"Abang, sebenarnya aku punya keinginan lain." Kata Jihan, sambil menundukkan kepalanya. Usai ku sampaikan padanya bahwa aku ingin membeli rumah dari Putro. Ia tampak ragu-ragu, memainkan dasternya.
"Kenapa? Kamu mau apa, dik? bilang saja. Akan Abang usahakan." Kataku.
"Mmmm, sebenarnya aku ingin pulang bang. Aku ingin mudik ke Sumatra. Aku rindu keluargaku, kampung halamanku juga. Aku ingin sekali pulang setelah tiga tahun tidak pulang." Katanya dengan suara kecil, mungkin khawatir aku tak mengizinkan. Benar apa yang dikatakan Jihan, selama tiga tahun pernikahan kami, belum pernah sekalipun aku mengajaknya pulang meski ia pernah menyatakan secars langsung ataupun dalam guyonan keinginannya untuk mudik.
Selama ini, setiap libur lebaran dan cuti kami habiskan dengan liburan ke kampungku karena ongkosnya lebih murah bila dibandingkan ke kampung Jihan. Satu orangnya pulang pergi bisa habis dua jutaan dengan chek in dan ongkos bus atau travel dari rumah kami ke Bandara, begitu juga sebaliknya. Kepalaku langsung pening, membayangkan setidaknya harus ada enam jutaan untuk bisa mudik ke Sumatra. Duh, kenapa kampung kamu harus jauh begitu sih Dik. Aku mengeluh di dalam hati. Kalau ku sampaikan bisa-bisa ia cemberut, aku yang memilihnya harusnya sudah tahu konsekuensinya.
"Memang kamu mau pulang kapan, dik?" tanyaku, masih ingin meninbang-nimbang.
"Akhir bulan besok saat Abang gajian bagaimana? Kan Abang belum ambil cuti, terus sikembar juga sudah tiga bulanan, sudah kuat diajak naik pesawat." Kata Jihan lagi dengan penuh semangat.
"Duh, akhir bulan ya?" aku makin pusing. Kalau jadi membeli rumah Putro maka akhir bulan nanti adalah waktu pembayaran pertama sebesar lima juga rupiah. Gajiku lima belasniuta rupiah. Aku sudah janji akan mengirim tujuh juta pada ibu untuk mengadakan syukuran. Kalau tidak ku berikan bisa-bisa ibu kecewa, berarti hanya tersisa tiga juta untuk biaya hidup kami. Rasanya tidak mungkin kalau dipaksakan pulang.
"Bagaimana bang? Bisa, kan?" tanya Jihan dengan tatapan harap-harap cemas.
"Begini dik, kalau kita jadi beli rumahnya, kan uang kita berkurang dan tidak cukup untuk biaya mudik. Kamu kan tahu kalau harus berhutang abang enggak bisa. Dari dulu abang pantang berhutang dik, kecuali untuk beli rumah ini karena jelas kita akan setor lima juta tiap bulannya." aku menjelaskan.
"O, begitu ya bang." Wajah Jihan langsung kecewa. Ia menundukkan kepalanya.
"Maaf ya dik. Tapi bagaimana kalau bulan depan lagi? Setelah Abang gajian. Atau lebaran?" tanyaku.
Jihan hanya mengangguk, lalu ia menyibukkan diri dengan sikembar. Sepertinya ia sengaja untuk menghilangkan sedihnya.
"Maaf ya dih, maaf banget. Ini demi masa depan keluarga kita. Abang sayang sama kamu, dek. Abang tahu kamu rindu sama keluarga kamu, Abang janji begitu ada uang kita langsung terbang!" kataku dalam hati.
Setelah itu kami melanjutkan kembali semua rutinitas seperti biasa. Aku membuat kontrak perjanjian dengan Putro tentang jual beli rumah. Saat ia menyerahkan kunci, rasanya bangga sekali. Meski rumah itu masih nyicil, tapi setidaknya sudah ada properti yang jadi milikku.
"Lihat dik, rumah ini, bagus selain kan?" kataku, saat beberes ruang dengan Jihan dan anak-anak sebelum kami pindah. Rencananya hari Sabtu nanti kami akan pindah ke sini agar aku bisa membantu Jihan beberes rumah. Setelah puas membanggakan rumah ini dengan Jihan yang hanya menjawab seadanya, aku mulai sibuk menelepon ibu untuk memperlihatkan hasil usahaaku sendiri. Rumah tipe empat lima. Siapa sangka, seorang Hasan yang baru bekerja beberapa tahun sudah bisa punya rumah meski nyicil.
Ibu juga terlihat bahagia dengan pencapaian ku. Bahkan sampai menitikkan air mata karena terharu akhirnya anaknya punya rumah juga. Sementara yang lain belum punya rumah.
[Semoga nanti bisa segera punya mobil ya San. Jadi mudik enggak naik bis lagi.] kata Ibu.
Ucapannya itu langsung membuatku berpikir. Mobil, ya, benar. Teman-temanku yang supervisor saja sudah punya mobil. Apalagi aku yang manajer juga harusnya punya mobil. Aku jadi berpikir untuk memilikinya juga.
Usai menelepon ibu, aku langsung cari-cari informasi tentang mobil ada banyak merek dan tentunya harga. Mobil baru ataupun bekas. Setelah scrolling beberapa saat, pilihan tertuju pada mobil Avanza bekas dengan harga dua ratus jutaan. Mobil ini sepertinya cocok untuk kami mengingat nanti kalau pulang kampung bisa muat banyak untuk membawa keluarga besarku jalan-jalan. Maklum, kami keluarga besar belum punya mobil. Kalau jalan-jalan biasanya nyarter angkot atau naik motor rame-rame.
"Sayang, akhir bulan besok kita beli mobil ini yuk." kataku, menunjukkan gambar mobil yang sudah aku pilih. Jihan yang sedang sibuk bebersih tak banyak bicara. "Angsurannya juga murah. Masih cukuplah. Enggak akan mengganggu uang dapur kita." kataku lagi.
"Terus DPnya bagaimana, bang?" tanya Jihan
"Nanti Abang cari pinjaman."
"Hutang? Bukannya Abang enggak mau berhutang?" Jihan menatap tajam, aku jadi harus pintar berkelit agar keinginanku tidak dibantah olehnya. Bagaimanapun aku sudah berprinsip kalau segala keputusan rumah tangga kami ambil bersama
"Dik, ini kan untuk beli mobil. Mobil itu aset. Bisa untuk tabungan kita. Kalau ada apa-apa, sewaktu-waktu bisa dijual. Abang ini sekarang sudah manajer lho, masa enggak pakai mobil. Motor Abang sudah sangat butut. Sejak Abang kuliah enggak pernah ganti. Kalau ada rezeki apa salahnya diganti. Lagipula kalau kita punya mobil jadi lebih gampang jalan bawa sikembar. Iya, kan?" kataku.
"Abang enggak ingat janji Abang?" Jihan menatapku. Ia terlihat penuh harap.
"Janji apa? Janji yang mana? Duh, nanti saja ya dik. Abang mau lihat-lihat mobil dulu. Mumpung dapat penjual yang cocok nih. Lokasinya dekat dari sini. Dia juga lagu online. Abang mau chat dia dulu ya. Khawatirnya kalau diundur-undur, malah penjualnya offline terus mobilnya keburu dijual ke yang lain." Aku langsung menjauh dari Jihan, sibuk komunikasi via chat dengan penjual mobil. Sengaja tak ku abaikan panggilannya dengan mengalihkan pada penjual mobil.
Aku tahu Jihan akan menagih janji mudik yang kemarin sempat aku ucapkan. Tapi mau bagaimana lagi, beli mobil rasanya lebih urgent. Kalau mudik masih bisa nanti-nanti, atau saat lebaran. Sekarang belum ada hajat yang mendesak di kampungnya, jadi rasanya gak perlu buru-buru. Dananya maish bisa dialihkan untuk pembelian mobil.
Lagipula kalau kami pulang nanti dan sudah bisa cerita ke keluarga Jihan kalau sekarang kami sudah punya.rumah dan mobil sendiri, mereka pasti bangga. Harga diri Jihan juga otomatis naik sebab suaminya dinilai cukup berhasil. Baru tiga tahun bekerja sudah punya rumah dan kendaraan.
"Sabar ya sayang, ini demi kebaikan kita bersama juga " Aku berbisik, sambil melirik Jihan yang sibuk dengan Nabila dan Nadira. Aku janji, kalau sudah punya uang maka akan segera mengajak kamu mudik. Kapan perlu kita belikan Keluarga kamu oleh-oleh yang banyak. Kita traktir mereka kemanapun mereka mau. Meski secara ekonomi mereka jauh lebih kaya daripada aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Yayat Nurhayati
yaaah hasan udah mulai lupa, sengaja lupa sama janji, ingat rezeki lancar karna hati istri yg lapang tapi jika istri hatinya udah ga senang rezeki akan sulit.
belum apa2 baru diangkat jadi manajer udah mulai lalai. semoga cepet sadar jgn sampai ada hal yg ga baik terjadi dulu baru nyesel.
2023-02-09
0