Kata Pertama

Usai melewati bulan Februari yang kelabu untuk Tendean, kini dua bulan sudah berlalu. Dokter muda itu kini memiliki kesibukan baru yaitu mengambil program spesialisasi saraf atau neurologis. Neurolog adalah dokter spesialis yang akan mendiagnosis dan mengobati masalah yang berkaitan dengan otak dan sistem saraf. Sebagai Dokter Saraf , Tendean akan menangani penyakit yang berkaitan dengan otak dan saraf, termasuk saraf tulang belakang dan saraf tepi.

Kendati sibuk sebagai Dokter, tetapi ada satu hal yang tidak mungkin Tendean abaikan yaitu mengasuh Anaya tiap kali dia pulang dari Rumah Sakit. Untuk pengasuhan putri kecilnya pun juga dibantu oleh Mamanya yang tulus merawat dan mengasuh Anaya.

Sama seperti sore ini, begitu pulang dari Rumah Sakit. Tendean memilih langsung pulang. Rasanya dia menghabiskan waktu untuk bermain dengan Anaya.

"Anaknya Ayah seharian ini main apa aja nih?" tanya Tendean dengan memangku putrinya yang sudah berusia satu tahun dua bulan itu.

"Mam ... Mam," balas Aya kecil dengan sembari bermain air liur di bibirnya.

"Oh, tadi Aya makan yah? Mam apa tadi?" tanya Tendean lagi.

Walau kemampuan berbicara Anaya masih terbatas. Akan tetapi, Tendean terus mengajak Anaya berbicara. Sebab, dengan sering mengajak mengobrol si kecil itu menjadi stimulasi untuk indera pendengarannya.

"Sekarang usia Aya kian bertambah, belajar bicara yuk sama Ayah ... nanti kalau Aya sudah besar, temenin Ayah ngobrol ya Nak," ucap Tendean kepada putrinya.

Aya kecil pun memilih turun dari pangkuan Ayahnya dan kemudian bermain dengan merangkak ke sana - kemari. Tendean pun menggunakan boneka rattle yang memiliki suara bergemerincing untuk menstimulasi sensorik Aya.

"Coba kejar bunyi ini, Aya," perintah sang Ayah.

Aya kecil pun merangkak dan mencari suara gemerincing dari boneka rattle itu. Puas merangkak, Aya pun berjalan perlahan dan sambil bertepuk tangan. Anak kecil itu tampak girang sekali. Begitu juga dengan Tendean yang merasakan semua lelahnya hilang ketika bisa bermain dengan Aya seperti ini.

"Coba bilang yuk, Nak ... Ayah ... A ... Yah."

Tendean mencoba mengajari Anaya kecil untuk bisa berbicara. Memanggil namanya yang adalah Ayah. Setidaknya dimulai dengan kosakata sederhana dan selalu Anaya temui di sekelilingnya.

"A ... Yah. Ayah ...."

Lagi Tendean bersuara dan memperjelas artikulasinya supaya Aya kecil bisa mengikutinya. Jika terbiasa, sudah pasti Aya bisa berucap dan berbicara. Memang tahap berbicara seorang anak itu dimulai dari satu kata, hingga perlahan perbendaharaan katanya akan bertambah.

"Yuk, Aya ... coba ikuti Ayah. A ... yah. Ayah," ucapnya lagi.

Anaya justru berjalan-jalan dengan sesekali bertepuk tangan. Bahkan Anaya sesekali menjulurkan lidahnya. Begitu menggemaskannya Anaya kala itu.

"Nda ... Nda," ucap Anaya perlahan.

Begitu terkejutnya Tendean. Kata yang dia ucapkan adalah Ayah, tetapi putrinya justru menyebut kata 'Bunda.' Sepengetahuan Tendean tidak pernah ada yang mengajari Anaya memanggil kata Bunda. Sebab, kata yang sering diucapkan adalah Ayah, Oma, dan juga Opa.

"Kok, Nda ... Aya?" tanya Tendean.

"Nda ... Nda," jawab Anaya dengan berteriak melengking.

Tidak marah, tetapi sebenarnya dada Tendean terasa sesak. Seharusnya memang anak seusia Anaya akan lebih dekat dengan Bundanya. Mendapatkan berbagai stimulasi tumbuh kembang dari Bundanya. Akan tetapi, justru tidak mendapatkan kasih sayang dan upaya stimulasi dari Bundanya.

Hampir saja Tendean menitikkan air matanya karena terharu dan ada sedih yang melingkupi. "Aya manggil siapa?" tanya Tendean perlahan.

"Nda ... dada," balasnya.

Tidak selamanya, hati seorang Ayah itu begitu teguh seperti karang. Akan tetapi, bisa juga hati seorang Ayah itu seperti batu karang yang tergurus ombak lautan, perlahan-lahan lapuk. Begitu juga yang dirasakan Tendean sekarang. Jika, mendiang istrinya masih ada, Bundanya Anaya masih ada, akan begitu bahagianya Desy bisa mengucapkan kata pertama yaitu Bunda.

"Yah, pintar ... sekarang coba panggil Ayah dong," ucap Tendean. Di dalam hatinya Tendean masih berharap bahwa putrinya akan bisa memanggilnya.

Namun, Ayah justru menggelengkan kepalanya dan kembali serius dengan boneka rattle di tangannya. Bayi kecil itu justru menggelengkan kepalanya. Tendean tersenyum dalam hati. Tidak apa-apa, itu berarti cerita penghantar tidur yang sering dia dongengkan kepada Aya pun bisa dimengerti oleh Aya, buktinya Aya tahu sosok Bunda.

Terpopuler

Comments

Enisensi Klara

Enisensi Klara

sabar Ya Dean lambat laun Aya akan bisa panggil ayah 😥😥

2023-03-01

0

Enisensi Klara

Enisensi Klara

Aya .....pintar bisa bilang bunda ...pasti almahumah bunda nya yg ngajarin

2023-03-01

0

Enisensi Klara

Enisensi Klara

pengen tak bawa si Aya ini hihihi 🤭🤭🤭 gumush deh 😂😂😂

2023-03-01

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!