Wajah cemberutnya begitu kusut, sang ibu sampai dibuat khawatir karena melihat kekusutan pada wajah anak sulungnya. Per sekon kemudian, mata kedua perempuan yang berstatus ibu dan anak itu saling bertemu.
“Kak, katanya mau ke rumah temen, kok masih di rumah? Apa nggak akan kemaleman?” tanya sang ibu kepada anaknya.
“Ibu!” katanya dengan nada terkejut. “Gi–Gimana, Bu?”
Mendaratkan diri untuk duduk di samping anak gadisnya yang sudah berpakaian rapi lengkap dengan tas selempang kecil. “Kok gimana? Kakak aneh, deh. Kamu kenapa, sih? Semenjak pulang dari ketemuan sama Kyla kemarin, kakak ini kayak habis dapat berita buruk. Ada apa sih?”
Penampilannya seperti seorang gadis yang hendak berjumpa dengan pujaan hati, tapi anaknya masih remaja esempe. Jadi, tidak mungkin hal itu terjadi begitu cepat. Mereka duduk di sofa panjang yang ada di ruang depan rumah, ruangan khusus tamu. Sambil menatap ke luaran sana dari pintu yang terbuka.
“Ng–Nggak kok, Bu,” elaknya. Sudut bibirnya melengkung kaku. “Nggak ada apa-apa. Kakak cuman … Bu, apa kesalahan anak esempe bisa dimaafkan?”
“Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu, Kak?” Sang ibu kemudian terdiam, berusaha memahami anak sulungnya yang kelihatan kentara tengah memikirkan sesuatu. “Contoh kesalahannya seperti apa?”
“Seperti gangguin seorang teman, usik privasi mereka, dan memiliki tujuan nggak baik kepada temannya yang tidak pantas mendapatkan hal buruk, kayak gitu.” Dia terdiam sesaat. “Kata temen kakak, orang ini mau PDKT sama seseorang, tapi kok kakak nggak menangkap tujuan dia untuk PDKT, ya? Lebih kepada dia ini punya maksud buruk,” lanjutnya.
“Itu bukan kesalahan, lebih kepada rencana gangguin orang kali? Seperti yang pernah kakak lakukan kepada Fanya.” Menyisipkan kekehan dalam kalimatnya, niatnya mau bercanda namun putrinya malah cemberut. “Kakak punya teman yang seperti itu?” Sedikit kaget dengan kalimat lanjutan anak gadisnya.
Gadis itu mengangguk. “Bu, kakak tuh bermaksud baik untuk nggak bikin Fanya dalam kondisi yang merugikan dia. Ibu tau sendiri, kan, kalo kakak ini tulus berteman sama Fanya? Kakak cuman pengen dia tuh nggak jadi pemurung kayak sebelumnya, Ibu juga tau sendiri gimana Fanya.”
“Jadi, ini tentang Fanya? Kakak cemburu kalau Fanya mau PDKT sama seorang laki-laki? Kakak suka sama laki-laki itu, iya?”
“Nggak. Bukan kayak gitu, Ibu!” sanggahnya dengan cepat. Sambil mengerutkan wajah, Hanalya menatap ke arah sang ibu yang juga tengah menatapnya. Kemudian, secara perlahan Hanalya menceritakan hal yang telah membuatnya terusik, membuat batinnya tak nyaman sebab memikirkan keburukan cowok itu dan kemungkinan terburuk yang akan terjadi kepada temannya, Fanya.
Hanalya mendekat ke arah ibunya dan segera memeluk pinggang ibunya. Dua perempuan berbeda usia itu terduduk dengan posisi saling memeluk satu sama lain. Jika sedang dalam mode seperti ini, tandanya Hanalya tengah membutuhkan dukungan. Ia perlu didukung meskipun gadis itu belum bercakap mengenai rencananya.
“Teman kakak ada benarnya, kalian ini masih esempe, dan kemungkinan laki-laki yang iseng itu mau PDKT sama Fanya. Dan, kakak terlalu khawatir berlebihan, bisa aja laki-laki itu memang udah suka sama Fanya,” balas sang ibu. “Kalau memang benar laki-laki itu punya niatan buruk, Ibu yakin dia nggak akan setega itu berbuat buruk sama seorang perempuan yang dia sukai.
“Biasanya anak seusia kalian itu memang tengah gencar isengin orang yang dia sukai, atau bersikap menyebalkan karena kalian sedang berada dalam fase pubertas. Suka cari perhatian. Anak yang sudah memasuki usia pubertas, remaja, dia itu bakalan berontak dari sikap biasanya.
“Walaupun perilaku buruk itu tidak sepenuhnya bisa dimaklumi, tapi karena anak remaja seusia kalian ini sedang dalam fase pubertas, makanya kita harus sedikit memakluminya. Masa-masa pubertas itu adalah momen di mana seseorang akan mencoba apa saja untuk mengekspresikan dirinya, untuk menemukan siapa dirinya. Masa pencarian jati diri dan masa-masa percobaan yang mana akan berakhir menjadi pengalaman tak terlupakan.”
Hanalya terdiam sambil memagut erat sang ibu. “Tujuan kakak pergi hari ini tuh ke rumah Fanya, Bu. Kakak mau dengerin dia cerita tentang siapa sebenarnya cowok ngeselin itu, habisnya di sekolah dia jutek banget. Sepulang sekolah kemarin juga nggak sempet bicara apa-apa sama dia, Bu,” keluhnya. “Kakak nggak mau Fanya sedih cuman karena cowok badung itu.
“Btw, Kyla cerita tentang cowok itu: mereka satu sekolah, Kyla sama cowok itu. Nah, kata Kyla nih, Bu … cowok itu nakal dan gaulnya sama anak SMA yang sering bermasalah.”
Sang ibu masih mendengarkan. Sesekali mengusap pundak gadis sulungnya yang dominan mirip sang ayah. Hanalya itu versi perempuan dari ayahnya. Namun, sifat-sifat seperti mudah terlarut dalam pikiran yang membuatnya resah sendiri adalah sifat yang diturunkan sang ibu. Jadi, kala Hanalya bersikap demikian hari ini, sang ibu hanya mampu mendukung dan mendengarkan apa yang tengah menggangu pikiran gadis sulungnya.
“Terus, apa rencana kakak?”
Hanalya mengurai pagutan keduanya sambil merekahkan senyuman yang membuat mata sipitnya kian mengecil. “Rahasia!” jawabnya. Terkekeh riang saat sang ibu mengerutkan wajah cemberut, tampaknya sang peri kehidupan seorang Hanalya telah dibuat kecewa.
“Perinya Hanalya jangan cemberut, dong. Nanti, sepulang dari rumah Fanya, kakak janji deh bakalan kasih tau. Deal?”
Sang peri kehidupan tersenyum haru. “Deal!”
Mengacungkan jari kelingkingnya sebagai simbolis perjanjian. Begitu ia mengacungkan kelingkingnya, si sulung cengengesan sambil menautkan kelingking keduanya.
“Pergi sama siapa? Ayah belum pulang, dan Ibu nggak bisa antarkan kakak ke sana.”
“Ada ojek gratis, Bu.”
“Siapa?”
Hanalya tersenyum malu. “Si Bule. Dia ngajak ke rumah Fanya, tapi dia sendiri nggak mau masuk ke rumah Fanya, dia ngusulin dirinya sendiri untuk anterin kakak. Aneh sih, meresahkan!”
“Hush! Nggak baik bicara kayak gitu,” peringat sang ibu. “Dan lagi, kalian itu masih belum boleh naik motor tanpa SIM. Bahaya! Naik taksi online atau ojol aja, Kak.”
Singkat cerita, dua insan ini tiba di depan sebuah rumah yang mana gerbangnya tertutup. Kawasan di sini agak sepi dan cenderung horor dengan banyaknya pepohonan rindang yang memberikan kesan gelap pada sore menjelang malam ini. Belum waktunya adzan magrib sih, tetapi langit sudah gelap ditambah pepohonan rindang yang hampir menutupi langit-langit. Manalagi sepi, sepeninggalan mobil pesanan yang telah berhasil mengantarkan keduanya kemari, suasananya agak mencekam.
“Beneran di sini rumah Fanya?” tanya Mikel, memastikan jika Hanalya tidak salah tunjuk. Menunjuk sebuah rumah bertingkat dua yang tidak asing dalam ingatan Mikel.
“Iyalah! Gini-gini gue pernah main ke rumah Fanya kali. Nggak kayak lo yang katanya pernah satu sekolah juga sama Fanya, masa sampai nggak tau alamat rumahnya, sih?”
“Emangnya konteks pernah satu sekolah itu wajib banget harus tau alamat rumah masing-masing, ya?”
“Iyalah! Kan, kalo saling tau alamat masing-masing bisa merekatkan silaturahmi, Le.”
“Nama gua Mikel, buka Le. Oke-oke aja lo manggil gua Kel, Mik, lah ini Le? Lele maksud lo?”
“Sini, Le, buruan! Ikut masuk bareng gue. Ketemu sama Fanya,” desak Hanalya tanpa mengindahkan keluhan Mikel sebelumnya.
“Moh!” Menolak. “Gua mau pulang ajalah, dan ambil motor gua yang diparkiran deket rumah lo.”
Pada akhirnya, Mikel mengalah dan ia sendiri yang menekan bel rumah yang diduga kediaman Bapak Ferdiansyah itu. Mikel mengalah sebab ultimatum yang Hanalya layangkan kepadanya. Mengenai ayahnya dan sanksi berkendara tanpa memiliki SIM, Mikel kalah. Dua insan yang datang bersama kemari itu berdiri berdampingan di depan gerbang yang tingginya mencapai tiga meter, mungkin lebih, dengan ornamen wajah singa yang terbuat dari besi.
“Loh, kalian cari siapa, ya?”
“Han, gua udah bilang sebelumnya, lo yakin ini rumah Fanya?” bisik Mikel sambil menunduk.
Hanalya ada di depan satu langkah dari Mikel yang sudah berpindah tempat sejak menekan bel rumah. “Yakin, Le!” tegas Hanalya.
Orang yang baru saja keluar menghampiri dua insan itu terheran. “Fanya? Kalian temannya Fanya?”
“Iya, Tante.” Hanalya yang menjawab cepat namun hati-hati. “Di sini beneran rumahnya Fanya, kan? Tante masih inget? Aku ini Hanalya. Temen Fanya waktu kelas delapan, Tante.”
Orang yang keluar menghampiri mereka berdua adalah seorang wanita, kelihatannya seusia dengan ibu Hanalya. Terlihat segar, muda, dan cantik. Wanita ini tersenyum ramah.
“Ah, benar juga. Tante pernah ke sekolah Fanya. Maaf, tapi rumah Fanya ada di sebelah sana, Nak,” katanya sambil menunjuk ke arah rumah sebelah. Kemudian, ia menatap selidik ke arah Mikel. “Kamu ini, kan ….” Dia Kekel bukan, sih?
“Oalah, maaf Tante, kami salah rumah ternyata, hehe. Terima kasih, Tante. Maaf, ya.” Kemudian, setelah mengatakannya Hanalya ngacir tanpa menarik Mikel ikut bersamanya.
“Permisi, Tante. Kami pamit,” tambah Mikel setelah ditinggalkan Hanalya. “Salam buat Vano, ya, dia pulangkan hari ini?”
“Kamu beneran temannya si Kaka?” Terkejut. “Kamu siapa? Jangan bilang kalo kamu Kekel?”
Mikel terkekeh malu. “Benar, dengan Kekel, Tante. Maaf bikin pangling, saya memang makin ganteng semenjak lebih banyak bergaul sama Nunu dibandingkan Vano, hehe.”
Wanita yang diduga ibu dari Revano teman Mikel ini menepuk bahu Mikel dengan keras, biasalah, ibu-ibu kalau bersikap demikian karena begitu takjub. “Anak ini! Nggak pernah berubah, masih kepedean padahal dulu kulitmu nggak sebening ini, Kel.”
“Anak kecil sekarang udah masa pubertas, ya? Bunda jadi kangen deh sama si Kaka, dan kakaknya, si Kaka jarang pulang akhir-akhir ini. Harusnya dia pulang tiap Sabtu malam, Kel. Entahlah apa yang bikin dia nggak mau pulang.”
“Sama, Tan. Dia juga jarang ajakin Kekel sama Nunu main lagi. Cuman Tara aja yang sering ajakin kami main sekarang. Kata Tara, Vano nggak mau berteman lagi sama Kekel.” Mikel terkekeh. “Bercanda atuh, Tan. Vano itu kalo main pasti ngajak keluar pas Senin malam, atau nggak nyamper ke rumah Kekel, Tan.”
“Udah bujang aja kalian, ya. Mentang-mentang dibebasin main juga sampai mainnya kemaleman gitu.” Wanita ini menggeleng pasrah. “Terus, ada apa kalian ke rumah Fanya?”
“Ah, mau main aja sih, Tante. Kalo nggak diajak ke rumahnya duluan, Fanya ogah datang dan main keluar.”
“Iya, semenjak si Kaka pindah, Kel,” kata ibu Revano. “Kamu dan teman kamu yang barusan jagain Fanya, ya, di sekolah. Dia itu lebih rewel daripada yang kamu tau, Kel. Bunda harap kalian berteman dengan akur, ya.”
Mikel terdiam. Kemudian, suara pekikan yang berasal dari rumah sebelah itu membuat Mikel dan wanita itu menoleh. “Kekel pamit, ya, Tan. Salam buat Vano kalo dia udah pulang.” Mikel menyalami wanita itu sebelum pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments