[Pokoknya Abang nggak mau tahu, kamu harus pulang besok atau ....] aku diam sejenak, tak tahu harus bicara apa.
[Apa, bang?] tanya Jihan dengan suara yang masih pelan, menandakan kondisinya masih belum pulih betul
[Kamu akan berdosa karena tak taat pada suami!] Kataku. [Akan ku kirimkan uang tiket, minta seseorang untuk mengantar. Ngerti.]
[Belum bisa, bang. Masih banyak saudara yang datang. Mereka masih ingin bertemu. Lagipula saudaraku juga sibuk semua. Mereka juga masih harus menerima tamu yang datang dari luar kota. Tak mungkin pergi begitu saja.]
[Ahhh terserah, kalau kamu nggak pulang besok, aku akan jemput Nabila dan Nadira, kamu terserah!] telepon ku tutup. Sikapku itu rupanya membuat Jihan gentar, ia beberapa kali menelepon, tapi ku abaikan saja.
Maafkan aku sayang jika harus egois karena aku benar-benar merindukan kalian, ditambah desakan ibu yang membuatku kelabakan. Kamu harus memahami posisiku yang sangat terjepit ini.
Aku sengaja mematikan telepon, fokus menyelesaikan pekerjaan setelah mengirimkan sejumlah uang untuk ongkos Jihan dan saudara yang akan menemaninya sampai Jogja. Sebenarnya tak enak juga seperti itu, tapi aku tak punya pilihan lain sebab seperti yang ibu katakan, Sekarang Jihan berubah, dia sudah berani mengabaikan aku.
***
Jihan benar-benar tak datang, sementara ibu jadi murka. Perempuan itu mengata-ngatai Jihan, menganggapnya menantu yang tak tahu diri. Mentang-mentang suaminya sudah punya jabatan sehingga berubah pada mertua, padahal kekayaan suami itu bukan sepenuhnya milik istri. Anak ibulah yang mencapai itu semua, jadi tak seharusnya Jihan berubah.
Penilaian ibu sebenarnya tak tepat karena Jihan tak pernah berubah, mungkin ia hanya butuh sedikit waktu bersama keluarganya, apalagi mereka sudah lama tak bertemu dan sekalinya bertemu malah dalam kondisi berduka seperti ini, tetapi aku tak mungkin mengungkapkan itu semua karena bisa-bisa tak hanya marah pada Jihan, tapi ibu juga akan murka padaku.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita sih, San, sama ibu tentang perubahan istrimu itu? Ibu kesal sekali lho dibuatnya. Bahkan telepon kamu pun tak dijawab, sungguh sombong sekali dia. Apa jangan-jangan kamu ninggalin banyak uang untuknya sehingga ia betah berlama-lama di kampung sambil foya-foya menghabiskan uang suami. Ckckck, sungguh istri tak tahu diri, harusnya ia belajar berhemat, bukannya kalian masih berusaha, belum benar-benar kaya. Iya kan San?" ibu menatapku, meminta dukungan.
Aku tak tahu harus menjawab apa sebab semua tuduhan itu tak benar, namun kalau membantah ibu, yang ada ibu akan marah lalu ngambek pulang. Padahal, membujuk ibu agar mau menunggu beberapa hari saja sudah susah minta ampun.
"Sudah lah Bu, biarkan saja dulu. Nanti Hasan telpon lagi. Sekarang kita ke pasar saja, belanja emas untuk ibu. Hasan kan belum pernah membelikan ibu perhiasan." Aku membujuk ibu dengan perhiasan, biasanya cara itu manjur untuk para perempuan, tak terkecuali ibu kita.
Berdua kami menuju toko emas terdekat naik mobil. Ibu begitu bahagia, sepanjang jalan memuji-muji aku, putranya, karena ini pertama kalinya aku membelikan ibu perhiasan.
Sampai di toko perhiasan, tak tanggung-tanggung, ibu minta dibelikan kalung, cincin dan gelang yang kalau ditotal jumlahnya tiga puluh gram. Aku nyaris pingsan membayarnya karena semua tabunganku terkuras habis.
"San, istrimu emasnya nggak Segede ini, kan?" tanya ibu.
Aku diam. Jangankan membelikan emas, membelikan pakaian saja baru beberapa waktu lalu. Sejak awal menikah, hidup kami benar-benar dari nol. Bahkan, semua bekal uang dan perhiasan yang dibawa Jihan dari kampungnya yang terpaksa dijual untuk kebutuhan hidup kami di awal-awal.
"San, kenapa nggak dijawab? Pasti lebih besar perhiasan Jihan, kan?" ibu menatapku.
"Enggak kok, Bu." Kataku.
"Nah, memang seharusnya begitu, San. Dahulukan ibumu. Jangan istri saja yang dipikirkan. Kamu itu bisa jadi sukses karena doa ibu " ibu mulai bernyanyi Kecil sambil memandang perhiasan barunya.
Usai berbelanja, aku mengantar ibu ke Beringharjo karena ibu ingin membeli beberapa stel batik. Awalnya aku menduga ibu hanya berbelanja beberapa stel, tapi ternyata ibu membeli cukup banyak pakaian, sampai penuh tanganku kiri dan kanan dengan belanjaan ibu. Untung saja aku berhasil membawa ibu cepat keluar dari pasar, kalau tidak mungkin keluar dari sana dompetku kering.
"San, ibu itu bersyukur sekali Sekarang rezeki kamu jauh lebih baik dari sebelumnya." Kata ibu, kembali membuka pembicaraan saat kami berada di dalam mobil perjalanan menuju rumah. "San, kalau kamu nggak berkenan membeli sawah di kampung enggak apa-apa, tapi kamu beli sapi beberapa ekor ya San, supaya orang-orang tahu kalau perekonomian keluarga kita sudah baik." ibu terus mengoceh, sementara kepalaku pusing memikirkan Keuangan yang langsung seret.
***
Entah sudah berapa lama Ica menunggu di depan rumah. Begitu melihatku ia langsung tersenyum. Melambaikan tangan sehingga menarik perhatian ibu, sempat ibu berbisik, menanyakan Ica.
"Kenalkan Bu, saya Ica, dulu satu kampus sama mbak Jihan dan mas Hasan." Kata Ica, menyalami ibu dengan takzimnya.
"Ica? Ica yang .... Oh, Ica yang itu ya San," ibu mencoba mengingat-ingat, aku langsung pucat, takut ibu mengatakan. "Yang kamu curhati itu, kan? Ica yang ini bukan? Yang kamu senangi itu lho San, sebelum sama Jihan." akhirnya ibu menyampaikan juga sehingga membuatku tak enak hati karena ketahuan pernah curhat pada ibu, ditambah Ica langsung senyum-senyum salah tingkah.
"Ada apa, Ca?" tanyaku.
"Mau menyampaikan belasungkawa ke mbak Jihan. Ada, kan?" tanya Ica.
"Belum pulang, masih di kampungnya. Kamu pulang saja dulu, nanti aku sampaikan, atau kamu WA Jihan saja." Kataku.
"Oh ya sudah. Ini untuk mas Hasan dan ibu." Ica menyerahkan bingkisan yang entah apa isinya. Ibu menyambut gembira. "Kalau begitu aku pulang dulu ya Bu, mas ... supaya nggak ganggu." Kata Ica yang bersiap kembali menyalami ibu, tapi ia ditahan oleh ibu agar jangan segera pulang.
"Pulangnya jangan buru-buru, nanti saja. Sudah jauh-jauh datang masa nggak masuk dulu, setidaknya minum teh dulu. Nak Ica sudah makan belum?" ibu membimbing Ica masuk ke rumah, aku jadi tak enak hati tapi juga tak berani membantah ibu.
Ibu menghidangkan tiga gelas teh yang ia buat dengan air panas sehingga butuh waktu untuk menghabiskannya. Tak lupa ibu mengeluarkan kue-kue yang dibawa Ica.
"Nak Ica sudah nikah?" Tanya ibu.
Pertanyaan ibu membuat kami berdua sama-sama terdiam. Ica lalu tersenyum, aku langsung menjelaskan kalau Ica sudah menikah namun sekarang sudah bercerai.
"Oh sudah cerai. Memang sekarang cerai itu sudah biasa ya nak, bukan aib lagi. Ibu juga yakin, nak Ica bercerai pasti kesalahannya bukan dari nak Ica, melainkan dari mantan suaminya toh?" Kata ibu. Pertanyaan yang membuat kami berdua tak bisa berkata-kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments