Alhamdulillah Naik Jabatan

Krucuk krucuk krucuk. Suasana sedang syahdu karena pembicaraan kami yang mengharu harus berganti dengan aku yang tersipu malu sebab ketahuan sedang kelaparan juga, sementara Jihan merasa bersalah sebab sudah menghabiskan semua martabak yang ku bawa. Ia yang sedang menyusui, apalagi anak kembar memang nafsu makannya naik berkali-kali lipat sebab setiap satu jam sekali harus berbagi pada anak-anak. Ibaratnya makan untuk tiga orang, jadi wajar kalau semuanya dihabiskan tanpa babibubebo.

"Aduh bang, maaf banget ya. Aku benar-benar tidak peka. Suami belum makan malah dihabiskan. Padahal enggak ada nasi juga." Jihan tampak sedih. "Abang pasti akan susahbtidue malam ini karena Abang kan nggak bisa tidur kalau kondisinya sedang lapar."

"Enggak apa-apa, Abang tahan-tahanin saja. Yang penting kamu sudah kenyang jadi kebutuhan susu anak-anak aman." Kataku, pura-pura tegar padahal gelisah juga. Seperti yang dikatakan Jihan, aku memang paling tidak bisa kalau kelaparan. Biasanya akan susah tidur jika perut dalam keadaan kosong. "Memang sudah benar-benar tidak ada bahan makanan dek?" tanyaku, setelah perut kembali berdendang keroncong.

"Ada mi instan. Abang mau? Masih sisa dua bungkus. Aku bikinin ya." Jihan bergegas menuju dapur kami, dari suara kompor yang dicetek jelas kalau ia sudah mulai memasak. Lagi-lagi aku harus bersyukur punya istri segesit Jihan. Ia begitu peka dengan kondisi suaminya. Selalu berusaha melakukan yang terbaik.

Tak berapa lama, aromanya mulai tercium. Jihan datang dengan nampan berisi dua mangkok mi rebus ditambah telur setengah matang dan irisan cabe rawit. Ia menyajikan tepat di hadapanku.

"Silakan bang," katanya. Satu mangkok di dekatkan padaku, satunya lagi ditariknya.

"Lho, kamu mau makan juga, dek?" tanyaku.

"Hah?" Jihan terdiam. "Iya bang." ia menundukkan kepalanya.

"Eh maaf sayang, tadi itu ... maksudnya Abang, kamu kan sudah makan martabak dan terang bulan. Tapi enggak apa-apa sih. Aduh, gini lho sayang, Abang nggak masalah kamu makan lagi, hanya tercengang dengan porsi makan kamu. Tapi Abang senang setiap makan ditemani seperti ini. Abang hanya nggak mau kamu makan terpaksa demi menemani Abang. Tapi kalau kamu memang benar-benar lapar Abang malah senang banget." aku yang khawatir ia tersinggung jadi bicara ngelantur. Aku pernah baca kalau hormon Perempuan menyusui itu belum sepenuhnya kembali normal seperti sebelumnya, bisa sensian juga seperti saat masih hamil. Makanya, aku benar-benar menjaga. Supaya ia tak kepikiran lalu berpengaruh pada ASI-nya. Tadi keceplosan hanya karena kaget saja. Selama ini aku tak terlalu perhatian dengan makannya selama masa menyusui ini, sebab kesibukan di kantor. Sebelumnya makan Jihan normal-normal saja, malah belum pernah aku lihat ia bisa menghabiskan martabak sebanyak itu sendiri sekali duduk. "Sayang, kok diam? Adek marah ya?" tanyaku.

Jihan mengangkat kepalanya, lalu tersenyum. Senyumnya seperti terpaksa. "Hehehe, enggak kok bang. Maaf ya kalau aku makannya banyak. Juga tambah gendut ya, bang. Tapi sekarang aku belum bisa diet, bang. Maaf ya. Jadi bulet begini. Aku takut kalau membatasi makanan nanti ASI-nya kurang. Sikembar lagi berjuang naik berat badan. Maaf ya bang kalau enggak sedap di pandang mata." ia mengucapkan maaf berulang kali sehingga membuatku makin tak enak hati. "Aku juga sebenarnya awalnya bingung bang, kok nafsu makannya naik berkali-kali lipat begini. Bahkan jadi begitu ganas. Tapi kata dokter waktu kita check up anak-anak itu wajar sebab bayi kita kan dua, bang."

"Hehehehe, enggak apa-apa kok dek. Abang malah senang kalau kamu makannya banyak. Berarti memang benar Allah kasih kita rezeki tambahan. Ngasihnya di waktu yang tepat lagi. Beruntung Abang punya istri saliha seperti kamu yang doanya diijabah dengan cepat oleh Allah." Kataku.

"Memang ada apa, bang?" ia menatapku bingung. Wajar, dari makan banyak tiba-tiba bertambah rezeki.

"Dek, tahu tidak. Abang naik jabatan. Abang yang sebelumnya cuma staff biasa naik dua tingkat. Sekarang Abang jadi manager. Terus, gaji Abang yang awalnya cuma tiga juta sekarang jadi lima belas juta. Bayangkan dek, baiknya Allah sama kita. Itu pasti karena doa-doa adek. Allah tahu, adek dan anak-anak butuh makan yang cukup dan bergizi, makanya dikasih tambahan dana untuk kita." kataku, dengan mata berkaca-kaca.

Sejak menikah dengan Jihan, aku memang merasa hidup ini jauh lebih beruntung. Banyak hal positif yang ia tularkan padaku. Mulai dari kebiasaan baiknya yang membuatku semula asal-asalan jadi beraturan sehingga hanya dalam waktu tiga tahun bisa naik jabatan cukup melejit. Ia juga membuatku merasa menjadi manusia yang lebih baik dan peduli dengan siapapun termasuk keluarga, padahal sebelumnya aku sangatlah cuek.

"Alhamdulillah. MashaAllah, Tabarakallah." Jihan berkaca-kaca. Ia begitu bahagia. "Selamat ya bang, Abang benar-benar hebat."

Aku tahu, selama ini ia pasti kesusahan mengatur keuangan keluarga kami yang pas-pasan. Nyaris tanpa tabungan, namun semuanya berhasil diatur sedemikian rupa agar cukup oleh Jihan. Ia benar-benar istri terbaik bagiku.

"Semua ini berkat doa kamu, dik. Kan kamu juga yang selalu menyemangati Abang. Kamu selalu menasihati Abang kalau sudah mulai agak-agak malas. Pokoknya ini semua buat kamu dan anak-anak sayang. Abang janji akan bekerja lebih giat lagi karena kedepannya, dengan posisi sebagai manajer maka akan banyak kesempatan untuk mencari tambahan, semoga hidup kita lebih baik ya." Kataku.

"Aamiin, bang." Jihan mengaminkan dengan kencang. "Oh ya bang, jangan lupa kabari ibu ya. Supaya kita selalu didoakan." Katanya lagi.

Aku mengangguk. Langsung mengambil Hp satu-satunya milik kami berdua yang ku bawa kemana-mana, sementara Jihan di rumah tanpa Hp. Sebenarnya ini Hp milik Jihan yang pada akhirnya aku pakai sebab Hp milikku hilang. Untuk mengganti baru kami belum punya uang. Semua dana kami habis terkuras untuk lahiran sikembar dan perawatan saat mereka baru lahir yang cukup memakan banyak dana.

Sikembar lahir dengan berat kurang dari dua kilogram. Mereka harus masuk ingkubator selama tiga harian. Untuk perawatan mereka kami harus bolak-balik. Saat itu kami benar-benar harus mengandalkan diri sendiri sebab berada di rantau dan jauh dari orang tua. Orang tua Jihan dan ibu baru datang di hari ketiga setelah lahir karena terkendala pekerjaan.

Dari kampung terdengar suara ibu begitu senang. Sama seperti Jihan, ibu juga beberapa kali mengucapkan syukur, bahkan sempat terdengar suara Isak tangis sebab anak ibu urakan ini akhirnya jadi orang juga. Bisa juga membuat harum nama keluarga.

"Ingat ya San, baik-baik. Jangan macam-macam. Jangan sombong. Tetap sayang sama istri dan anak. Kalau bukan karena doa mereka belum tentu kamu mendapatkan ini semua." ucap ibu, menyampaikan petuah panjang lebar. Aku menganggukkan kepala, mengaminkan semua doa dan nasihat ibu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!