Apa yang bisa dibanggakan dari seorang gadis yang memiliki perangai buruk, tidak memiliki teman dekat, dan bahkan nyaris menjadi seorang terbelakang yang dikucilkan karena tidak memiliki regu pertemanan?
Bukan cuman itu saja, sih. Akan tetapi, beberapa kategori sebelumnya itu sudah menjabarkan karakter seseorang yang memang pantas dikucilkan. Etika sosialnya mendapatkan predikat minus. Wah, sangat disayangkan sekali bukan?
Hei, tunggu dulu! Masih ada yang harus dijelaskan tentang gadis satu ini. Ya, walau sepertinya akan sedikit membosankan dan memuakkan batinmu kala membacanya.
Memang sih kategori tersebut tidak patut dijadikan sebagai contoh berperilaku, tetapi masih ada predikat plusnya kok. Dia memiliki senyuman lebar yang cenderung manis dengan kadar kehangatan bagaikan mentari pagi. Kalau dia adalah sejenis minuman, sudah dapat dipastikan jika dia adalah caramel macchiato.
Mengapa? Karena rasanya yang cenderung manis dengan kadar kopi yang tidak terlalu banyak. Ah, selain itu masih ada predikat plus lainnya. Gadis ini cukup andal di bidang akademik, dia menyandang gelar sebagai juara dua paralel dalam empat semester terakhir, itu setara dengan dua tahun ajar. Dia memiliki gelar kehormatan: Ratu Paralel II, setelah sekian lama SMP PGRI Margayu memiliki kandidat ratu paralel sejak lima tahun terakhir.
Namun sayang, predikat plus yang dimilikinya ini tak jua dapat melerai predikat minus yang ada pada dirinya sendiri. Penyebabnya adalah perangai buruk dan sikapnya yang tidak mencerminkan sang Ratu Paralel SMP PGRI Margayu.
Gadis ini selalu kedapatan tertidur di kelas, bahkan ketika jam pelajaran tengah berlangsung. Saat jam istirahat dia malah terbangun dan kemudian bertempur dengan buku-buku serta para soal yang ada di bab selanjutnya. Terkadang teman sekelasnya dibuat terheran, gadis ini seakan-akan memiliki kecerdasan di atas rata-rata dengan berusaha sekeras mungkin di akademik, tetapi dia tidak pernah bisa mengalahkan sang juara satu paralel. Sang raja yang selalu disandingkan dengannya, sang raja yang—mari bahas sang raja di lain waktu saja.
Fanya Fransiska, juara dua paralel dan menjadi salah satu primadona SMP PGRI Margayu, sang ratu yang posisinya selalu menemani dan bertarung langsung di medan tempur olimpiade, bersama raja dan prajurit sekolah.
Gadis yang kelihatan sangar sebab sikap pendiam, dan yang paling ikonik ialah dengusan pelan dan suara yang tertahan di mulutnya kala dia benar-benar sedang kesal, atau tidak suka dengan seseorang—bahkan mungkin dia memang membenci orang-orang, makanya dia bersikap dingin kayak gitu.
Fanya itu sebenarnya sudah cantik bak visual grup idola, manis persis kayak caramel macchiato, bersikap dingin karena dia benar-benar mengekspresikan dirinya yang tidak mau berurusan dengan banyak orang, dalam artian: dia menolak secara halus orang-orang yang hendak dekat dengan dia. Ya, menolaknya dengan cara bersikap dingin sebab dia mengaku bisa mengetahui sikap orang lain hanya dari sorot mata dan gestur tubuh seseorang.
Namun, dia bukan indigo. Dia benar-benar seorang remaja perempuan yang kebetulan tidak pandai berkomunikasi dengan baik kepada orang-orang. Dia memiliki impian layaknya remaja perempuan pada umumnya. Mati-matian fokus di akademik demi mengejar nilai suatu mata pelajaran yang bisa membawanya naik ke jenjang yang dia impikan beberapa waktu terakhir.
Dia ingin menjadi seorang desainer dengan memenuhi nilai matematika, bahasa Indonesia, bahasa asing, dan keterampilan adalah target seorang Fanya untuk saat ini. Menjadi juara dua? Tidak masalah. Menjadi juara tidak ada dalam daftar targetnya selama ini, bisa dikatakan predikat juara adalah apresiasi dan hadiah yang patut dia terima dengan suka cita atas perjuangannya.
Semua tentang gadis ini, Fanya Fransiska, memang membingungkan. Lihatlah kali ini, dia melakukannya lagi, lagi, dan lagi selama tiga hari terakhir selepas libur panjang per semester, ralat, libur kenaikan kelas yang panjang.
Di pojok kiri ruangan yang jauh dari pintu masuk kelas, terdapat dua gadis yang duduk bersama dengan posisi berbeda. Mereka sama-sama termenung dalam posisinya sendiri namun juga mereka tidak terganggu sama sekali dengan hal lain. Sampai beberapa saat kemudian, salah satu di antaranya—dia seorang gadis dengan rambut dikepang dua menjuntai sebatas dadanya—dia memecahkan kenyamanan hening yang menyelimuti mereka berdua.
"Fanya, bangun woi!" perintah seorang gadis yang tengah duduk di sebelahnya.
Mulai terusik karena kegiatan memejamkan matanya telah diganggu, ia mengeluarkan suara yang tertahan di mulutnya. “Ganggu banget! Udah bagus cari kursi lain, malah ngotot duduk di sini dengan geser kursi lain ke sini!”
Tempat duduknya berada di barisan paling belakang. Meskipun begitu, tidak membuatnya terganggu sama sekali. Nyaman, ungkapnya begitu.
Gadis ini mulai kesal oleh suara benda yang mengganggu indera pendengarannya sedari tadi. “Aku masih bisa denger loh!” peringatnya. “CK! Itu henpon di kolong meja kamu berisik tau!” Mencoba memberitahukan teman sebangkunya itu, Fanya.
Gadis ini sengaja membuat Fanya kesal dengan mengungkit sebuah ponsel yang diletakkan di kolong meja, padahal ada suara nyaring lainnya yang lebih menganggu. Suara tawa dan teriakkan membahana dari teman sekelas mereka yang lain.
Terpaksa ia merogoh ke dalam kolong meja dengan kepala yang masih bersandar mesra pada meja berwarna hijau itu. Perlahan, ia membuka matanya dengan kerutan di antara alis yang menukik tajam. Dengan tatapan mata tajam, menyipit, serta bibir yang mengerucut cemberut. Dia mendelikkan matanya dan beralih menatap ke objek yang duduk di sampingnya. Objeknya itu tengah menatap heran ke arahnya dan dia langsung memancarkan aura suram di sekitarnya.
“Siapa yang telepon? Tadi bergetar terus-terusan takutnya penting, makanya aku bangunin kamu,” ucap gadis kepang dua sedikit menjelaskan.
Fanya terdiam sambil menatap tepat kepada manik mata objeknya itu. “Hanalya.”
Hanalya Putri Suherman, putri sulung pasangan Brigadir Polisi dan seorang Psikolog Anak. Hanalya adalah salah satu teman Fanya yang bisa disebut sebagai penyelamat gadis jutek itu. Hanalya memaksa berteman kepada Fanya pada tahun lalu saat kenaikan kelas delapan. Hanalya adalah gadis yang kelihatan sarkas padahal dia begitu ceria, meskipun dia agak naif. “Iya, Neng?”
“Kita baru berteman selama dua belas bulan, kan?”
“Iya, itu pencapaian pertemanan yang baik buat aku karena nggak bikin temenku menjauh. Kenapa?”
Benar, Hanalya dan sifatnya yang ceria dan sedikit naif itu membuat siapa saja yang menjadi teman barunya perlahan akan menjauhinya. Bukan hanya naif, Hanalya terlalu mudah membicarakan kebahagiaan dan kesedihannya sebagai seorang anak dari Brigadir Polisi yang erapkali menyambangi sekolah manapun di sekitar Margayu.
Salah satu alasannya adalah karena takut kenakalan mereka akan diadukan Hanalya kepada sang ayah, dan salah duanya adalah sadar diri akan menjuruskan Hanalya ke arah pergaulan yang menyenangkan suatu hari, tetapi bagi keluarga Hanalya malah dipandang tidak menyenangkan dan dicap sebaliknya.
Hanya seorang Fanya yang tidak sama dengan teman-teman baru Hanalya lainnya. Di saat yang lain takut akan tersudutkan oleh kedudukan ayah dari Hanalya, Fanya tidak. Di saat yang lain asik melakukan tindakan non-disiplin, dan takut akan diadukan Hanalya lalu berakhir di meja BK, Fanya dengan santai melakukan tindakan non-disiplin itu di hadapan Hanalya bahkan mengakuinya di hadapan ayah dari gadis naif ini.
“Kamu kasih nomorku ke siapa lagi kali ini?”
“Nggak banyak … selain si Bule dan Nunu kemarin, aku cuman kasih ke Jia dan yang paling terbaru itu aku baru kasih ke—”
“Oke. Berarti kamu pelakunya!”
Hanalya tertegun. “Apa? Pelaku?” Lebih tepatnya dia kebingungan. “Kamu masih melindur, ya?” Hanalya melebarkan matanya sambil menarik senyuman miring seolah meremehkan sekaligus memaklumi ucapan Fanya. Akan tetapi, Hanalya termenung saat Fanya menunjukkan layar ponsel kepadanya. “I–Itu … itu siapa, ya? Kok iseng banget sih?”
[WhatsApp]
+62 839-xxxx-0143
Blokir | Tambah
| Hai, sayang!
| Eh, maaf keceplosan
| Aku ramal kamu bakalan jadi sayangnya aku kok, suer
| Apa kabar, Aya?
| Aku ramal kita bakalan ketemu secepatnya!]
“Itu pasti si Bule!” tuduh Hanalya. “Atau mungkin Nunu? Secara dia, kan, deket sama si Bule yang isengnya melebihi Gian dan Suneo,” tambahnya.
Si Bule ialah sebutan dari Hanalya untuk seorang laki-laki berparas oriental yang memiliki bentuk mata sipit, dia tampan dan keren, tetapi di mata Hanalya dia itu jelek dan menyebalkan. Laki-laki itu bernama Mikel. Sementara itu, Nunu adalah nama panggilan seorang laki-laki yang mana memiliki adik kembar yang menjadi teman dekat Hanalya. Nama laki-laki itu adalah Wisnu, sedangkan teman Hanalya yang merupakan adik kembar Wisnu adalah Jia.
Tidak mengindahkan ucapan dan pembelaan dari Hanalya yang menurutnya tidak ada benarnya sama sekali. Menggumam pelan sambil memalingkan kepalanya menghadap ke arah lain, dan kembali memejamkan matanya. “Udah salah, nggak mau ngaku lagi!”
Sudah dibertahukan bukan? Perangainya itu minus sekali, padahal otak dan visualnya poin plus. Memang tidak bisa disamakan dengan seorang ratu terdahulu, tetapi Fanya itu seperti seorang ratu berparas sangat cantik, tetapi ternyata dia sangat kejam. Hm, kira-kira siapakah sosok ratu itu?
Ah, selain itu, dia benar-benar seorang non-disiplin. Buktinya dia berani membawa ponsel ke sekolah, padahal di PGRI Margayu dilarang membawa benda-benda komunikasi walaupun itu sebagai alat tukar kabar kepada orang tua, tetapi tetap saja tidak diperbolehkan membawa ponsel ke sekolah. Makanya, sang Ratu Paralel II ini memang tidak ada yang bisa dibanggakan darinya selain prestasi akademik dan visualnya saja, kan?
**Halo, kamu datang dari mana?
Asal kota mana?
Aku? Nanas-imnida dari Bandung**.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Yujimori☘️
Ratu Elizabeth I keknya
2024-06-03
1