Sabtu pagi; aku, Jihan dan sikembar melaju menuju kampungku yang hanya butuh waktu tiga jam di perjalanan. Kami berangkat pukul lima pagi, usai salat Subuh agar bisa membantu-bantu persiapan acara pesta besok.
Biasanya, kalau di kampung kami, setiap ada acara, maka semua persiapannya dilakukan secara gotong royong keluarga besar dibantu tetangga kiri dan kanan. Mulai dari merias rumah dan mendirikan tenda yang disewa, menyiapkan hidangan berat dan makanan ringan yang dimasak secara bersama-sama oleh kaum ibu-ibu, bahkan bapak-bapak pun ikut membantu.
Di pasar dekat kampungku, Jihan singgah sebentar untuk membeli oleh-oleh sebab kami tak sempat berbelanja di Jogja karena aku bekerja penuh dari Senin sampai Jum'at, baru pulang malam hari. Sementara tadi kami berangkat pagi-pagi. Jihan pergi hampir setengah jam, ia kembali membawa dua kantong belanjaan cukup besar. Katanya, ia membeli makanan kecil, bolu juga buah-buahan.
"Semoga saja ini cukup ya Bang," kata Jihan. Ia masih takut-takut dengan tanggapan ibu nantinya mengenai sumbangan yang sudah ditentukan ibu. Padahal sudah ku katakan kalau aku yang akan menanggung semuanya. Termasuk kalau ibu marah sebab memang aku yang bertanggung jawab pada keluarga ini.
"Sudah terlalu banyak itu Dik." Kataku, sambil mengambil satu bungkus surabi, jajanan kesukaanku waktu kecil, lalu memakannya sambil menyetir mobil, melanjutkan perjalanan menuju rumah orang tuaku yang tunggal beberapa kilometer lagi
"Om Hasan sudah datang. Om Hasan sudah datang!" Kata anak-anak sepupuku yang tinggal di sekitar rumah ibu. Memang, kebanyakan tetangga kiri kanan rumah ibu masih terhitung saudara. Dahulunya, kakekku dan saudara-saudaranya yang tinggal di sini, kama-lama digantikan oleh anak dan cucu mereka.
Aku dan Jihan menyalami satu-persatu anggota keluarga besar kami. Mulai dari tetuah yang masih menetap di sini hingga sepupu-sepupuku yang merantau di beberapa kota, termasuk yang dari Jogja namun kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.
"Wah, sekarang kamu sudah sukses ya San. Sudah jadi manager, bisa beli mobil, punya rumah yang besar dan bagus, merenovasi rumah ibumu dan juga membeli sawah. Luar biasa sekali. Kalau anak-anakku lulus kuliah, tolong bantu masukkan kerja di kantormu ya San. Aku juga ingin anakku sesukses kamu." Kata salah seorang sepupuku.
"Iya, Hasan yang sekarang sudah berbeda dengan Hasan yang dulu. Sekarang sudah kaya raya. Lihat saja, pulang kampung pakai mobil. Padahal dulu bayar uang kuliah saja suka nunggak, nggak sia-sia bapakmu berhutang ke ibuku untuk membayar biaya kuliahmu San. Bapakmu pasti bangga di alam kubur sana. Hahaha." sepupu yang lain menimpali sambil tertawa.
Usai beramah-tamah; aku, Jihan dan anak-anak langsung ke rumah ibu yang berjarak dua rumah untuk istirahat sebab si kembar sudah mulai rewel karena lelah di perjalanan. Mereka butuh berbaring untuk meluruskan badannya. Sumentara itu, ibu masih di rumah Uwak, menyelesaikan membantu masak-masak. Mungkin, karena lelah perjalanan di tambah sepekan ini lembur, akhirnya aku tertidur. Begitu juga dengan Jihan yang niat awalnya mau menidurkan Nabila dan Nadira malah ikut tertidur juga sebab ketika aku lembur maka benar-bemar tak ada orang yang membantunya di rumah. Semua dilakoni sendiri.
"San ... San ... Hasan!" ibu mengguncang-guncang lenganku agar terbangun. Kepalaku sampai pusing, muter, karena kaget. "Bangun San, pakde mau minjam mobil kamu, katanya mau belanja ke kota. Masih ada yang harus dibeli."
Dengan terseok-seok aku mengambil kunci, menyerahkannya pada ibu. Tak berapa lama, ketika aku hendak melanjutkan tidur, ibu kembali lagi.
"Hasan, jangan tidur dulu. Lagian kalian ini pulang kampung malah berkurung di kamar. Padahal di luar banyak saudara-saudara yang datang. Mereka mau ketemu kamu San. Keluar dululah, sapa mereka. Kalau begini nanti kamu dikira sombong lho!" cetus ibu.
"Iya Bu, maaf. Hasan kecapean. Sepekan ini lembur." Kataku. "Sebentar lagi Hasan ke sana."
"Sekalian berikan sumbanganmu pada Uwakmu, San. Sudah ditunggu-tunggu. Sebenarnya mau dipakai kemarin untuk belanja sapi, tapi Uwakmu ngutang dulu. Selepas kamu pulang baru dibayar."
"Bu, Hasan nyumbangnya segini saja ya." Kataku, sambil mengambil amplop yang memang sudah aku siapkan.
Ibu dengan sigap mengambil dan membuka amplop itu. Ketika melihat lima lembar ratusan ribu, mata ibu terbelalak. "Apa ini, San? Lima ratus ribu? Kamu bercanda? Uang segini mana dapat sapi, San. Paling murah harganya sepuluh juta, itu pun sudah dikorting mati-matian sama penjualnya karena kenal dengan pakde kamu."
"Uang Hasan hanya ada segitu, Bu."
"Ya ampun Hasan, jangan bercanda ya kamu. Kalau cuma segini mending kamu nggak usah pulang sekalian, Hasan. Ibu sudah bilang ke uwak dan saudara-saudara kita yang lain kalau kamu akan nyumbang sepuluh juta."
"Ya ibu kenapa juga bilang begitu. Kenapa enggak tanya Hasan dulu, mampunya berapa."
"Aku sudah bilang ke istrimu. Mana si Jihan? Bangunkan dia! Jihan .... Jihan .... Jihan!" seperti orang kesurupan, ibu masuk ke kamar, membuat Jihan yang sedang tertidur pulas langsung bangun, diikuti suara tangis bayi kembar kami yang menangis sahut-sahutan. "Jihan, apa yang ibu katakan padamu sebelum pulang? Ibu suruh kamu sampaikan pesan kepada Hasan untuk nyumbang sepuluh juta, kan? Kenapa enggak kamu sampaikan? Kamu itu ya, kenapa sih sekarang jadi menantu suka membuat mertuanya kesal. Kemarin pulang akhir-akhir hingga aku harus menunggu lama, sekarang, pesanku tak kamu sampaikan pada anakku. Padahal cuma itu pesannya dan sulit sekali kamu menyampaikan. Atau kamu memang sengaja, kamu enggak mau duit Hasan di pakai untuk keperluan keluarga kami. Iya, kan? Jangan begitu. Kamu itu baru bersama Hasan beberapa tahun sementara kami keluarganya sudah puluhan tahun!" Ibu marah, menuduh Jihan yang tidak-tidak.
"Bu, jangan begitu bicaranya. Ibu kan sudah janji nggak akan menyakiti hati Jihan lagi. Lagipula Jihan sudah menyampaikan semua pesan ibu pada Hasan. Hanya saja Hasan benar-benar belum punya uang. Maafkan Hasan, Bu " kataku, sambil jongkok di hadapan ibu agar resa amarah ibu.
"Pokoknya ibu enggak mau tahu, kamu harus ngasih sepuluh juta. Segera ambil di tabungan kamu, San!" Perintah ibu.
"Bu, Uang Hasan benar-benar sudah nggak ada. Terakhir untuk ongkos ke Sumatra." Kataku, menjelaskan kondisi kami pada ibu.
"O, jadi kalau untuk bolak-balik kampungnya Jihan kamu ada uang, giliran untuk saudara kita enggak ada? Kamu ya, San. Ibu curiga, jangan-jangan kamu bagi-bagi uang ke keluarga Jihan atau kenduri ibu bapaknya kamu yang bayari ya? Benar begitu Hasan? Jadi kamu lebih mementingkan mereka ketimbang keluarga Kuta? Terlalu kamu Hasan!" ibu menunjuk-nunjuk wajahku. Marah seperti orang kesetanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments