Ica masih ada di sini. Ibu menahannya dengan alasan mengajak Ica makan siang sebab tadi Ica sudah ikut membantu Ibu menyiapkan makan siang. Tentu saja keputusan ibu membuatku jengkel, tapi tak enak juga membantah sebab ibu tak akan tinggal diam. Ibu akan membuat masalah baru lagi. Sumentara Ica, bukannya sadar diri bahwa kehadirannya membuat nyonya di rumah ini tidak nyaman, ia malah bertahan dan bersikap cuek sehingga membentukku makin tak enak hati pada Jihan. Baru saja bisa membawanya pulang, membuat suasana hatinya membaik, tau tau ibu membuat rencana seperti ini yang pastinya membuat Jihan tak nyaman.
"Tambah ya sayang, makan yang banyak supaya kamu segera pulih. Pasti sangat lelah sekali perjalanan tadi. Nanti aku sampaikan pijit ya." aku menyendoki nasi, sayur dan sepotong ayam ke piring Jihan yang terlihat sungkan di rumahnya sendiri sebab sejak awal mulai makan, hanya Ica yang diperhatikan oleh ibu.
"Enak sayur dan lauknya?" tanya ibu. "Itu masakan Ica. Dia jago masak juga ya. Ibu benar-benar nggak nyangka lho kalau nak Ica itu jago masak, padahal profesinya wanita karir. Sudah pintar nyari duit, pintar juga ngerjain pekerjaan rumah tangga." puji ibu yang pastinya membuat telingaku panas.
"Kalau Jihan nggak berhenti kerja, mungkin sekarang dia sudah jadi General Manager, Bu. Tapi Jihan memilih jadi ibu rumah tangga seperti permintaan suaminya untuk diam di rumah ngurus anak dan rumah. Meski begitu, Jihan juga luar biasa membuat Hasan bisa jadi manajer berkat doa dan bimbingannya." Kataku, memuji Jihan sambil mengelus punggungnya. "Oh ya, habis makan Hasan mau jalan-jalan sama Jihan dan anak-anak, kalau ibu masih mau nemanin Ica, Hasan tinggal ya. Kemungkinan Hasan pulangnya larut malam. Jadi ibu hati-hati di rumah." kataku, berharap Ica sadar diri bahwa keberadaannya sangatlah tidak diharapkan olehku dan Jihan.
Usai makan, Ica yang ingin mencuci piring segera di suruh pulang oleh ibu dengan alasan Ica pasti kelelahan karena seharian sudah menemani dan membantu ibu saat kami tidak di rumah. Rupanya ibu termakan juga dengan omonganku.
"Ibu itu ya ... jangan coba-coba begitu lagi sama Jihan. Ibu tahu kan artinya Jihan untuk Hasan. Lagian kalau ibu terus membanding-bandingkan Jihan dengan Ica, bisa-bisa Jihan marah dan efeknya adalah perpisahan. Ibu mau Hasan dan Jihan bercerai? Kalau iya, ibu akan sulit ketemu Nabila dan Nadira karena Jihan pasti akan membawanya pulang ke Sumatra!" aku agak mengancam ibu karena sikapnya benar-bemar keterlaluan.
"Eh, jangan begitu San, ibu nggak bermaksud membuat kalian berpisah. Ibu hanya ...." Ibu diam. "Ibu itu cuma kesal karena datang jauh-jauh malah nggak ketemu mantu dan cucu ibu, makanya ibu begitu. Maunya ibu itu, kalau ibu datang ya disambut."
"Bu, Jihan itu pulang kampung karena kedua orang tuanya meninggal dunia. Orang tuanya yang sudah melahirkan, membesarkan dan mendidik Jihan hingga ia menjadi istri yang luar biasa baik untuk Hasan. Hasan berhutang banyak kepada kedua orang tuanya. Harusnya kita membiarkan Jihan melepas rindu dan berbakti di akhir hidup orang tuanya." Kataku. "Lagi pula Hasan sudah bersalah Bu, harusnya Hasan mengantar Jihan pulang saat Hasan mampu, tapi Hasan malah mendahului keperluan ibu dan Hasan yang bukan pojok melainkan demi gengsi saja. Kita berdua sudah bersalah pada Jihan, jangan ditambahkan lagi dosanya Hasan bu, dengan membanding-bandingkan Jihan dengan Ica yang jelas-jelas nggak akan pernah sama. Jihan itu perempuan saliha. Ica, harusnya ia bisa menjaga diri karena ia tahu Hasan sudah punya istri!"
"Iya iya, Ibu tahu San, ibu minta maaf. Jangan sampai kalian pisan ya San. Ibu cuma bercanda." Ibu tampak menyesal, berjanji tak akan mengulanginya lagi.
***
Pulang dari masjid, aku mendapati Jihan dan ibu tengah mengobrol di meja makan. Jihan Nyambi memasak, sementara ibu sambil menikmati segelas teh hangat dan bolu yang kemarin kami bawa dari kampung Jihan. Pemandangan yang membuatku senang, juga bagi para suami saat istri dan ibunya akur dan punya hubungan dekat.
"Abang sudah pulang?" Jihan menyapaku, saat ia melihatku berdiri di depan pintu. Aku hanya tersenyum. "Sini bang, ngeteh dulu, sambil nunggu sarapannya Mateng." Jihan menyiapkan segelas lagi teh untukku, ia juga menghidangkan satu piring kecil bolu.
"Sikembar masih tidur?" Kataku.
"Iya bang, baru tidur lagi." Jawab Jihan.
"San, ibu sudah bicara sama Jihan, ibu mau pulang nanti sore." Kata ibu. "Uwak kamu lagi ada hajatan, ibu mau pulang duluan supaya bisa bantu-bantu. Jangan lupa kalian akhir pekan datang ya." Kata ibu, mengingatkan kembali tentang hajatan yang akan diadakan keluarga besar di kampung.
"Oh ya Bu, InshaAllah Hasan, Jihan dan anak-anak akan datang." Kataku.
***
Setelah ibu pulang, Jihan terlihat cemas sekali. Aku mengira ia masih kesal dengan ibu. "Maafkan ibu ya dik, ibu begitu karena cemburu sebab menantu kesayangannya nggak ada di rumah saat ia datang."
"Bukan itu, bang. Tapi ...." Jihan tampak ragu-ragu.
"Apa? Katakan saja dik."
"Tadi, sebelum pulang, waktu aku ngasih uang ongkos dan belanja bulanan untuk ibu, terus ibu bilang jangan lupa nyumbang untuk acara pesta anaknya Uwak. Yang membuatku bingung, ibu minta agar aku ngasih minimal sepuluh jutaan sebab ibu sudah menggadang-gadang ke uwak kalau Abang itu sudah sukses di Jogja. Padahal setahu aku, tabungan kita sudah habis untuk biaya mudik kemarin, juga keperluan beli mobil dan cicilan rumah ini, Jan, bang? Gajian juga masih lama. Uang yang Abang titipkan hanya cukup untuk biaya hidup kita hingga akhir bulan nanti."
"Ya Allah ibu ...." Aku ingin berteriak tapi tak enak pada Jihan. Untuk masalah perekonomian kami, ibu memang belum tahu kalau kami sedang pas-pasan karena memang seluruh uangku habis membeli kebutuhan aku dan ibu. Aku memang sengaja tidak menceritakan pada ibu karena itu rahasia rumah tangga kami, tapi ternyata ibu terlanjur beranggapan bahwa uangku sangat banyak. "Padahal mah gaji manager nggak seberapa, apalagi kita sudah punya banyak cicilan. Tapi kamu enggak perlu khawatir Dik, Abang yang akan hadapi ini semua." Kataku.
"Ya bang, tapi jangan sampai berselisih paham sama ibu ya. Bagaimanapun itu ibunya Abang." Nasihat Jihan.
Aku benar-benar beruntung mendapatkan istri seperti Jihan, meski ibu sudah membuatnya sakit hati, namun Jihan tetap baik pada ibu. mengingatkan aku tentang bakti, agar aku selalu menghormati perempuan yang melahirkan aku. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin aku mengharapkan perempuan lain. Bagiku, Jihan sudah sangat sempurna sebagai istri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments