Mesin motor tuaku sengaja ku matikan saat berada di depan halaman rumah. Aku menuntun pelan memasuki pekarangan agar tak membangunkan Jihan dan anak-anak, tapi ternyata tiga orang yang amat ku sayangi itu sudah bangun. Jihan baru saja memandikan anak-anak.
"Lho, enggak jadi tidur dek?" tanyaku, sambil membawa tentengan belanjaan.
"Nabila nya keburu bangun, bang." kata Jihan. "Terus ngebangunin Nadira juga. Ya sudah aku mandikan saja, soalnya habis buang air juga."
"Oh, malah keganggu ya. Ya sudah, sarapan yuk. Setelah itu kamu tidur lagi saja. Biar aku yang jagain anak-anak. Kamu pasti lelah dan mengantuk kan? Nanti Jan delapan atau sembilan kita keluar ya."
"Kemana bang?"
"Jalan-jalan, Abang pengen ngajak kamu ke mall, selama kita menikah belum pernah, kan?"
"Terus, itu apa yang Abang bawa?" Jihan kini mengikuti aku ke belakang, sementara sikembar ditidurkan di atas kasur lantai di ruang tengah, jadi gampang diawasi dari dapur.
"Tadi Abang belanja. Cadangan sayur di kulkas sudah kosong, kan? Semoga saja ini cukup, nanti kalau kurang kita beli lagi."
Jihan membuka bungkusan belanjaan, ia tercengang dengan banyaknya belanjaan yang aku beli. "Ini banyak banget, bang. Biasanya aku belanja nggak sampai segini." katanya.
"Enggak apa-apa, dek. Kamu kan sedang menyusui, butuh asupan lebih untuk kamu dan anak-anak."
"Tapi ini kebanyakan lho bang, bisa-bisa aku tambah gendut "
"Hehehe, kamu ini dek dek. Mau gendut atau enggak aku nggak peduli, dek. Yang penting kamu sehat. Lagian kamu gendut bukan karena banyak makan, makanan yang kamu makan masih dalam batas wajar, itu karena kamu baru melahirkan anak kembar. Abang justru sedih melihat kamu yang kemarin, serba kekurangan, serba kesusahan tapi kamu tekan semuanya sendiri. Maafin Abang ya dek." aku dan Jihan saling bergenggaman tangan. Lalu berpelukan.
***
Jihan benar-benar menunjukkan ekspresi bahagia saat akhirnya aku membawanya jalan ke mall. Kami sengaja naik taksi online karena membawa kereta bayi. Lagian kalau naik motor akan kesusahan mengingat bayi kami baru dua bulanan lebih sedikit dan juga kembar.
Ini pertama kalinya setelah menjadi suami istri kami ngemall dan untuk pertama kalinya setelah lahiran aku mengajak Jihan jalan keluar rumah selain belanja bulanan atau beli sayur.
"Dik, kamu mau beli apa?" tanyaku. Dijawab dengan gelengan kepala Jihan. "Beli saja dik, apa yang kamu mau. Abang belikan. Kamu mau apa? Daster, baju, gamis, sepatu, sandal, tas, jam atau apa?"
"Enggak usah lah bang, mending duitnya buat belanja kebutuhan anak-anak saja." katanya. "Lagian bajuku masih banyak, bang."
"Banyak tapi sudah tidak ada yang layak. Iya kan dik? Dasternya sudah banyak bolong-bolong, tambalannya sudah terlalu banyak. Kalau gamis kamu kan cuma itu-itu saja. Sejak kita menikah, Abang belum pernah membelikan kamu apapun."
"Tapi bang,"
Aku tak memberi celah pada Jihan untuk mengelak lagi. Kami menuju lantai dasar untuk membeli pakaian yang sebenarnya di mall ini paling murah, tapi Jihan tetap saja sungkan. Satu stek gamis dan dua buah daster. Terlihat betul betapa senangnya ia, beberapa kali tertangkap oleh netraku, Jihan mengusap-usap pakaian barunya sambil tersenyum. Padahal sebelumnya ia kekeh menyatakan lebih baik uangnya dipakai untuk keperluan anak-anak saja.
Perempuan yang bergelar isteri itu begitu ya. Yang ada di pikirannya hanya anak dan suaminya saja. Sementara dirinya dinomor sekian kan, bahkan kadang-kadang mereka abai. Itulah kenapa laki-laki harus peka. Aku yang awalnya merasa bersalah kini agak sedikit bangga karena akhirnya bisa membelikan sesuatu untuk Jihan. Setidaknya ia bisa merasakan kerja kerasku yang khusus benar-benar untuk dirinya.
Selesai belanja, aku mengajaknya makan di salah satu resto. Kami memesan makanan kesukaannya, tentunya awalnya Jihan menolak, memilih menu yang harganya paling murah, tapi aku ganti dengan kesukaannya meski harganya cukup tinggi.
"Abang, ini berlebihan sekali lho!" Kata Jihan, ia sampai berulang kali membahas harga makanan yang ku pesan untuknya. Bahkan ia sampai berandai-andai, kalau uang sbenayak itu bisa untuk makan sepekan. "harusnya kita makan bakso atau mi ayam saja, bang. harganya tidak semahal itu."
"Tidak apa-apa dik, yang penting kamu suka. pokoknya hari ini enggak usah lihat-lihat harga. kalau kamu suka silakan ambil!" Kataku
Tak lama pesanan kami datang. Wagyu dan avocado flut untuk Jihan, stik biasa dan es teh untukku. Aku langsung mengambil salah satu sikembar yang digendongnya, Sementara satunya lagi adavdi stroller. "Kamu makanlah dulu, biar Nabila dan Nadira sama papanya " kataku
Jihan sempat menolak, tapi ia menyadari kalau hari ini ia harus mengikuti semua yang aku katakan. Kataku, ini hari istimewa untuknya sebab ia sudah berkorban banyak melayani Keluarga ini, makanya sekarang waktunya membuat Jihan menjadi seperti ratu dengan melayaninya meski tidak maksimal.
Istriku makan dahulu dengan mata berkaca-kaca. Ia bahkan sampai meneteskan air mata, katanya, kalau tidak sedang di tempat umum maka ia akan memelukku sebab sangat terharu.
"Ternyata jadi istri itu enak ya bang," celoteh Jihan.
Sekarang giliran aku yang baper. Aku merasa bersalah sebab terlambat meratukan ratuku. Ia seolah berjuang sendiri untuk kekuarga ini. Mengurus aku dan anak-anak, mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya.
"Terima ya sayang," Kami berdua sama-sama terharu. "Tapi makannya buruan ya sayang. Abang juga sudah lapar." Kataku, membuat Jihan terkekeh. Melihatnya berhenti menangis membuatku makin haru. Membahagiakan wanita itu sebenarnya tak terlalu sulit, hanya perlu niat saja karena mereka sebenarnya diberi sedikit perhatian saja maka akan membalasnya dengan banyak kebaikan yang tak habis-habisnya.
"Bang, Abang begini bukan karena ada apa -apa, kan?" tiba-tiba wajah Jihan serius, ia menatap tajam.
"Maksudnya dek?" aku masih sibuk dengan makananku. Ternyata sulit ya makan sambil menggendong anak. Apalagi bayinya tidur, harus hati-hati agar ia tak terjaga. Lagi-lagi aku salut pada perempuan, mereka benar-benar multitalenta.
"Kemarin temanku juga diperlakukan seperti ini sama suaminya, dibaik-baikin, ternyata malah suaminya mau nikah lagi. Abang nggak begitu, kan?"
"Hahaha, kamu ini dek. Ya enggaklah. Bagi Abang cukup kamu saja dik istri Abang. Sudah cukup. Abang sayang sama kamu. Membahagiakan kamu saja belum bisa, mendidik, menjaga, menafkahi. Duh, masih banyak tugas dan tanggung jawab Abang yang belum terpenuhi, masa mau nambah. Tapi ...."
"Apa bang?"
"kalau kamu yang minta dan mengajukan calonnya ya Abang nggak akan nolak!"
"Abang!" Jihan menepuk lenganku, ia cemberut, tapi aku terkekeh senang membuatnya kesal
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments