Dibujuk Jihan

"Hasan ... Kalau kamu tetap pergi dan mengabaikan ibu, maka ini hari terakhir kamu menjadi anakku. Bahkan jika ibumu mati, jangan pernah melihat jenazahku, San. Aku tidak Sudi!" cetus ibu, yang diikuti istighfar dari mulutku, Jihan dan pakde.

"Ada apa sih ini, kenapa harus saling putus hubungan seperti ini. Apa masalahnya? Hasan, kesinilah, ceritakan pada pakde. Hubungan ibu dan anak itu tak ada penghapusnya. Jangan sembarang ngomong, sebaiknya selesaikan di sini, jangan dibawa keluar. Di luar banyak saudara-saudara kita, mereka akan tahu dan ini nggak baik untuk keluarga kalian." Kata pakde.

Sebagai tetua di antara aku dan ibu, pakde mencoba menjadi penengah. Pada pakde ku cerita semua yang terjadi. Pakde geleng-geleng kepala. Tak menyangka kalau ternyata masalah iuran itu inisiatif ibu sendiri, bukan dari diriku. "Kalau anakmu belum mampu memberikan segitu ya jangan dipaksa tho, Yuk. Sudahlah. Katakan saja sejujurnya pada mbak kamu, ia pasti paham. Minta maaf saja." Kata pakde. "Jangan sampai karena masalah ini, hubunganmu dengan anakmu jadi buruk. Apa ia tak berarti untukmu?" tanya pakde lagi.

"Aku nggak mau." Kata ibu. "Dia kan bisa berhutang. Aku saja berhutang untuk membuatnya jadi seperti sekarang, masa dia nggak bisa berhutang untuk memenuhi kebutuhan aku?" jelas ibu.

"Bu, kalau uang itu benar-benar untuk biaya hidup ibu, Hasan siap mencari hutangan kemanapun, tapi kalau cuma untuk gengsi-gengsian saja. Maafkan Hasan, Bu. Hasan nggak bisa!" Kataku lagi.

"Kamu ini, San!" Ibu masih marah. "Dia itu nggak pernah berbakti padaku. Yang dipikirkannya hanya istri dan anak-anaknya saja. Aku sebagai ibunya ya nggak dianggap..kalau memang untuk gengsi apa salahnya? Toh itu kebutuhan hidupku. Aku sudah tua, juga pengen merasakan dihormati!" Kata ibu yang tetap tak mau kalah. "Seumur hidupku baru ini merasa orang melihatku dengan hormat, biasanya, aku tak dianggap, hanya kebagian sebagai tukang kerja saja. Diajak bicara juga enggak."

"Bang, bisa bicara sebentar." Jihan mengajakku masuk ke dalam. "Bang, apa nggak bisa diusahakan permintaan ibu? Kasihan bang, sepertinya ibu pengen banget kita nyumbang. Sekali ini saja bang dikabulkan. Untuk menyelamatkan harga diri ibu juga. Menyenangkan ibu itu berpahala lho. Toh hajatan ini juga yang hadir kebanyakan keluarga, anggap aja kita nyumbang untuk makan-makan keluarga." usul Jihan.

"Dik, ibu mah nggak usah diladeni. Nggak semua permintaan ibu harus kita kabulkan. Apalagi yang berlebih-lebihan seperti itu. Semampu kita saja!"

"Tapi yang ini kan sudah terlanjur janji, bang. Yang namanya janji itu hutang. Tetap harus dibayar sama ibu. Ya sudah, usahakan saja sih bang."

Kalau bukan karena Jihan, aku gak akan mau melakukan semua ini. Tapi pada akhirnya aku menyerah juga. butuh beberapa menit untuk bisa mendapatkan uang yang diminta ibu.

"Uangnya sudah ada, tapi ini terakhir ibu mengatas namakan Hasan. Kalau ada hal serupa ibu harus ngomong dulu sama Hasan sebelum membuat keputusan!" aku menegaskan. "Hasan, Jihan dan anak-anak ke ATM dulu." kataku.

Kami sekeluarga berangkat menuju ATM. Usai menarik uang pinjaman dari salah satu teman kantor, aku tak langsung kembali ke rumah ibu, tapi diam sejenak di dalam mobil. Merenungi apa yang sudah dikatakan ibu tadi. Sakit rasanya, tapi seperti yang dikatakan Jihan, harus tetap baik pada ibu.

Ahhh ibu beruntung sekali punya menantu seperti Jihan. Kalau saja sifat Jihan seperti menantu-menantu yang banyak di cerita-cerita, yang bersaing dengan ibu mertuanya maka sejak awal ibu akan tersingkir. Tapi Jihan tak melakukan itu, ia justru terus mendukung aku untuk berbuat baik pada ibu.

***

Pandangan mataku tak lepas dari ibu yang tersenyum sumringah ketika seluruh anggota keluarga kecuali pakde memuji-muji ibu dan aku.

Ibu yang berhasil mendidik aku hingga kini bisa jadi manager dengan gaji besar. Aku yang membanggakan ibu. Namun tak ada yang melihat Jihan. Mereka hanya menjadikan aku dan ibu sebagai pusatnya.

***

Pesta ini jadi pesta paling meriah di kampung kami sejak sepuluh tahun terakhir karena memotong sapi. Hidangan juga banyak, melimpah-limpah hingga para tamu dibawakan pulang juga. Semua sebab aku menyumbang cukup besar. Atas inisiatif ibu sendiri.

Semua orang menikmati kecuali aku. Bukan karena aku tak ikhlas uangku yang hanya hasil berhutang tapi karena aku masih merasa kecewa dengan perkataan ibu.

Aku menyesal kenapa baru bisa jadi manager sekarang. Kalau saja dari dulu mungkin sudah bisa membahagiakan ibu. Ternyata letak kebahagiaan ibu adalah kebanggaan ketika bisa menjadi orang yang berada.

Tak sengaja, tatapan aku dan ibu beradu. ibu yang semula tertawa langsung diam, membuang muka. Kemudian berlalu berbincang dengan tamu-tamu yang lainnya. Sementara aku, terus mengikuti jejak ibu dengan mataku.

Masih teringat betul, dahulu, jika salah satu saudara kami melaksanakan hajatan, maka keluargaku selalu mendapat jatah dibelakang. Ibu yang mencuci piring. Ayah yang menghidangkan makanan, menambah jika hidangan habis. Sementara aku disuruh mengutip piring dan gelas bekas makan tamu-tamu. Selalu begitu setiap hajatan. Bahkan hajatan sepupuku yang terakhir aku kunjungi sebelum ini.

Tapi kini, sudah berbeda. Ibu ikut di depan. Mendapatkan seragam, boleh berbincang dengan tamu-tamu, makan sepuasnya tanpa ada yang melirik dengan tatapan tajam.

Ya Allah ... Kadang kesenjangan ekonomi itu memang begitu menyakitkan.

Tetapi, bukannya aku tak mau mengikuti inginnya ibu, aku hanya tak suka jika kami terlalu memaksakan diri.

Di antara tamu yang datang, aku berjalan, menyelinap menuju ibu yang sedang berbincang dengan teman-temannya.

"Bu, maafkan Hasan ya." aku berbisik di telinga ibu dari belakang, di antara riuh orang yang berbincang-bincang.

Ibu terdiam. Ia sama sekali tak menoleh Lalu ia berlalu menuju belakang. sempat tertangkap oleh netraku ibu menyapu matanya yang sepertinya basah. Mungkin ibu menangis.

"Bu, maafkan karena Hasan tak memahami. Mungkin bagi Hasan berlebihan, tapi bagi ibu enggak karena sebegitu menyedihkan keluarga kita ketika ada saudara yang mengadakan pesta hajatan.

"Bang, Abang luar biasa. Aku bangga sama abang. aku nggak menyesal menjadi istri Abang." Jihan, yang entah kapan datangnya, tiba-tiba ia juga berbisik di telingaku.

"Ini semua berkat kamu, dik. Abang lagi-lagi berhutang sama kamu. Terimakasih banyak ya Dik. Maafkan Abang punya banyak kekurangan." aku balas berbisik.

punya istri satu seperti Jihan saja sudah membuatku sangat bersyukur. Aku benar-benar menjadi laki-laki paling beruntung di dunia karena punya istri yang sangat pengertian. Selalu menasihati ketika suaminya punya kekurangan. Memaafkan ketika bersalah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!