“Lo bilang nggak mau nyusulin gua, katanya via chat aja karena lo sebel lihat muka jelek gua,” cibirnya, kemudian terkekeh. “Bercanda, Han. Oke, ada apa cantik? Ada yang bisa kakanda bantu?”
Dia berdecak kesal lalu memalingkan wajahnya ke arah lain agar tidak melihat sosok yang dia tak suka itu. “Iya gue sebel lihat muka jelek lo, tapi ini genting banget.”
Menengahi keributan dua manusia yang peranannya bagaikan Tom dan Jerry adalah aksi yang baik demi kedamaian kafe. “Duduk dulu, Han.”
Dia, Mikel, mengangguk. “Ada apa?”
Mikel Kurniawan Rahadi nama lengkapnya. Laki-laki yang punya riwayat keturunan Meksiko ini lahir dan tumbuh besar di negara berbunga, negara persinggahan keluarganya dari konflik yang terjadi entah karena apa, Mikel sendiri tak menahu. Ya, laki-laki satu ini memiliki wajah rupawan yang diturunkan kedua orang tuanya. Katanya sih visualnya ini akan menjadi aset paling berharga bagi laki-laki yang erap disapa Bule.
Dia menarik napas panjang. “Cowok berlagu itu … si iseng yang ke empat belas,” katanya, “gue ketemu temen lama yang satu sekolah sama si cowok berlagu itu, berkat SG yang gue posting semalam. Ih, kesel banget! Temen gue itu ….”
Oleh karena itu, ketika seorang gadis yang diketahui memang dikenal berani dan tak kenal takut ini menyumpahi dirinya, seakan mengutuknya, dan berencana untuk merusak aset berharganya, Mikel tak tinggal diam. Satu-satunya cara agar membuat gadis ini tak melancarkan aksi kejinya adalah dengan bersikap baik dan memenuhi keinginan gadis ini.
Mikel tersenyum dengan bibir tertutup rapat, dia berusaha menahan sesuatu yang membuatnya lucu. Lucunya itu ada pada Hanalya, sih. “Lo punya temen juga ternyata, Han,” cibirnya sambil terkekeh dengan senyuman lebar.
Sambil menyomot kentang goreng yang ada di piring milik Mikel, gadis ini nyengir ke arah Mikel yang sudah memasang raut datar tanpa mengatakan apa-apa. “Ya, punyalah! Tau nggak sih, dia marahin gue, temen gue marah gegara gue posting foto cowok berlagu itu di SG semalam.”
Di sinilah mereka berada, di sebuah kafe yang berada di area Ciwalk. Tempat nongkrong kawula muda hingga pekerja kantoran yang miliki janji temu di tempat beken dan menjadi salah satu tempat yang paling ikonik di Bandung. Ada laki-laki bule itu yang mana tentu saja Mikel, kemudian Hanalya, dan ada Wisnu juga di sini.
Wisnu menyulutkan api kepada Hanalya yang mulai cemberut tanda merasa bersalah. “Tau lo, Han. Harusnya lo nggak perlu pasang di SG juga kali. Ada yang marah-marah, kan.”
“Ih, jangan komporin, dong!” kesal. Dia menarik napas panjang. “Gue mau tanya, deh. Kalian, kan, ngakunya satu sekolah sama Fanya dan cowok berlagu itu juga. Nah, kira-kira hubungan mereka dulu itu kayak gimana, sih? Kenapa cowok berlagu itu kayak menegaskan sesuatu yang nggak mungkin eksis di usia kita yang masih muda ini?”
Tanpa pikir panjang, Mikel langsung menyahut ucapan panjang lebar yang mana tidak memiliki suatu kejelasan di dalamnya. Berbelit-belit. “Ngomong apa sih lo, Han?”
Hanalya mengulang kalimat yang dilontarkan si cowok berlagu itu. “Cowok berlagu itu bilang ke gue kalo dia ….” Maksud Hanalya adalah laki-laki yang beberapa saat lalu ia temui di kafe tempat bersuanya dengan Kyla. “Maksudnya, Fanya bakalan jadi milik dia secepatnya. Dikira si Neng tuh barang apa?”
Mikel dan Wisnu termenung dengan pikiran masing-masing. Masih mencerna apa yang telah disampaikan teman perempuan mereka, Hanalya. Meski terhanyut dalam pikiran masing-masing, kedua laki-laki ini sama-sama memikirkan orang yang sama, mereka menyimpulkan sesuatu yang bisa jadi dipikirkan juga oleh Hanalya.
“Gue ngerasa itu cowok udah terkontaminasi pergaulan bebas anak SMA itu, yang satu band sama dia. Secara mereka itu dikenal anak nggak baik dan sering bikin onar!” komentar Hanalya.
“Mana mungkinlah, Han. Kita sama dia masih anak esempe dan we are just have fun untuk apa-apa aja yang terjadi. Maksud ucapan Revano mungkin bukan kayak yang lo pikirin.”
Mikel menceritakan sedikitnya hal yang dia ketahui tentang dua orang yang menjadi tujuan Hanalya menghampirinya kemari, kurang lebih seperti ini: Revano itu bisa dibilang dekat sekali dengan Fanya, mereka bahkan sering duduk dan makan bareng waktu di kantin SD. Jajan bareng ke kantin, sampai pernah pulang satu mobil juga.
“Gue nggak mau bikin Fanya yang sering murung itu tambah murung gegara diteror terus sama cowok berlagu itu, Nu, Le.” Menarik napas panjang. “Gue nggak mau Fanya ada di posisi berbahaya cuman karena harus berhubungan sama cowok badung itu. Gue berniat laporin tindakan teror yang dialami Fanya. Kalian tau, kan? Fanya udah sering dapetin pesan teror itu dari pertama kali dia punya henpon.”
Mikel berbicara dengan penuh peringatan kepada Hanalya si tukang ngadu. “Iya, gua tau niat lo baik, tapi lo merasa nggak sih? Kalo lo sendiri nggak bisa apa-apa, lo tersesat. Jadi, mendingan lo nggak usah ikut campur urusan Fanya. Cukup sampai di situ aja perjuangan lo dalam ngurusin hal yang sebenernya bukan menjadi urusan lo, Han.”
“Kita masih esempe. Semua hal yang kita lakukan di usia esempe ini cuman for fun dan selama nggak bahayakan nyawa orang lain, it’s just for fun, Baby,” tambahnya.
“Kekel bener, kita masih esempe. Jangan ambil serius semua hal yang menurut lo risi. Kita tau itu bikin nggak nyaman, tapi kita nggak harus bawa serius juga. Apalagi bawa-bawa hukum segala. Kalo hal sepele semacam mau PDKT doang digede-gedein, camkan, ya, lo pasti masih hidup di zaman baheula. Nikmati aja, kita ini masih muda, Han. Kita generasi modern.”
Hanalya frustrasi. “Gue rela datang ke sini bukan mau diceramahin, ya, Mamang!” Walaupun sebenarnya dia sering mengejek dan marah-marah kepada Mikel, gadis ini tidak pernah melewatkan ajakan Mikel untuk hangout bareng atau sekedar pergi bersama ke kafe dan duduk di kursi berbeda. Seperti saat ini. Mereka terlihat akur dan tidak seperti sebelumnya yang saling menjauh untuk tidak memperparah pertengkaran yang terjadi.
“Gini, deh,” kata Wisnu, “lo mau bantuin Fanya, kan? Lo bilang Revano bakalan jadiin Fanya milik dia?”
“Iya,” balas Hanalya.
“Fix, itu. Revano lagi usaha PDKT ke Fanya!” ucap Wisnu.
“Si berlagu itu udah ada pacar, Nu. Temen gue namanya Kyla, dia pacaran sama si berlagu, Nu, Le!”
Mikel mengacak rambutnya sendiri. “Nu, ini nggak kayak biasanya. Vano nggak mungkin sampai PDKT sama Aya!”
Hanalya dan Wisnu bersitatap, tetapi Wisnu segera memutuskannya. “Kel, ini tuh nggak kayak yang lo pikirkan. Vano pasti udah suka sama Fanya sejak lama.”
“Dia …,” kata Mikel meragu. Apa Nunu lupa, ya? Revano tau sejak lama kalo Tara suka sama Aya, sedangkan Aya sukanya sama dia. Apa Wisnu nggak sadar? Gua takut kalo Aya diganggu lagi kayak waktu itu sampe nggak mau masuk sekolah gegara dipermalukan Vano. “Dia tuh iseng, Nu. Lo lupa, ya?”
Hanalya yang biasanya tukang meminta penjelasan itu terdiam setelah menyimak percakapan antara dua laki-laki yang memiliki paras oriental di hadapannya. Tidak seperti biasanya, gadis dengan sorot mata tajamnya ini perlahan menunduk lesu. “Kita masih esempe, ya?” katanya dengan sorot mata sendu.
Mikel yang tahu adab perempuan cerewet satu itu seketika terheran. “Tumbenan nih cewek satu nggak agresif dan gede ambek kayak sebelumnya? Biasanya kalo diceramahin dikit ngambek dan ngancam pake bapaknya. Meresahkan emang,” batinnya tak henti dan tak urung dari perubahan mendadak dari si partner in ributnya.
“Terus gimana caranya gue bantuin Fanya?”
Wisnu terdiam sesaat, memikirkan bermacam saran, tetapi pada akhirnya dia menyerah. “Ya … gua nggak tau. Udah biarin ajalah, gua yakin si Revano niatnya baik kok.”
“Hana, jalan kuy! Malmingan gitu ceritanya, gua bosen malmingan sama si maruk negara satu itu.” Melirik ke arah Wisnu yang anteng dengan makanan pesanannya.
“Moh!” Hanalya menjawabnya dengan cepat. Gadis ini segera memasang raut galaknya dan kemudian bangkit dari kursi. “Bye, Hanalya yang cantik ini mau pulang sebelum Kanjeng Ayah tiba di rumah,” lanjutnya.
Dengan susah payah Wisnu menahan tawa, mulai dari menutup bibirnya rapat-rapat, sampai menutupnya dengan tangan yang mengepal. Wisnu tak kuasa menahannya juga dan akhirnya tertawa lepas. Sontak aksinya ini membuat Mikel dan Hanalya menatap ke arahnya dengan sorot tajam, setajam silet.
Mikel hampir meninju wajah Wisnu yang mulai menyebalkan itu jika bukan karena suara Hanalya. “Diem lo, semprul!”
Gadis ini sudah berjalan beberapa langkah sih, tetapi ia berbalik untuk mengatakan hal ini. “Nu, Le, gue harap kalian bisa bantuin Fanya supaya dia nggak diusik lagi sama cowok berlagu itu. Gue nggak mau lihat Fanya tambah murung gegara diganggu sama cowok itu.
“Gue lebih suka Fanya yang banyak tersenyum dan nggak bersikap dingin ke siapa aja yang ada di sekolah,” ujarnya. “Kalian tau sendiri perbedaan seorang Fanya kalo di luar sekolah.” Setelah mengatakan ini, Hanalya pergi begitu saja dari meja tempat mereka bersama beberapa menit lalu itu.
Matanya melirik ke arah Mikel yang tengah memaku diri sambil memandangi kepergian gadis cerewet itu. “Kel, Vano iseng, ya?” ungkit Wisnu.
“Kita paling tau kenapa dia tiba-tiba mau ngusik Fanya lagi. Vano pasti udah tau tentang hal yang Tara sembunyikan dari dia, hal yang Tara pernah ceritain ke kita berdua, Kel.”
“Menurut lo?”
Wisnu terkekeh miris. “Ayolah, Kel. Ini bukan kali pertama.”
“Terus lo mau apa?”
“Kamu nanya?”
Mikel melirik Wisnu dengan tatapan tajam. “Jangan deh, berat di gua entar kalo gua tanya lo maunya apa,” ujarnya.
“Nu, tentang ucapan Hanalya tadi … yang dia kata Vano itu mau jadiin Fanya anuannya.” Dia menjadi ragu dengan arah tujuan dari ucapannya, tetapi Mikel tetaplah Mikel. “Gua ngerasa ada yang nggak beres. Nggak mungkin Vano tiba-tiba cinlok sama Fanya yang notabene rival abadinya dia?”
“Bisa aja, Kel,” balas Wisnu dengan santai.
“Lo bilang Vano lagi usaha PDKT?” Terkekeh. “Ngawadul sia mah!” lanjutnya.
Wisnu menghela napas panjang. “Bisa aja, Mikel Kurniawan putra bapak Rahadi.”
“Nggak, Nu!” sanggah Mikel. “Gua ngerasa kalo Vano … dia,” ucapnya meragu.
Mikel ingin ungkapkan pendapat dan firasatnya mengenai hal ini. Akan tetapi, melihat bagaimana Wisnu menanggapi hal ini sebegitu santainya malah membuat laki-laki ini ingin mengurungkan pendapatnya.
Kapan hari Tara bilang sesuatu tentang rencana gila anak TXT, dan Wisnu nggak dikasih tau sih kayaknya. Tara … si bolotot itu bilang kalo dia merasa—ah, si bolotot Tara ngapa, sih?
“Kel, Kamis lalu lo sama Tara ngobrol tentang apaan, sih?”
“Hah?” Kok ni anak satu mencurigakan, ya? Apa dia bisa baca pikiran gua? “Apaan?”
“Ituloh, pas gua datang dia langsung bilang, “Gua nyesel, Kel, tapi nggak bisa hentiin kegilaan itu.” Maksudnya apa?”
Gua juga nggak tau, Nu. “O–Oh, itu … dia cerita tentang abangnya yang ngajak dia full up. Tara nggak mau ikut, tapi dia juga nggak bisa hentiin rencana gila abangnya buat nentang larangan orang tua mereka. Dia nyesel karena nggak bisa cegah abangnya yang berakhir full up dan kena tampar bapak mereka.
“Itukan dia udah cerita, ya, kapan harinya lagi. Dia mah suka gitu … ungkit-ungkit yang udah berlalu dan suka bilang nyesel atau apalah,” lanjutnya.
“Kel, kayaknya ucapan Hanalya ada benernya juga. Vano iseng, ya, Kel?”
“Ngapa lagi sih?” geram.
“Ng–Nggak ada sih,” kekehnya. “Hanalya bener. Nggak ada salahnya juga mencegah kemungkinan buruk yang bakalan terjadi. Fanya itu udah pasti trauma sama kejadian itu, makanya dia di sekolah kek kulkas tujuh pintu ditambah mulutnya yang kayak bon cabe level lima puluh. Kasian juga anak orang.”
“Ini jujur aja, ya, Nu …,” kata Mikel, “gua ngerasa ada yang Vano sembunyiin dari kita. Sejak dulu dia selalu usilin Fanya, selalu jahatin Fanya, sekarang kok malah usaha mau PDKT? Curiga gua. Eh, kasian mah si Tara atuh.”
“Kel, Vano iseng, ya?”
“Sekali lagi lo ngomong gitu, gua nggak bakalan bantuin lo lagi, Nu,” geram.
Wisnu terkekeh puas setelah berulang kali mengungkit ucapan Mikel tentang teman mereka berdua, Revano. “Kel, lo suka sama Hanalya?”
“Sukalah.” Mikel menjawab dengan tangkas. “Suka banget ngajak dia ribut, apalagi kalo sampe dihukum berdua. Suka banget ribut sama Hana dan bikin Fanya tersenyum cuman karena kekonyolan gua sama dia.”
“Maksud gua, lo suka Hanalya sebagai cewek nggak, Kel?”
Mikel terdiam. Menatap kursi yang sebelumnya diduduki gadis cerewet itu beberapa saat lalu. “Nggak. Gua suka dia karena kayak berhadapan sama saudara sendiri, lo tau sendiri gua anak tunggal, Nu. Ribut sama dia bikin gua ngerasa kayak punya saudara, tapi gua harap saudara gua nggak ngeselin kayak dia, sih.”
“Awalnya gua pikir itu demi Fanya, tapi makin ke sini gua ngerasa klop sama dia. Gua pengen lebih deket lagi sama dia, walaupun terkadang gua pengen lebih deket juga sama Fanya. Mereka berdua tuh menuhin pikiran gua. Antara pengen jagain mereka, bisa bareng-bareng sama mereka, tapi gua sadar kalau Fanya nggak bakalan bisa deket sama gua,” gumam Mikel di dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments