"Ibu ... cukup!" Aku menghentikan ibu sebab sekarang Jihan sudah manangis mendengar tuduhan ibu. Badannya gemetaran. Aku segera menggiringnya ke kamar agar tak perlu mendengar semua tuduhan tak mendasar dari ibu. "Dik, kamu tunggu di kamar dulu ya. Biar Abang yang selesaikan semuanya. Kamu hidupkan saja murattal di Hp supaya nggak perlu mendengar apapun yang dikatakan ibu." Kataku.
"Bang," Jihan masih menangis. "Maafkan aku bang."
"Ya Allah, ini bukan salah kamu, dik. Sungguh. Kamilah yang sudah zalim pada kamu, Dik. Harusnya Abang mengantarkan kamu lebih cepat pulang ke kampung supaya kamu bisa ketemu orang tua kamu, dik. Maafkan Abang. Abang sungguh banyak dosanya. Banyak kurangnya dik. Kamu adalah berkah yang tak akan ternilai yang Allah berikan pada Abang yang harus selalu Abang syukuri." aku mengusap pelan kepalanya, mencium keningnya agar ia tenang, meski Jihan masih gemetar.
"Hasan. Cepat ke sini. Jelaskan semuanya atau nggak usah lagi kamu pulang ke sini!" ibu berteriak keras, membuat aku dan Jihan kaget. Segera aku menghampiri ibu sebelum ia kembali meledak, mengeluarkan emosinya, menjadikan Jihan sebagai pelampiasan. Sebelum keluar kamar, tak lupa ku suruh Jihan menghidupkan murattal, lalu menutup pintu kamar. "Apa ini semua, San?" ibu melempar amplop yang tadi ku berikan. "Sekarang jelaskan semuanya pada ibu."
"Kan sudah Hasan katakan, Bu. Hasan hanya punya uang segitu. Hasan sudah tidak punya tabungan lagi. Semua uang Hasan sudah di belikan mobil, cicilan rumah, perbaikan rumah ibu dan juga membeli sawah yang ibu suruh. Kalaupun untuk mudik ke kampung Jihan, ongkos pulang pergi kami yang pertama dari uang yang diberikan orang tuanya Jihan sebelum mereka meninggal. Ditransfer agar Hasan bisa mengantar Jihan mudik karena ayah dan ibunya sudah sangat rindu Jihan dan kedua cucunya. Yang benar-benar uang Hasan, itu untuk menjemput Jihan kemarin, Bu. Dan itu enggak seberapa karena pulangnya juga kami diongkosi keluarga besarnya. Apalagi untuk kenduri orang tua Jihan, Hasan yang berstatus menantu yang harusnya ikut iuran sama sekali nggak nyumbang satu rupiah, pun, Bu. Jadi jangan sembarang tuduh seperti itu. Ibu sudah menyakiti perasaan Jihan. Ingat kan apa yang Hasan katakan. Hasan sangat mencintai Jihan, bu. Kalau ibu mau marah, salahkan Hasan saja karena Hasan yang bertanggung jawab atas semuanya, bukan Jihan!" Aku menegaskan.
"Oh jadi sekarang perempuan itu sudah tak boleh tersentuh lagi? Dia jauh lebih penting dari aku ibuku yang melahirkan dan membesarkan kamu? Benar begitu, San? Kamu aku besarkan mati-matian dengan susah payah, bertaruh nyawa, San. Dahulu hidup kita susah, semua orang memandang rendah, tapi aku dan ayahmu berjuang agar kau jadi orang. Belum lagi saat kau ingin melamarnya ke pulau seberang sana, ayahmu rela menjual rumahnya, yang ia beli dengan susah payah untuk kau. Tapi sekarang, aku melakukan ini kau tak mau mendukung. Aku punya tujuan agar derajat keluarga kita naik, San. Agar keluarga kita tak lagi dipandang sebelah mata tapi kamu bukannya membantu ibumu malah lepas tangan begitu saja. Yang kamu pikirkan hanya dirimu saja. Benar-benar keterlaluan kamu San. sekarang lebih baik kamu pulang, jangan muncul di sini lagi. Biarlah ibu yang menanggung malu semua. Jangan lagi anggap aku ibumu jika kau tak mau menuruti aku!"
"Astagfirullah Bu. Untuk apa itu semua. Biarlah hidup apa adanya yang penting nyaman. Hasan sudah pernah melakoni apa yang ibu katakan itu, tapi hanya beberapa bulan Hasan rasanya sudah tersiksa Bu. Sudahi. Masa ibu tega sama Hasan." aku nyaris menangis mendengar ancaman terakhir ibu.
Tapi keputusan ibu sudah bulat. Kalau tak ada sepuluh juta maka lebih baik tak usah pulang kampung lagi. Sakit sekali rasanya.
"Kemana akan Hasan cari, Bu? Hutang Hasan sudah numpuk." kataku.
"Ibu ada satu usul. Terserah kamu mau ikut atau tidak. Jihan, orang tuanya kan baru meninggal. Kau bilang, mereka cukup berada. Pasti ada warisan, kan?"
"Astagfirullah, ibu!" aku meradang. "Istriku baru saja kehilangan orang tuanya, ia masih berduka dan ibu mau aku menanyakan tentang warisannya? Bu, apa ibu masih sehat? Ibu tahu bagaimana perasaannya sekarang? Hancur! Lalu ibu suruh aku meminta bagian warisan padanya. Itu bukan hakku, bu. Tapi hak Jihan sepenuhnya. Dosa Bu kalau aku harus ikut campur. Seperti orang yang nggak tahu diri dan nggak punya hati saja! Aku nggak sampai hati menanyakannya, Bu. Sudah cukup banyak kesalahan yang Hasan buat pada Jihan, jangan biarkan Hasna menambah kesalahan baru lagi" kataku dengan suara pelan, khawatir Jihan mendengar.
"Ya sudah, kalau kamu enggak mau biar ibu yang tanya ke Jihan. Lagian kan kalian suami istri. Harta dia ya harta kamu, San. Apa bedanya. Biarkan saja ia juga ikut nanggung. Masa mau enaknya saja."
"Bu, Hasan lebih baik tidak dihargai oleh keluarga besar kita ketimbang harus menyakiti hati Jihan!" Aku menegaskan hingga ibu kewalahan menghadapi.
Saat kami sedang bertengkar, pakde yang tadi meminjam mobilku datang untuk mengembalikan kunci. Menurutku ini kesempatan untuk pulang ke Jogja. Dari pada di sini, mengikuti kemauan ibu yang justru nanti akan jadi bumerang untukku dan Jihan. Untuk rumah tangga kami.
"Bu, seperti yang ibu katakan. Hasan pulang saja ke Jogja. Kalau ada apa-apa menyangkut ibu, hubungi Hasan. Maafkan Hasan, mohon Ridha dengan Hasan." kataku.
"Lho, kamu kenapa pulang tho, San? Acaranya baru akan dimulai besok. Semua sudah ngumpul itu, mau ngomong sama kamu." kata pakde.
"Maaf pakde, Hasan harus pulang ke Jogja sekarang. Nanti biar ibu yang jelaskan." aku segera masuk ke kamar, tak peduli pakde bertanya-tanya atau ibu yang kecewa. Lebih baik begitu, dari pada memaksakan diri demi sebuah gengsi yang justru akan menghancurkan diri sendiri. Aku sudah pernah melakoni dan aku menyesali. Sangat bodoh jika aku kembali mengulangi semuanya.
"Bang, bagaimana?" tanya Jihan yang ternyata duduk di lantai sambil menutup kupingnya.
"Kita pulang ya dik. Jangan tanya apapun dulu. Nanti kalau sudah di rumah akan Abang ceritakan semuanya. Abang sayang sama kamu, dik. Abang akan berusaha agar tak menyakiti kamu. Kamu percaya kan dik?" aku memeluk erat Jihan. "Sekarang rapikan barang-barang kita, dik. ayo kita pulang."
Aku membawa Nabila dalam gendongan, menyerer koper. sementara Jihan menggendong Nadira sambil membawa tas kecil berisi perlengkapan bayi.
"Bu, kami pamit. Assalamualaikum." kataku. diikuti Jihan yang masih bingung. Sementara ibu tak bergeming..Tetap duduk di kursi tanpa bicara sepatah katapun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments