Banyak orang berkata bahwa empat puluh hari pertama usai kepergian orang tercinta adalah masa yang paling sulit. Seolah semua kenangan tentang almarhumah masih terikat di hati. Ada kalanya merasa sepi dan sendiri. Ada kalanya merasa rindu menggebu. Ada kalanya merasa rapuh.
Begitu juga dengan Tendean yang dalam empat puluh hari ini benar-benar berjuang dan memotivasi dirinya sendiri. Walau berat, tapi waktu terus bergulir. Walau patah semangat, tapi dia harus menguatkan tulang dan sendi-sendinya untuk beraktivitas dan berdiri.
Akan tetapi, setidaknya ada satu hal yang Tendean syukuri yaitu bayi kecilnya rupanya tidak intoleransi terhadap susu sapi. Sekadar dengan susu formula pun Anaya tidak menghadapi masalah dengan pencernaannya. Walau pun memang warna pupnya lebih gelap, sementara bayi yang mendapat air susu ibu akan memiliki warna yang lebih kuning. Namun sejauh ini, Anaya tidak mengalami diare dan juga perut kembung. Dokter spesialis anaknya pun juga memberikan saran begitu ada intoleransi susu sapi, maka susu formula yang diminum Anaya harus dihentikan.
Hari ini pun di kediaman Dokter Tendean juga dilakukan Pengajian 40 hari berpulangnya almarhumah istri tercinta. Sehingga memang banyak tamu berdatangan dan melakukan kajian serta pembacaan Surat Yasin. Dari tetangga, kerabat, hingga rekan seprofesi yang datang dan juga turut memberikan doa untuk almarhumah.
Dengan mengenakan baju Koko berwarna putih dan juga peci di kepalanya, Tendean begitu khusuk mengikuti acara pengajian itu. Walau terasa berat, dadanya juga masih begitu sesak. Namun, di dalam hati Tendean berusaha melepas almarhumah Desy dengan ikhlas. Jika ada satu yang Tendean sesalkan adalah sang istri yang pergi tanpa memberikan pesan kepadanya. Desy hanya meminta supaya dia akan memberikan nama Anaya untuk bayinya dan juga putrinya nanti akan banyak memberikannya pelajaran hidup.
"Sudah empat puluh hari kepergianmu, Desy ... sudah empat puluh hari juga bayi kecil kita berada di dunia ini. Pun dengan aku yang sudah lebih dari satu bulan menjadi duda. Kamu apa bahagia di atas sana, Desy? Tidakkah kamu tahu bahwa kami yang sudah engkau tinggalkan masih begitu merindukamu?"
Di dalam hatinya, Tendean berbicara dengan rasa pedih yang amat sangat. Proses empat puluh hari yang benar-benar berat untuknya. Namun, apa daya semuanya sudah berlalu dan juga Tendean tidak memiliki kuasa untuk memutar waktu.
"Kami yang masih ada di Bumi yang fana ini akan berusaha hidup dengan terus mengingat kenanganmu, Desy. Anaya pun akan mengenal sosok Bundanya melalui foto dan kisah kamu yang selalu hidup di hati kami."
Rasanya perih, tetapi Tendean berjanji dalam hati bahwa dia akan mengenalkan sosok Bundanya kepada Anaya melalui foto-foto dan kisah-kisah yang bisa dia bagikan ketika putrinya beranjak dewasa nanti. Sebab, memang semua yang ada di bawah langit ini sudah digariskan oleh Sang Khalik. Pertemuan dan perpisahan, sudah ada kedaulatan waktu-Nya yang begitu agung.
Hingga usai pengajian selesai, ada seorang sahabat Tendean yang turut datang dan memberikan empatinya untuk Tendean. Seorang Dokter muda yang rela datang jauh-jauh dari Bandung.
"Ean, aku turut berdukacita. Aku baru tahu belakangan ini kalau Desy sudah berpulang," ucapnya.
Tendean pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum pias. "Tidak apa-apa. Makasih Deddy, sudah dibelain datang dari Bandung ke Jakarta," ucap Tendean.
Ya, yang ada adalah Dokter Deddy yang adalah sahabat karib Tendean. Dulu, keduanya sama-sama kuliah dan mengambil Kedokteran di salah satu universitas di Bandung. Dokter muda yang baru-baru ini juga baru saja dikaruniai seorang bayi laki-laki.
"Siapa nama putri kamu, Ean?" tanya Deddy.
"Anaya, namanya Anaya, dan aku memanggilnya Aya," balas Tendean.
"Cantiknya Aya ... mirip dengan almarhumah yah," balas Deddy.
"Iya, aku melihat wajah Desy di dalam wajah Aya. Kadang hatiku teriris, kadang rindu menggebu, kadang pun sesak. Wajah ini tidak pernah lekang dari ingatanku," ucap Tendean lagi.
Kini Deddy tampak menepuki bahu sahabatnya. "Yang kuat ya, Ean. Aku yakin kamu bisa melewati semuanya. Jika memang tidak bisa bertahan, lihatlah wajah bayi kecilmu ini. Malaikat kecilmu, cindera mata berharga dari Desy," ucap Deddy.
Sejujurnya memang hanya dengan melihat Anaya saja, sang Ayah bisa bertahan. Jika tidak ada bayi kecilnya, mungkin saja Tendean sudah benar-benar terpuruk dan juga kehilangan kewarasannya. Namun, bayi kecilnya itu seakan menjadi alasan tersendiri untuk Tendean bangkit dan menguatkan dirinya sendiri. Sebab, Anaya sangat membutuhkannya.
"Kamu datang dengan siapa, Ded?" tanya Tendean kepada sahabatnya itu.
"Sendirian, Ean ... istriku baru saja melahirkan. Mungkin saja sekarang bayiku seusia putrimu ini," cerita Deddy.
"Oh, yah ... selamat Ded. Tidak kusangka ternyata kamu sudah menjadi seorang Ayah. Selamat yah. Laki-laki atau perempuan?" tanya Tendean lagi.
"Cowok. Namanya Dicky. Nanti bisa menjadi teman bermainnya Aya yah," balas Deddy dengan menatap wajah bayi Anaya yang teduh.
Tendean pun menganggukkan kepalanya perlahan. "Tentu saja, boleh," balas Tendean.
"Harus selalu kuat ya, Ean. Kamu pasti bisa melewati semuanya ini. Bertahan untuk Aya," ucap Dicky lagi yang memberikan motivasi kepada sahabatnya.
Tendean pun merasa bersyukur karena sahabatnya itu rela datang jauh-jauh dari Bandung dan turut memberikan doa untuk mendiang istrinya dan juga memberikan motivasi untuk dirinya. Jujur, di saat-saat terpuruk seperti ini Tendean bersyukur karena begitu banyak orang yang menguatkannya. Keluarga, sahabat, dan rekan sesama Dokter di Rumah Sakit yang sering memberikan dukungan secara moral. Empat puluh hari sudah berlalu, tetapi rasanya sepanjang hari yang dilalui Tendean rasanya begitu kelabu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Bunda Titin
sabar ya ayah Tendean kuat dan tegar lah demi baby Anaya........🙏😭😭😭
2023-02-08
0
Bunda Titin
oh......Dicky seumuran Anaya kirain 1 atau 2 thn di atas Anaya.......
2023-02-08
0
Jhon Renaldhi
kok up nya lama sih Thor ga kaya waktu novel Anaya dan Tama
2023-02-08
1