"Dik, kamu kenapa sih? Beberapa hari ini Abang perhatikan kamu sedih terus. Matanya sembab. Setiap salat pasti nangis. Kenapa sih? Cerita sama Abang, dik. Jangan disimpan semuanya sendiri. Kita kan sudah punya rumah dan mobil baru. Apa kamu enggak senang dengan pencapaian kita?" tanyaku, saat makan malam bersama Jihan.
"Enggak apa-apa, bang." Kata Jihan, sambil cepat-cepat makan dengan alasan takut sikembar menangis.
"Baiklah, kalau kamu enggak mau cerita. Tapi Abang tahu kalau kamu menyimpan sesuatu. Kamu kan istri, dik. Enggak boleh menyembunyikan sesuatu lho." Aku sengaja mendesak sebab penasaran dengan isi hatinya.
"Aku rindu orang tuaku, bang. Terutama Mama." katanya.
Aku menelan ludah. Duh, kalau masalah ini harusnya tidak aku pertanyakan pada Jihan sebab ujungnya ia akan minta pulang, padahal sekarang uangku sudah sangat menipis, ditambah cicilan rumah dan mobil tiap bulan yang wajib dibayarkan.
"Bang," ia membuyarkan lamunanku.
Suara tangisan salah satu dari sikembar menyelamatkan aku dari harus menjawab Jihan. Aku menarik nafas lega saat ia berlari tergopoh-gopoh ke kamar.
***
Entah sudah jam berapa ini, suara seseorang membuatku terjaga.
Jihan, yang sedang tertidur di sampingku mengigau. Sepertinya ia bermimpi. Suaranya terdengar pelan namun jelas. Ia berbicara sambil menangis.
"Ma ... Jihan rindu. Maafkan Jihan yang belum bisa pulang. Bahkan saat lebaran juga Jihan belum bisa ketemu Mama. Juga ketika Mama sakit, masuk rumah sakit, Jihan nggak bisa jagain Mama. Maafin Jihan." kata Jihan dengan air mata mengalir.
Melihatnya seperti itu membuat hatiku teriris. Sedih sekali rasanya melihat istriku menahan rindu.
Dari cerita yang ku dapat saat akan melamar Jihan, ia memang putri kesayangan karena anak perempuan satu-satunya. Ia juga sebenarnya susah jauh dari orang tuanya. Makanya saat kuliah dahulu, sekali tiga bulan orang tuanya datang membesuk. Atau ia yang pulang. Saking tak bisanya menahan rindu. Sekarang, memasuki tahun ketiga pernikahan kami, sejak aku membawanya kembali ke Jogja, di kota tempat aku bekerja, aku malah tak pernah mengembalikan Jihan lagi.
Tahun ini akhirnya ia mau mengatakan keinginannya juga setelah merasa keadaan memungkinkan.
Begitu baiknya Jihan, ia benar-benar memikirkan perasaan suaminya, tapi aku malah egois, menunda-nunda keinginan Jihan, bahkan sudah menjanjikan namun mengingkari.
"Maafkan aku sayang," kataku. Menyeka air mata Jihan. Kalau aku di posisi Jihan, akupun gak akan bisa jika tak bertemu dengan ibu. Setahun saja rasanya benar-benar menyiksa, apalagi Jihan yang sudah masuk tahun ketiga. "Sayang, sayang, sayang." aku mengguncang pelan tubuhnya sebab tak tega melihatnya menangis dan semakin sendu. Ia sampai terisak-isak. Sungguh kasihan kamu istriku, menikah dengan lelaki yang bodoh seperti aku. Aku menyesali diri.
"Bang," Jihan yang sudah terbangun segera menghapus sisa air mata. Ia masih kebingungan.
"Kamu mimpi ya?" kataku. Ia diam. "Pasti sudah sangat rindu ya? Maafkan Abang dik," kataku sambil menatap kedua netranya yang sembab.
Tiba-tiba tangis Jihan pecah. Ia menangis. Aku memeluknya. Ia menangis dalam pelukanku. Ku biarkan ia menumpahkan segala kesedihannya.
"Abang minta maaf dik," kataku.
"Enggak bang, Abang nggak salah apa-apa." katanya dengan suara bergetar.
"Abang salah, sudah janji tapi ingkar. Bukannya mengabulkan keinginan kamu malah mengambil mobil." katanya lagi.
"Bang, boleh tidak mobilnya dikembalikan saja?"
"Dek, kalau saja uangnya dikembalikan akan Abang pulangkan mobilnya, tapi DP dan angsuran pertama tak akan kembali. Maafkan Abang dek."
Jihan menangis.
"Sabar ya dek." kataku. Sebenarnya aku malu mengatakan itu sebab selama ini Jihan sudah sangat sabar, aku yang tak sabaran. Bukannya menepati janji malah membeli mobil. Benar-benar tidak bisa membahagiakan istri! Aku mengumpat.
"Perasaanku nggak enak Bang." kata Jihan. "Aku ngerasa kangen banget. Kayak akan terjadi hal buruk."
"Astagfirullah, istighfar dek."
"Bang, pulang yuk." katanya lagi. "Kemarin waktu aku nelfon Mama, rasanya beda."
"Dik, Abang janji sesegera mungkin akan mengajak kamu pulang. Abang akan cari tambahan. Kamu sabar ya." pintaku.
Jihan diam. Ia lalu berbaring, membelakangi aku. Tak lama terdengar suara Isak tangis. Makin lama makin terdengar jelas.
Aku hanya bisa memaki diri sendiri. Menyesali kelemahan ku. Ego yang teramat besar ini.
***
Esok paginya, sekembalinya dari masjid, aku mendapati Jihan masih di atas sajadah. Ia tampak berdoa dengan khusyuk, tentunya sambil menangis. Melihat itu membuatku makin Bersalah.
"Sabarlah dik, sabar sebentar saja." pintaku dalam hati. Tak tega melihatnya seperti itu, akhirnya aku menghubungi Ica, mengabarkan bahwa aku setuju untuk melanjutkan kembali kerja sama kami yang sebelumnya sempat aku batalkan karena takut dengan apa yang diduga Bram. Kami janjian akan bertemu nanti saat jam makan siang di dekat kantor ku.
***
Suasana rumah rasanya berbeda. Jihan tak banyak bicara. Memang biasanya ia juga tidak cerewet, tapi kalau diajak bicara biasanya ia suka bercerita panjang lebar. Apalagi kalau sudah membahas anak kami. Tapi kali ini meski sudah aku pancing, jawabannya selalu pendek-pendek. Aku sangat yakin ia hanya sedang sedih saja.
***
Jam makan siang, aku bertemu juga dengan Ica. Mantan adik kelasku itu tampak senang sekali. Ia memberikan penawaran yang tinggi untuk kerjasama kami ini.
"Baiklah, paling lambat akhir pekan ini akan saya hubungi." kataku.
"Sip mas, aku tunggu ya." kata Ica.
"Sudah semua?" tanyaku, saat semua rasanya sudah selesai dibahas.
"Sudah." katanya lagi. "Oh ya mas, kapan-kapan ayo makan malam diluar atau nonton? Nanti aku kasih tahu deh bagaimana cara mendapatkan sampingan." katanya.
"Beritahu sekarang saja. Saya masih punya waktu lima belas menit lagi." kataku, sambil melirik jam tangan.
"Nggak cukup, mas. Butuh beberapa jam. Bagaimana kalau akhir pekan nanti sekalian mas nyerahin barang-barangnya. Bagaimana? Hitung-hitung refreshing."
"Maaf enggak bisa. Akhir pekan khusus keluarga. Saya juga harus membantu istri ngurusin anak "
"Wow, mas Hasan keren sekali. Benar-benar suami idaman."
"Idaman? masih jauh." kataku. Lha wong kemarin saja baru bikin istri nangis. Aku mengucapkan istighfar beberapa kali.
"Tapi segitu sudah keren lho mas. Mbak Jihan beruntung ya punya suami seperti mas Hasan. Kalau saja dulu mas Hasan ngomong jelas pasti aku enggak akan nolak." pembicaraan Ica mulai menjurus ke arah yang dikatakan Bram. Aku tak mau tergida, makanya buru-buru pamit tanpa peduli kalau ia masih ingin bicara.
Sebenarnya kemarin aku sudah memutuskan untuk tidak mengambil kerja sama dengan Ica karena khawatir dengan hal-hal seperti ini, Tapi karena Jihan ingin pulang kampung, aku tak punya pilihan lain sebab hanya ini opsi yang ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
kalea rizuky
jihan lebay q jg punya anak kembar tp gk lebay kek qm
2025-02-10
0