Belanja Sayur Dan Ocehan Tetangga

Sabtu pagi, biasanya setelah salat Subuh aku lanjut tidur, tapi tak jadi karena melihat Jihan mondar-mandir di luar kamar. Terlihat sebab pintu dan tirai kamar terbuka lebar. Awalnya ia keluar membawa sampah, lalu menyapu, mengepel, kemudian terdengar suara air, sepertinya Jihan sedang mencuci kain secara manual sebab kami belum punya mesin cuci.

Salah satu dari sikembar tiba-tiba menangis, hanya dalam hitungan detik Jihan sudah berada di kamar, rupanya Nadira yang terbangun. Bayi itu sepertinya ngompol, dengan cekatan Jihan mengganti popoknya. Kedua bayi kembar kami kalau di rumah memang jarang memakai diaper karena kata Jihan pakai popok sekali pakai itu boros. Keuangan kami sebelumnya memang sangat pas-pasan sebab selain untuk menghidupi keluarga kami juga beberapa dikirim ke keluargaku.

"Sini, Dira sama Abang saja, dek." kataku, bangkit dari kasur lalu mendekati box bayi.

"Lho, Abang sudah bangun? Tangisan Dira kencang ya?" kata Jihan. "Maaf ya bang, sudah mengganggu Abang. Dira aku timang saja, paling sebentar lagi tidur." katanya.

"Oh ya udah, aku lanjutkan nyuci saja ya. Kamu belum selesai kan nyucinya?" kataku. Tanpa menunggu persetujuan Jihan, aku menuju kamar mandi, ada dua ember pakaian kotor masih menunggu diselesaikan, ternyata Jihan baru menyelesaikan satu ember.

"Bang, enggak usah. Biar aku saja. Sebentar lagi juga Dira tidur " Jihan menyusulku ke kamar mandi sambil menimang Dira.

"Enggak apa-apa, kalau Dira sudah tidur kamu ikutan tidur saja. Istirahat saja dulu, semalam kamu begadang lagi, kan? Siapa yang rewel, Nabila atau Nadira?" tanywku. Hari ini kan aku libur jadi bisa bantuin kamu." kataku, sambil mulai mencuci pakaian kotor yang sudah direndam oleh Jihan. "Dek, cucian kamu banyak juga ya?"

"Itu, kemarin aku nggak nyuci, bang. Enggak sempat. Biasalah, Nabila rewel. Enggak mau ditaruh. Untungnya Nadira anteng, jadi aku bisa gendong Nabila seharian."

Aku menatap wajah Istriku, pantas wajah yang dahulunya selalu berseri itu kini terlihat kuyu. Tidur saja dia kurang, badannya lelah bekerja seharian, menjaga anak kembar sendiri tanpa ada yang membantu memang benar-benar menguras energi, ditambah ia sekarang sudah tidak pernah pakai scincare lagi, ya lagi-lagi alasannya karena perekonomian kami belum stabil. Lebih besar pengeluaran untuk kebutuhan wajib ketimbang masukan, bagian keuangan yang memegangnya pastilah pusing mengatur uang keluar.

"Ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu di kamar sama anak-anak karena nanti jam delapanan aku mau ngajak kalian jalan-jalan." kataku. Mungkin karena terlalu lelah, akhirnya Jihan menurut juga, ia kembali ke kamar. Sementara aku melanjutkan cucian kain.

Lelah, benar-bemar lelah rasanya badan ini. Usai menyelesaikan cucian kain, aku lanjut mencuci piring yang juga tak kalah banyak menumpuk. Rasanya merasa sangat berdosa sekali sudah melepaskan semuanya pada Jihan tanpa pernah peduli sebelumnya. Ia pasti sangat lelah. Apalagi dahulu saat baru tiga hari pulang dari rumah sakit, saat ibu dan orang tua Jihan belum datang membesuk, semuanya dikerjakan oleh Jihan sendiri karena aku harus masuk kerja usai cuti tiga hari. Aku benar-benar penasaran, bagaimana ia bisa menyelesaikan semuanya sendiri tanpa pernah mengeluh.

"Sayang, maafkan aku," aku berhenti sejenak di depan pintu kamar, melihat Jihan terlelap bersama Nadira, sementara Nabila ada di box bayi. Buru-buru ku jemur pakaian diluar, lalu segera keluar rumah untuk berbelanja sarapan.

Motor tuaku melaju menuju depan perumahan, sepagi ini sudah banyak pedagang sayur yang nongkrong di sana dengan berbagai dagangan mwr ka. Awalnya aku hanya ingin membeli dua bungkus bubur ayam untuk kami sarapan, tapi melihat sayuran di gerobak, aku jadi ingat kalau kulkas kami sudah kosong, makanya aku langsung menghampiri pedagang, ikut mengantri bersama ibu-ibu di sana.

Dua ikat bayam, kangkung, tempe, tahu, cabe, rawit, bawang merah, bawang putih, tomat, ikan kembung, ikan lele, ayam setengah kilogram, hati sapi setengah kilogram, wortel dan toge satu bungkus. Semuanya adalah belanjaan yang aku pilih. Sebenarnya aku tak terlalu asing dengan dunia belanja seperti ini sebab waktu masih kuliah aku memasak untuk menghemat biaya makan, makanya belanja di tempat seperti ini seperti sedang bernostalgia untukku.

"Ckckckck, ini pak Hasan bukan ya? Suaminya mbak Jihan? Enggak nyangka ya kalau pak Hasan luwes juga belanjanya. Suami saya saja yang sudah sepuluh tahun menikah sampai sekarang belum mengerti kalau disuruh belanja." kata seorang ibu-ibu yang ternyata adalah tetangga blok kami. "Saya itu sering ngelihat mbak Jihan kerepotan mengurus bayi kembarnya, apalagi kalau sudah bolak-balik bertiga, sampai-sampai kita ibu-ibu bertanya-tanya, ini suaminya kenapa enggak bantuin? Paling tidak sewa pembantu. Kaishan, waktu itu baru-baru lahiran sudah keluyuran kemana-mana nyari sayur untuk dimasak, padahal kan jahitannya belum kering. Kalau kata orang tua pamali keluar-keluar sebelum empat puluh hari." ia berbisik padaku. "Sebenarnya saya pengen bantuin mbak Jihan, tapi ya rumahnya beda blok, mau diajak belanja bareng juga sayanya di bonceng suami, kan nggak mungkin ya mas saya ajak sekalian juga. Tapi untungnya mas sekarang bantuin. Lain kali kalau sedang repot dicarikan pembantu saja, mas. Supaya mbak Jihan enggak terlalu berat."

Rasanya tertampar dengan celotehan ibu tersebut, tak peduli apa niatnya, entah baik atau mau julid, tapi yang jelas apa yang dikatakannya benar. Selama ini Jihan memukul semuanya sendiri, apalagi rumah kami jauh, tapi dia harus menahan semuanya. Kalau aku tak bisa dimintai tolong. Jihan juga pasti kesepian sebab kami tak punya tetangga. Aku jadi bertekad untuk membawanya pindah saja, bulan depan gajiku sudah lima belas juga. Rasanya tak akan berat mengontrak rumah yang lebih baik lagi

"Terimakasih ya Bu sudah berbagi cerita. Semoga saja bisa memperbaiki semuanya, membantu Jihan agar tak repot sendiri." Kataku, lalu buru-buru pulang.

Sepanjang jalan, aku ingin menangis. Baru terbayang sekarang, Jihan yang belum sembuh betul luka jahitannya harus mengalami semua itu. Aku ingat benar, sepekan setelah lahiran, saat kami kontrol ke bidan, Jihan sempat mengalami pendarahan. Bidan sampai mewanti-wanti agar ia tak banyak gerak sebab khawatir jahitannya lepas. Jangan-jangan gara-gara ia jalan kaki saat itu.

"Astagfirullah, dosa sekali kamu San, Hasan. Istrimu sudah berjuang melahirkan anakmu tapi kok ya otakmu nggak nyampe untuk membahagiakan dia!" Aku merutuki diri sendiri. Betapa egoisnya aku, pulang kerja bukannya berusaha membantunya malah enak-enakan tidur karena merasa lelah, padahal Jihan tentunya lebih lelah lagi karena ia bekerja tak hanya dari pukul delapan sampai lima sore dan lima hari kerja, tapi dua puluh empat jam. Dari pagi ketemu pagi. Senin sampai Ahad!

Terpopuler

Comments

Yayat Nurhayati

Yayat Nurhayati

selalu berfikirlah seperti itu hasan, istri juga perlu waktu istirahat.
cape kerja di kantor ga seberapa di banding pekerjaan rmh yg ga abis2.

2023-02-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!