Setelah selesai makan, Jihan minta izin sebentar untuk berbelanja sabun, minyak telon dan kebutuhan sikembar. Sebenarnya ia mau belanja di toko grosir saja, tapi aku menyuruhnya dinsini saja sekalian belanja buah dan kebutuhan lainnya yang sudah habis di rumah. Tak lupa kuberi ia semua uang bonus yang tersisa agar Jihan bisa puas berbelanja tanpa memikirkan uang cukup atau tidak.
Sementara ia berbelanja, aku yang menjaga sikembar, tentu atas inisiatif aku juga. Satu digendong, satu ditaruh dalam stroller. Jihan meninggalkan dua botol Asip sehingga aku tak terlalu khawatir jika ia lama. Setidaknya aku sudah punya pegangan kalau bayinya menangis.
Sedang asyik menimang Nabila, tiba-tiba sebuah pukulan kecil mendarat di punggungku. Saat aku menoleh ternyata Bram, ia adalah teman kuliah sekaligus satu kantorku. Bram sedang jalan berdua dengan seorang gadis muda yang jelas-jelas itu bukan istrinya karena istrinya juga teman kami di kampus, yaitu Mega.
"Heh San, eh maksudku pak Hasan. Lagi ngapain?" Di kantor, saat ini jabatanku memang lebih tinggi dari Bram. Ia baru supervisor sementara aku adalah manager. Ia melirik dua bayi yang sedang aku kasus. "Wah wah wah, teladan sekali pak Hasan ini, ke mall bukannya senang-senang malah ngasuh anak. Benar-benar teladan. Pantas rezekinya bagus, famili man banget kamu." ia tertawa kecil.
"Apa sih, pak pak pak. Diluar kantor panggil Hasan saja." Kataku. "Lha kamu ngapain di sini?" Aku balik bertanya.
"Jalan dong. Aku mau nonton San. Ini, sama Cleo. Pacarku." ia mengerlingkan mata.
"Hus, enggak sopan ya kamu. Mega mana? Ingat Bram, kamu sudah punya anak!" entah bocah ini bicara jujur atau cuma bercanda, yang jelas aku tidak suka. Kalau benar ini pacarnya, sungguh terlalu Bram. Masa tega menduakan Mega, padahal jaman kuliah mereka bucin sekali.
"Mega di rumah jagain bayinya. Yaelah San, Senin sampai Jumat aku sudah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan Mega dan anak kami, Ahad besok aku akan membersamai mereka. Nah sekarang, biar aku senang-senang dulu. Pacaran. Supaya refresh otak ya, hatinya, matanya juga." ia kembali mengerlingkan matanya lagi
"Selingkuh kamu, Bram?" aku nyaris melotot. "Ingat dosa, Bram! Jangan dekati zina kalau enggak mau kena balasan dari Tuhan!"
"Halah San, enggak usah terlalu diambil serius. Ini cuma mainan saja, enggak diapa-apain kok. Cuma jalan, nonton, makan bareng, ya sedikit ciuman dan pegang-pegangan lah. Sudah deh, begitu saja."
"Sama saja Bram. Dosa! Sudah, sana, segera pulang. Kasihan Mega." Kataku lagi, mengingatkan agar ia tak semakin jauh terjerumus. Tapi Bram malah keras kepala, tidak peduli sama sekali, malah menganggap ini adalah reward untuk dirinya karena sudah bekerja keras memenuhi kebutuhan anak dan istrinya. Ia malah balik meledek aku saat tahu kalau Jihan sedang berbelanja sementara aku disuruh jagain anak.
"Bukan istriku yang nyuruh, tapi aku yang mau!" kataku, membela Jihan karena memang begitu kenyataannya.
"Halah San Sah. Sama saja tho. Istrimu enak-enak shoping eh kamu malah disuruh jagain anak. Apes sekali nasibmu. Sudah jadi manager di kantor, eh di rumah dijadikan baby sitter. Jangan-jangan kerjaan rumah juga dilimpahkan ke kamu?" ia geleng-geleng kepala, puas membully aku. Meski begitu aku tak ambil hati, malah berharap benar-bemar bisa memberikan yang tebaik untuk Jihan. Kalau semua pekerjaan rumah bisa aku ambil alih, akan aku lakukan untuk menebus kekuranganku selama ini. Toh itu bukan kewajiban Jihan. "Sudah ya pak manager, aku mau naik dulu, mau nonton, nanti keburu filmnya tayang lagi. Oh ya, nanti kalau kamu mau cemceman juga jangan sungkan nanya. Enggak apa-apa sekarang sok-sok nggak mau, nanti juga bakal mau sendiri." Bram cengengesan, lalu ia berlalu bersama perempuan muda tersebut sambil berangkulan, Persia seperti dua jompo yang tak punya tenaga lagi sehingga harus saling rangkul. Kalau saja aku tak sedang menggendong Nabila, sudah ku pukul tangan mereka berdua agar menjauh.
Ckckckck, dunia benar-bemar sudah tua. Ada saja ujian yang Allah berikan. Saat sudah halal, sudah punya anak juga, bisa-bisanya Bram berselingkuh. Padahal ia terlihat sangat mencintai Mega. Dulu waktu kuliah mereka pernah putus satu kali, Bram sampai kehilangan selera makan, semangat belajar bahkan semangat hidup. Ia juga mengatakan lebih baik mati kalau tidak ada Mega, tapi sekarang yang terjadi sebaliknya. Benar-benar diluar pikiranku.
***
Minggu pagi; aku, Jihan dan kedua bayi kami jalan pagi keluar komplek. Sebenarnya aku mau lari pagi untuk membakar lemak, entah kenapa sekarang perutku sedikit buncit, mungkin karena selama ini pulang kerja hanya makan dan tidur, makanya aku request ke Jihan agar tugas mencuci diberikan kepadaku. Hitung-hitung olahraga.
"Abang beneran enggak apa-apa kalau harus ngerjain pekerjaan rumah? Kan Abang sudah capek kerja seharian." Kata Jihan, saat kami jalan menuju depan perumahan.
"Enggak apa-apa. Kamu juga pasti lebih capek. Abang cuma kerja dari jam delapan hingga jam lima sore. Senin sampai Jumat. Sementara kamu dua puluh empat jam, dalam sepekan. Jadi kamu yang paling capek. Makanya Abang mau meringankan beban kamu." Kataku
Jihan tersenyum.
"Kok senyum-senyum?" Tanyaku.
"Enggak apa-apa, terharu saja diperlakukan seperti ini sama suami." Ia masih tersenyum. Melihat wajahnya membuatku jadi semakin gemas. Ahhh berdoaanya aku sebab kemarin-kemarin sudah membuat senyum itu hilang, padahal Jihan tambah cantik kalau tersenyum.
Seperti yang sudah aku ikrarkan, nyuci kain dan ngepel sekarang jadi tugas rutinku. Kadang pekerja lain juga aku lakukan agar meringankan beban Jihan. Menjaga anak kembar bukan hal yang mudah, butuh tenaga lebih, kesabaran lebih dan juga waktu yang lebih juga. Makanya harus ada tim yang solid agar ibu tak mengalami Baby blues.
***
Jam istirahat kantor, aku yang semula ingin makan bekal yang dibuatkan Jihan, terpaksa nengundur niatku sebab ada teman dari perusahaan lain yang bertamu. Rupanya ia tahu posisi terbaruku sebagai manager. Aku yang bertanggung jawab mengadakan pengadaan barang ditawarkan job tambahan. Mengadakan barang-barang untuk perusahaan mereka. Memang masih kecil, tapi keuntungannya cukup besar. Kalau aku hitung-hitungan, sekali transaksi untungnya bisa puluhan juta. Aku tersenyum lebar menerima tawaran itu, tapi senyumku langsung hilang saat tahu bahwa yang akan menjadi wakil mereka adalah Ica, ia dahulu adik kelasku di kampus, salah satu mahasiswi yang aku taksir selain Jihan.
"Duh enggak nyangka akhirnya ketemu lagi sama mas Hasan, mas Hasan benar-benar hebat ya, baru beberapa tahun sudah jadi manager, gajinya pasti besar." Ica memujiku. Anak itu masih sama seperti dahulu. Cantik, enerjik dan selalu ceria. "Oh ya, apa kabar mbak Jihan, mas?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments