pipih itu dan menekan-nekan layarnya pertanda dia tengah mengetikkan sesuatu di sana.
Adiknya Fasya : Makasih udah dikasih izin untuk dengerin suara Aya
Kamaliel : Ah elah, kayak sama siapa aja
Kamaliel : Chill, Bro
Kamaliel : Mau dengerin suara keselnya kek, suara nangisnya kek
Kamaliel : Dengan senang hati bakalan dikasih
Adiknya Fasya : Dia beneran kesel tadi?
Adiknya Fasya : Tapi apa maksud ucapan kalian tadi?
Adiknya Fasya : Ada sesuatu yang gua nggak tau selama nggak tinggal di rumah Bunda?
Kamaliel : Ah, itu ya
Kamaliel : Bukan apa-apa
Kamaliel : Cuman itu cara supaya dia kesel
Kamaliel : Katanya lu mau pulang? Kok nggak keliatan
Kamaliel : Fasya kapan balik dari Jakarta, btw?
Kamaliel memasang raut datar, bibirnya tertutup rapat tanpa senyuman yang dia tampakkan sebelumnya. Matanya berpaling dari layar benda pipih canggih itu ke arah tembok yang banyak tertata kertas foto. Matanya menangkap keberadaan kertas foto yang menggantung di antara tali menjuntai. Matanya menangkap potret dua orang anak kecil yang tertangkap kamera analog tengah berpelukan. Dua anak kecil itu. Kamaliel tersenyum kecut.
Mengingat kenangan di balik terciptanya potret kedekatan itu membuatnya tersenyum miris. “Seandainya mereka deket lagi, apa yang bakalan berubah? Mereka yang berjauhan sebatas kecamatan aja udah bikin perubahan yang drastis buat Aya, cuman karena pindah doang … cuman karena pindah,” ucapnya.
A/n:
Wah, sebenarnya ada apa sih?
Bagaimana alur sejauh ini?
Mohon dukungannya, ya, terima kasih, Yeorobun!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Dai Dai
aku mampir...
2023-03-01
1