Cukup Satu Istri
Jam lima, saat jam kerja berakhir, aku segera keluar dari kantor. Tak sabar rasanya sampai di kontrakan mungil kami yang berada di Selatan kota. Ingin mengabari Jihan, istriku, tentang kenaikan jabatan yang bisa dikatakan tiba-tiba hingga menjadi berkah luar biasa untuk kami yang sedang berjuang untuk masa depan ini.
Melewati area kampus, perutku langsung keroncong sebab Indra penciumanku mengirim aroma lezat dari berbagai jenis panganan yang dijajakan penjual kaki lima. Ditambah tadi saat jam makan siang tak sempat memasukkan makanan apapun karena terlanjur kegirangan usai dapat pengumuman naik jabatan, juga sesama rekan sejawat yang berganti memberikan selamat.
Motor tua ku hentikan tepat di depan salah satu gerobak penjual martabak telur. Ini kesukaan Jihan, sebab sambalnya berbeda dengan penjual martabak kebanyakan, kata Jihan seperti penjual martabak di kampung halamannya di pulau Sumatera sana Untung saja masih sepi, aku satu-satunya pembeli, jadi tak perlu lama antri. Ku keluarkan uang lembaran seratus ribu usai memesan satu piring martabat telur dan sepiring terang bulan ketan hitam. Nanti rencananya akan ku makan bersama Jihan sambil bercerita, sekalian menyusun rencana hidup selanjutnya setelah ada kenaikan jabatan yang berarti gaji pun juga ikut naik.
Usai mendapat martabak, aku langsung naik ke atas motor, rasanya ingin memacunya sekencang mungkin, tapi terhalang sebab jalanan yang cukup padat. Jogja akhir-akhir ini memang sering macet, pengendara motor semakin ramai, ditambah besok weekend, jadilah hampir satu jam sampai di rumah.
Akhirnya sampai juga di depan rumah bertepatan dengan azan Maghrib. Lampu teras dan ruang tamu masih belum nyala, padahal rumah tetangga kiri dan kanan kosong sehingga satu baris yang hanya terdiri dari tiga rumah itu terlihat gelap. Kebetulan kontrakan kami berada di gang paling ujung, hanya ada tiga rumah dan disamping kontrakan kami sudah kosong sejak awal kami ngontrak.
"Assalamualaikum," aku mengucapkan salam sambil membuka pintu. Hanya dalam hitungan detik terdengar suara tangisan bayi kembar, sepertinya mereka kaget dengan suara jeritan pintu depan yang memang selalu berbunyi jika dibuka tutup sebab engselnya terlanjur berkarat. Dari informasi yang kami dapatkan dari pemilik rumah ini, tiga rumah kontrakan ini semuanya milik satu orang, memang sudah cukup lama kosong, mungkin sekitar tiga atau empat tahunan. Makanya tak terurus. Itu juga sebabnya, harga kontraknya murah. Hanya tiga ratus ribu satu bukan untuk rumah tipe tiga puluh enam. "Eh, dedek nangis ya?" kataku, saat mengintip dari pintu kamar yang setengah terbuka. Tampak Jihan sedang menggendong satu bayi, satunya lagi menangis di kasur. "Sini sini sama papa." Aku bersiap mengangkat bayi kembarku yang satunya, tapi segera dilarang Jihan.
"Jangan gendong Dira, bang. Abang kan baru pulang, baru dari luar, baju dan tangannya masih kotor. Mandi dulu sana, sekalian salat, lalu bantuin sama aku." kata Jihan, sembari mengganti posisi Bila agar adik kembarnya bisa digendong sekali dua.
Aku tak bisa berkata apa-apa selain menurut sebab yang dikatakan Jihan benar. Bahaya sekali memegang bayi yang usianya baru dua bulanan dengan kondisi baru dari luar sepertiku. Untuk urusan ini Jihan memang paling detail, ia tak pernah mau kecolongan demi kesehatan anak-anaknya, apalagi sebelumnya kami pernah kehilangan bayi pertama kami karena virus.
"Ya udah, abang mandi dulu ya dek, titip Nabila dan Nadira sebentar." kataku, lalu cepat-cepat mengambil baju ganti sebelum ke kamar mandi sebab kalau sudah sibuk dengan bayi kembarnya, Jihan biasanya akan susah membantu mengambil pakaian ganti untukku meski sebenarnya ia tetap ringan tangan mengurus segala keperluanku.
Usai mandi dan salat, aku kembali masuk ke kamar. Di sana sikembar sudah tertidur pulas. Saat aku ingin mencium pipi mereka yang sudah mulai chuby, Jihan langsung melarang sebab khawatir anaknya terbangun karena aku kalau sudah gemas biasanya tak bisa membatasi diri.
"Ya sudah, kalau enggak boleh nyium anaknya, mamanya aja deh," kataku, berangsur hendak memeluk Jihan, tapi ia mengelak.
"Jangan bang, aku belum mandi sejak pagi. Masih bau ompol bayi." katanya. Ia menunjukkan beberapa titik di daster yang sudah diompoli anak-anak kami. Tapi aku tak peduli, tetap memeluknya erat dari belakang hingga tiba-tiba pelukanku terlepas.
"Dek, kamu kena poop bayi kita ya?" aku menunjuk bekas buang air besar bayi di bagian samping dasternya.
"Astagfirullah, maaf bang. Maaf. Aku malah nggak tahu kalau bajunya sekotor ini." Jihan langsung kelabakan, ia hendak menghapus kotoran yang ada di bajuku, tapi aku elakkan. "Bang, maaf ya." wajahnya berubah cemas.
"Enggak apa-apa, itu tandanya kita harus mandi lagi. Berdua!" aku mengerlingkan mata. Jihan tersipu malu, tapi belum sempat rencana kami terealisasi, sikembar sudah menangis lagi. Aku jadi harus bergantian dengan Jihan, ia mandi sementara aku ganti baju karena kotoran bayinya hanya menempel sedikit, itupun belum bau sebab sikembar masih full asi dengan ibunya.
***
Aku menatap Jihan tanpa kedip saat ia menghabiskan semua martabak dan terang bulan yang ku beli. Benar-benar tanpa sisa. Setelah semua ludes barulah ia memperhatikan aku yang duduk di hadapannya.
"Lapar?" tanyaku.
"Iya bang, maaf ya martabaknya aku habiskan, soalnya sejak pagi belum makan, cuma sempat minum susu yang tadi pagi Abang buatkan. Seharian ini Nabila dan Nadira rewel, aku nggak tega membawanya keluar untuk belanja sayuran, makanya pasrah saja.." kata Jihan.
Di perumahan ini memang tak masuk penjual sayur karena hanya beberapa rumah yang terisi, itupun jaraknya berjauhan. Kalau mau belanja harus keluar rumah, jaraknya lumayan kalau jalan kaki. Biasanya kami belanja di akhir pekan, tapi pekan lalu aku tak sempat mengantarkannya sebab ada pekerjaan tambahan yang harus selesaikan. Jadilah kalau ingin mendapatkan bahan masakan Jihan harus keluar perumahan dengan jalan kaki karena kami tak punya kendaraan lain selain motor tuaku. Biasanya satu bayi digendong, satunya lagi ditaruh di kereta dorong.
"Dek, maafin Abang ya." kataku.
"Kenapa bang? Abang nggak salah apa-apa lho. Kenapa minta maaf?" tanyanya.
"Sebab Abang sudah membuat hidupmu susah. Harusnya kamu bisa hidup lebih baik, tapi karena menikah dengan Abang, kamu harus menjalani kehidupan seperti ini " Aku memegang kepala Jihan, mengusapnya pelan.
Perempuan ini, meski baru menikah selama dua tahun denganku, tapi baktinya sangatlah luar biasa. Ia rela hidup susah demi membersamai aku. Tak pernah sekalipun aku mendengar lisannya mengeluh. Padahal sebelumnya hidup Jihan sangatlah sempurna. Ia terlahir dari keluarga berada, putri satu-satunya dengan dua saudara laki-laki. Ia berpendidikan tinggi dan sebelumnya punya karir yang bisa dikatakan gemilang. Namun semua ditinggalkan Jihan demi berbakti padaku. Ia merelakan masa depan cerahnya demi hidup dengan laki-laki yang masih meraba-raba masa depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Yayat Nurhayati
aku suka cerita yg setia sama pasangannya, menghargai istri, semoga di cerita ini ga da pelakornya.
2023-02-02
1