Sebuah kebohongan kalau tidak ada lagi gosip tentang Ratu Paralel II mereka yang belakangan dikabarkan sudah adem ayem. Meskipun ratu mereka itu diam dan tidak melakukan hal apa pun sekalipun, tetap saja kabar apa pun tentangnya pasti akan selalu eksis di setiap waktu istirahat di Margayu.
“Zi, kamu udah denger belom?” tanyanya. “Aku bukannya lagi usaha untuk bikin kamu jadian sama aku, ya, Zi. Kamu udah tau tipe cowok ideal aku itu Asa Butterfield, kan? Jadi, nggak mungkin kalo tiba-tiba tipeku turun ke kamu.
“Gini, Zi … aku udah dapet kabar kalau rekan olim kamu itu jalan sama cowok lain. Aku tau kamu ngebet banget sama rekan olim kamu itu, tapi menurut aku, kamu mending mundur aja, Zi.”
Zico I. Mahardika; tulisan yang tertera pada tanda nama pengenal di dada kirinya. Hangat disapa Zico atau Zizi, sang Raja Paralel Margayu. Dirumorkan ngebet kepada ratunya, apakah itu sebuah kesalahan?
“Masya, gua udah bilang untuk nggak pakai kata ‘ngebet’ untuk bahas tentang Fanya kepada gua dan temen-temen yang lain. Gua nggak suka, Fanya juga nggak bakalan suka dengernya. Gua sama dia cuma—”
Perempuan yang duduk di hadapannya itu merotasikan bola matanya dan mendengus jengah. “Marsya, nama aku Marsya Hasibuan, Zi. Bukan Masya … tapi kalo MasyaAllah buat kecantikan dan kebaikan aku bolehlah, Zi.”
Laki-laki yang memiliki mata sipit khas orang-orang dari Negeri matahari terbit itu menatap datar ke arah gadis bernama Marsya. “Nyesel gua respon orang-orang yang datang buat kasih tau gosip tentang ratu gua.”
Seperti yang dilakukan sang Ratu Paralel, Zico juga ketika berhadapan dengan sesuatu yang tidak dia sukai atau hal yang membuatnya kesal, dia akan mengeluarkan suara yang tertahan di mulutnya.
Melihat Zico yang bangkit dari kursi kantin membuat Marsya juga ikutan bangkit dan segera mengejar laki-laki jangkung itu. Sudah jangkung, putih, berotak encer, anggota basket, sudah pastinya jika Zico itu ganteng. Marsya yang memiliki standar laki-laki ideal bintang Hollywood saja terpincut juga oleh pesona cowok Asia.
Marsya berlarian kecil dan berteriak. “Zizi tungguin!”
Dia berjalan tergesa supaya bisa menghindar dari perempuan cerewet itu, dia melangkahkan kakinya ke mana saja asalkan bukan kelasnya atau ruang klub pada waktu istirahat begini. Kenapa tidak ke kelas atau klub setelah dari kantin?
“Bisa nggak sih dia kalem aja? Bisa nggak sih dia lakuin hal-hal yang kayak biasanya aja, dan nggak usah mancing gosip?” kesalnya.
Alasannya adalah untuk menghindari pertanyaan seperti yang Marsya lontarkan beberapa waktu lalu. Selain itu, Zico juga berusaha menghindar dari godaan para shipper. Begini, loh; mereka masih anak esempe, manalagi sekarang sudah kelas sembilan yang mana kesibukan dan lomba tertentu akan segera terbuka lebar.
Bukannya sok ngambis, tetapi yang dapat dilakukkan anak esempe untuk bisa masuk ke jenjang sekolah atas adalah rajin ke sekolah, les tambahan, dan mengakurasikan nilai supaya bisa diterima di sekolah impian.
Zico berbelok dari lorong yang sebelumnya dia gunakan untuk menghindari Marsya, kemudian dia berbelok ke kanan agar arah tujuannya tidak asal, sehingga masih tetap bermanfaat lebih. Zico berbelok ke kanan dengan tujuan perpustakaan. Di tempat yang penuh dengan rak buku itulah pelariannya dari beberapa permasalahan.
Sebagai harapan keluarga, Zico hanya dapat mengabdikan diri sebagai siswa berprestasi agar membuat kedua orang tuanya tidak merasa dipermalukan sekali oleh dirinya sebab kedapatan bergabung dengan klub tidak berguna, seperti basket yang menjadi sarang anak-anak non-disipliner, dikenal sebagai Medali.
Laki-laki jangkung itu berhenti di depan meja penjaga perpustakaan, matanya berkeliling ketika di dalam ruangan yang penuh dengan rak buku ini diisi beberapa siswi yang tidak asing dalam ingatannya. Lantas, Zico menoleh ke arah penjaga perpustakaan. “Bu, sembilan C kok pada ada di sini? Mana yang ada di sini anak-anak kurang rajin baca, tumbenan aja gitu, Bu.”
Penjaga perpustakaan itu terkekeh dengan ucapan penuh keheranan dari siswa teladan PGRI Margayu ini. “Ya, nggak heran, sih. Ibu juga sama terherannya dengan kamu, Zi,” balasnya, “mereka lagi dihukum karena sama-sama bawa henpon ke sekolah untuk berbuat curang di mata pelajarannya Bu Ida.”
Sudut bibir Zico terangkat naik. “Berbuat curang? Pasti berusaha nyontek ke Brainly.”
“Kayaknya sih gitu, Zi.”
Zico kembali menoleh, matanya berkeliling mencari keberadaan seseorang yang di sangka pasti termasuk ke dalam jajaran siswi yang sedang dihukum itu. Namun, tidak dapat menemukan keberadaannya. “Mereka dihukum untuk ngapain, Bu?” tanyanya sekali lagi.
“Disuruh rangkum materi sejarah, tapi nggak tau sejarah apaan soalnya tiap anak beda-beda buku tuh. Katanya Bu Ida, hukuman ini bekerja sama dengan Pak Hendra. Pak Hendra ngajar IPS di sembilan C, kan?”
Seketika, Zico tersenyum penuh. “Ibu Zayidah nggak istirahat aja, Bu? Biar saya aja yang jagain perpustakaan dan mereka juga.”
“Eh, kamu mah tau pisan kalo Ibu teh lagi butuh dibantuin. Menu di kantor guru hari ini tuh kesukaan Ibu tau! Nggak mau ketinggalan,” seru Ibu Zayidah, “nitip area tempur Ibu dulu, ya, Zi.”
“Huum, Bu, sok lajengkeun aja.”
Langkahnya begitu pelan dan tidak mencurigakan. Di dalam ruangan yang luasnya setara dengan dua ruang kelas siswa ini terasa seperti di ruang publik, sebab para gadis yang terdiri dari lima orang itu mengoceh dan mengeluh begitu lantang sampai membuat telinga Zico pengang dibuatnya, tetapi Zico berusaha untuk menahannya. Mereka tidak mengindahkan peraturan di perpustakaan rupanya.
Dia pura-pura berhenti pada jajaran rak buku pelajaran kelas delapan untuk memastikan sesuatu.
“Ketemu!” Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman lebar yang menampakkan deretan gigi rapinya.
Dengan langkah yang dia jaga ritmenya secara sengaja, Zico juga pura-pura menatap deretan buku-buku pelajaran yang sempat menjadi beban dalam tas hitamnya setahun kemarin.
Sedangkan itu, ada Fanya yang sibuk sekali bermain dengan ponselnya yang dia simpan di balik buku yang terbuka pada halaman tengahnya. Ponselnya dia sembunyikan di balik buku itu dengan dalih sedang membaca buku jika teman-temannya itu bertanya. Fanya asyik dengan dentuman musik yang menggema di telinganya. Fanya juga mengenakan earphone bluetooth agar tidak memancing keributan jika dia sedang menyetel sebuah musik.
Fanya ditugaskan oleh Bu Ida untuk mengawasi sekaligus bersekutu dengan teman-temannya, ralat; bersekutu hanya dengan Hanalya seorang sebab gadis naif itu sendiri yang memohon kepadanya dengan sebuah kesepakatan yang pastinya sangat menguntungkan Fanya.
Seseorang berdeham, Fanya tersentak dan segera menutup ponselnya sekaligus dengan bukunya. “Aa–Anu, Bu,” katanya gugup, “saya nggak—” Fanya berbalik dengan wajah tegangnya yang tiba-tiba memelas.
Fanya memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya kembali yang mana seketika dia berwajah datar kala ketegangannya itu sia-sia. “Lo?” Sambil menunjuk penuh perhitungan kepada orang yang dia sangka sebagai Bu Ida atau Bu Zayidah.
Orang itu, Zico, menunjuk dirinya sendiri. “Kenapa sama gua?”
“Ngagetin tau nggak!” desis Fanya, berusaha untuk meredam kekesalannya agar tidak membuat teman-temannya curiga.
Lagian tidak ada yang harus mereka curigakan juga sih. Baiklah, hal ini disebabkan Fanya yang terlalu takut ketahuan lagi membawa ponsel ke sekolah. Walaupun sudah menjadi hal yang dimaklumi lagi oleh perangkat sekolah, termasuk penjaga perpustakaan.
Zico terkekeh, tetapi dia tidak kelihatan lucu sama sekali, dia kelihatan berwibawa sekaligus membuatnya seperti seorang pangeran yang ada di manga. Zico yang biasanya berwajah datar, garang, dan mengintimidasi itu seketika seperti orang yang berbeda kala dia tersenyum hangat, terkekeh atau menunjukkan wajah cerianya. Namun sayang, Zico tidak akan menunjukkan wajah cerianya kepada sembarangan orang.
“Ya, lu bisa nggak sih nggak bikin ulah? Kena gosip lagi tuh.”
Fanya mengerjap. “Gosip apaan lagi emangnya?”
Zico menipiskan bibirnya, senyum di wajahnya hilang. “Dianter cowok ke sekolah.”
“Tiap berangkat sama pulang sekolah juga dianter sama cowok gua, dia cowok ngeselin, sialnya dia kakak gua, Zi,” ungkap Fanya.
“Bukan abang lu. Kata anak-anak cowoknya beda lagi, katanya itu cowok lu. Cowoknya Fanya itu artinya pacarnya Fanya kata anak-anak.”
Fanya sangat tersinggung dan dibuat kesal jika ada yang menyinggung lagi perihal kejadian pagi tadi saat dia sampai di sekolah. Fanya sudah berusaha melupakan kejadian pagi tadi sebagai mimpi buruk dan menganggap kalau dirinya berangkat menggunakan mantra berpindah tempat.
“Zi, sejak kapan lo punya anak-anak?”
Zico menghela napas. Dia harus ekstra sabar kalau menginginkan jawaban yang dia ingin dengarkan langsung dari bintang gosip yang tengah beredar. “Temen-temen maksud gua, Ya.”
“Oh,” balas Fanya. Kembali membuka buku dan fokusnya juga tertuju ke layar ponselnya. Terdiam cukup lama.
Zico sudah bersabar menunggu jawaban selanjutnya, sebab dia sudah tahu tabiat seorang Fanya Fransiska. Namun, setelah dua sampai tiga menit berlalu sampai rasanya dia juga terhanyut dalam permainan yang tengah gadis itu lagakan, Zico mulai kesal.
“Oh, doang nih, Ya?”
Dia menoleh dan sedikit mendongak. “Oh apaan?”
Astaga! Bisa tidak sih Fanya tidak membuatnya tambah kesal. “Udahlah. Kayaknya lu lagi kesel dan kayaknya gosipnya nggak bener.”
“Emang nggak bener. Sejak kapan gosip itu beneran?” Fanya bangkit dari duduknya. Dia hendak menghampiri Hanalya, tetapi dia urungkan untuk beberapa saat.
“Lo samperin gue ke sini cuman buat tanyain kebenaran gosip? Haha, lo lugu banget, sih. Masa iya raja paralel kita yang udah menangin berbagai pertarungan lomba dan olimpiade MIPA tingkat SMP bisa sebodoh itu untuk percaya pada gosip?”
Zico mengawang. Dia mulai tersadar, ternyata dia sudah termakan gosip hanya karena orang itu adalah ratunya. Ratunya yang selalu bersanding dengannya untuk beberapa perlombaan akademik dan olimpiade besar-besaran. Partner in bertempurnya di perlombaan.
Fanya menatap penuh dengan kepuasan. “Udah, ya. Jangan kemakan lagi sama gosip. Kali ini gue nggak akan berulah dan kalau pun tetep berulah, gue janji bakalan lebih berhati-hati.” Kemudian, segera melenggang pergi dan benar-benar akan menghampiri Hanalya.
Namun, pergerakan Zico lebih gesit dari yang Fanya duga. Mencekal lengan gadis yang menggerai rambut hitam kecokelatannya. “Janji?”
Saking terkejutnya, Fanya reflek menghempaskan cekalan itu. “Ii–Iya! Jangan lagi, Zi, please,” katanya gugup.
Zico tidak bisa untuk tidak tersenyum. “Lu tau gua orangnya kayak gimana, Ya. Gosip tentang gua ngebet elu aja malah dijadiin prasangka nggak berdasar. Padahal gua nggak pernah lakuin itu.”
Fanya mendelik. “Ya, udahlah. Gosip itukan emang nggak bener, fitnah, dan sesat!” Setelah itu, dia benar-benar meninggalkan Zico yang masih tersenyum dengan puas.
Nanas : Mencurigakan!
Fanya : Jangan percaya dengan gosip!
Zizi : Perlu diusut sampai ke akarnya!
Ibu Zayidah : Anak zaman sekarang tuh, ya! Jangan lupa berikan dukungan, like, dan hadiahnya! Memberikan review juga sebuah dukungan!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments