...R14+...
...----------------...
Laki-laki itu tersenyum lebar dan menghampiri tiga gadis ini dengan tampangnya yang urakan. Rambut gondrong, seragam tidak beraturan tanpa dasi, dan lagi gitar itu. Dia benar-benar anak SMP bukan, sih?
Penampilannya yang memang cakep, tetapi sayangnya dia toren banget alias tinggi kayak tiang listrik.
“Eh, kamu Vano temennya Nunu, kan? Kok ada di Tamansari? Nyariin Nunu?” Jia membombardir laki-laki itu ketika si tuan benar-benar menghampiri mereka bertiga.
“Iya aku temennya Nunu, tapi belom ada urusan sama Nunu, kok. Kamu adik kembarnya Nunu, kan? Jia, ya?”
“Oh, gosh! Kamu masih inget aku? Bahkan kamu aja jarang main sama Nunu ke rumah.”
Laki-laki ini terkekeh sampai mata sipitnya terlihat memejam. Tampak tahi lalat di bawah bibirnya yang berisi. “Masih dong. Mirip banget sama Nunu soalnya. Kalian, kan, kembar.”
Kemudian memasang senyuman memuja ke arah salah satu di antara tiga gadis di hadapannya. “Kamu kok nggak bales chat aku sih? Aku tuh nungguin tau,” katanya.
Baik Jia, Hanalya, bahkan Fanya, mereka terdiam dengan raut terkejut yang lebay, yang lebay hanya Jia dan Hanalya saja sih.
Sontak membuat Jia dan Hanalya kompak mengatakan, “Si iseng yang keempat belas itu dia?” Dengan suara nyaring.
Sedangkan itu, Fanya menukik alisnya menandakan rasa tak suka kala berhadapan dengan laki-laki itu. “Jia, Hana, ayo pergi. Dia nggak ada urusannya sama siapa-siapa, persis kayak kata kamu, Jia. Dia itu anaknya iseng banget kayak Gian dan Suneo. Ayo, aku ada les jam tiga.”
...----------------...
Dia berjalan sambil mengangkat dagu congkaknya, menunjukkan eksistensi tahi lalat berukuran kecil di bawah bibirnya, tersenyum dengan bangga, yang mana mata sipitnya ikut mengerutkan senyuman.
Tubuh bongsornya, rambut cepaknya, serta tas gitar hitam itu mencirikan seorang laki-laki muda urakan yang sering menjadi berandalan sekolah, tukang bikin masalah, yang selalu dielu-elukan para gadis.
Tersenyum kepada semua orang yang ada di hadapannya. “Gua udah ketemu target, dia makin cantik aja di masa pertumbuhan ini. Gua rasa dia bakalan mudah jatuh hati sama gua, secara gua inikan … pesonanya nggak bisa dilewati gitu aja.” Menyombongkan diri secara maksimal.
Ada lima laki-laki dengan gaya pakaian yang tidak jauh berbeda, sama-sama memamerkan penampilan urakan.
Salah satunya, ada yang memasang tindik pada daun telinganya, dia memiliki hidung yang mancung, mata sipitnya tertutup poni tipis dari model rambut yang kebanyakan menjadi daya tarik perempuan, dia memiliki senyuman lebar dengan bibir tipis merah muda.
Dia Bams, baru naik tingkat menjadi kelas sebelas, dan dia menyahuti kawannya. “Tantangannya adalah bikin dia jatuh cinta sama lo, bukan jatuh hati sama pesona lo. Sebagai kandidat untuk vokalis utama, lo wajib punya ekhem. Itu tantangannya.”
Salah duanya, dia memiliki rambut gondrong yang mana ujung rambutnya nyaris menyentuh bahu lebarnya. Mengenakan sweter tanpa lengan warna hitam bergaris-garis perpaduan warna cokelat, putih, dan jingga. Dia tidak mengenakan baju seragam putih sih, tetapi celananya berwarna abu.
Dia Hendra. Wajahnya yang datar kalem, mata bulat berbinar seakan-akan dialah laki-laki baik namun zonk.
“Yakin semudah itu bikin dia jatuh hati sama lo? Bukannya hubungan kalian sejak SD kurang baik, ya? Gua rasa bakalan sulit sih. Apalagi kata informasi yang gua dapet, dia anak olimpiade.” Dia sarkastik.
Laki-laki yang membawa gitar ini heran sendiri. “Kok kalian pada ngomong begitu?”
Hendra dan Bams saling pandang untuk validasi.
Bams menjawab, “Nggak usah dipikirin banget sih. Fokus aja sama rencana lo, dan kita lihat siapa yang bakalan menangin posisi vokalis utama band kita. Apakah bakalan ada yang menangis?”
Matanya mencuri pandang ke arah seorang laki-laki yang duduk memangku lengan di atas pahanya, kedua lengannya menyatu dan mengepal kuat, Bams tersenyum penuh arti.
“Lu ketemu target di mana, Van?” Dia Kaisar. Laki-laki berdarah Cina-Indonesia yang lahir di Surabaya, tapi kemudian pindah ke Bandung. Mengenakan seragam putih-abu dengan seluruh kancing terbuka, sehingga menampakkan kaos hitam bertuliskan merek B yang murah banget di Omazon.
“Tamansari, dia lagi jalan bertiga barengan sama temen-temennya.” Revano namanya. Suspek sebagai pemain dalam permainan jantan bertema taruhan.
“Dit, kapan terakhir kali lo ketemu Fanya? Gua sih pas acara keluarga dua bulan lalu di Kebon Hejo. Dia masih aja jutek kayak dulu,” lanjutnya berdalih menatap temannya.
Aditya atau biasa dikenal Tara ialah anggota kesekian dari perkumpulan ini. Dia memiliki mata bulat dan lebar. Kontur wajahnya mencirikan visual laki-laki Asia tulen.
Sedari tadi dia terdiam dengan wajah masam seolah-olah tidak suka dengan perbincangan yang tengah terjadi di antara mereka. Mengenakan seragam yang sama dengan Revano, kawannya. Bahkan kaos putih polosnya pun sama.
“Belom lama ini sih, ketemu di toko buku pas liburan kemaren. Gua nggak sengaja papasan sama dia yang lagi jalan sama cowok. Cowoknya tinggi, cakep, kayaknya dia mahasiswa atau anak SMA? Gua lihat dia dirangkul mesra sama tuh cowok.”
“Yah, Van. Dirangkul mesra tuh calon ekhemnya sama cowok lain. Hahaha.” Dia Surya. Memiliki lesung pipi yang menjadi daya tariknya untuk memikat semua orang.
Dia terlalu baik jika harus disatukan bersama Bams di sini, tetapi keberadaannya ini justru dapat melengkapi perkumpulan ini. Laki-laki ini mengenakan seragam SMA yang sama dengan Hendra, Kaisar, dan Bams. Diketahui bahwa mereka bertiga satu sekolah.
“Tinggi? Sekitar satu lapan puluh?” tanya Revano.
Aditya lekas menjawab sambil mengingat kembali kepada hari pertemuan yang dia bicarakan sebelumnya. “Ada segitu, kayaknya. Dia pake jaket yang warnanya ijo armi dengan logo pekabe warna putih. Pekabe itu partai nggak sih?”
“Dia pasti kakaknya. Kalo dia pakai jaket ijo armi logo pekabe, itu jaket resmi buat Pemuda Kebon Hejo.” Revano melerai. “Fanya itu nggak mau deket sama cowok manapun, kecuali sama abangnya atau orang yang udah dikenal sama dia. Gua beruntung karena urusan jadi lebih mudah kalo targetnya nggak deket sama cowok manapun.”
“Gua harap begitu,” timpal Bams. Sayangnya, lo nggak bakalan ngejalaninya semudah itu, Van. Lo pikir bakalan lancar? Nggak, gua siap jadi rintangannya kok. Apalagi ini demi Tara yang better dapetin dia.
“Good luck, Bro.” Hendra mengepalkan tangannya, gestur yang merujuk pada kalimat; semangat.
Revano kira akan mudah, tetapi dia tidak tahu saja jika Bams dan Aditya menyembunyikan sesuatu. Mereka berdua saling tatap dari jarak yang memang berjauhan. Bams duduk di posisi paling pojok di sofa kecil yang menjadi meja khusus di sebuah kafe.
Biasanya area reservasi VIP, sedangkan Aditya berada di samping Revano yang mulai asyik dengan gitarnya. Keduanya saling pandang dengan sorot yang sulit dideskripsikan, bersama gestur yang tidak bisa ditebak. Kesannya mereka sedang bersitegang dalam pandang mata yang mengeluarkan laser merah dan biru.
Hai, apakah perlu Nanas bubuhkan daftar pemerannya siapa aja?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Yujimori☘️
berandal kali itu !
2024-06-03
1