Emosi

Satu bulan ini benar-benar padat, aku konsentrasi dengan pekerjaan baru ditambah proyek dari Ica. Sehingga sehari-hari pergi pagi pulang malam. Bahkan terkadang pulang larut malam. Waktu bicara dengan Jihan pun jadi berkurang, sebab setiap aku pulang rasanya sudah sangat lelah, atau malah sebaliknya, Jihan yang kelelahan.

Siang ini, saat makan siang, Ica menelepon, mengatakan kalau semua urusan proyek telah selesai. Tinggal pembayaran saja. Ia minta ketemu malam ini. Aku minta di transfer saja, tapi Ica menawarkan pekerjaan baru, karena masih sangat butuh, akhirnya aku menerimanya. Malam itu, usai bekerja, kami ketemu di mall tak jauh dari kantorku.

"Semuanya sudah aku transfer ya mas, juga bonusnya." Ica kembali memperlihatkan bukti transfer yang tadi sudah dikirimkan ke WAku. "Jadi, berminat nggak dengan tawaran proyek berikutnya? Lumayan lho, mas." Kata Ica lagi, sambil memperlihatkan proposal pengadaan laptop yang ia bawa.

Aku membolak-balik proposal itu. Tawarannya lumayan besar. Pengadaan barangnya juga rasanya tak terlalu sulit karena aku punya link yang bisa menyediakan barang tersebut yang kwalitasnya tinggi tapi harganya super miring. Paling sekitar dua atau tiga Minggu maka semuanya akan selesai. Rasanya tak mengapa mengambil pekerjaan ini, uangnya lumayan untuk tambah-tambah mudik dan nantinya bisa ditabung. Aku kan belum mengatakan deal pada Jihan untuk pulang bulan ini, jadi diundur satu bulan Rasanya tak mengapa. Begitu pikirku. Makanya tawaran Ica ku ambil saja.

"Mas itu betul-betul laki-laki pekerja keras ya." Ujar Ica, sambil menyeruput lemon tea yang ia pesan, ia tak melepaskan pandangannya dariku sehingga membuatku risih. Kalau bukan karena proyek itu, mungkin aku lebih memilih pulang. "Jarang lho ada laki-laki seperti itu. Sudahlah pekerja keras, setia juga sama istrinya. Padahal godaan dengan jabatan mas sekarang pasti banyak, kan?" tanya Ica. "Hayo ngaku, banyak kan cewek-cewek yang ngedeketin mas?"

"Saya sudah punya istri dan anak kembar, Ca. Mau apalagi dengan dunia luar. Kebahagiaan saya ya istri dan anak-anak saya. Kerja saya dan semua yang saya hasilkan itu pastinya rezeki mereka juga, mungkin kalau saya nggak nikah dan punya anak, belum tentu juga punya jabatan seperti itu." Kataku. "Oh ya, sudah malam. Saya mau pulang dulu." Kataku. Lalu segera bangkit pergi. Sebelum pulang, tak lupa aku membelikan makanan untuk Jihan, satu piring martabat telur dan martabak manis untuk dopingnya menyusui. Selama sebulan terakhir ini, aku tak pernah membelikannya apa-apa. Benar-benar sibuk dengan duniaku sendiri.

Sampai di rumah, Jihan ternyata sedang menimang Nabila, sementara Nadira sudah tidur. Saking asyiknya ia tak mendengar salamku. Makanya Jihan agak terkejut saat melihatku sudah berada di depannya. "Aku bawakan martabak, kamu makan dulu ya." Kataku, sambil mengambil bayi kami dari pangkuannya. Jihan menurut saja.

"Tadi ibu menelepon." Kata Jihan. "Ibu bilang, kangen. Aku disuruh pulang, bang."

*Ya. Ibu juga sudah mengirim pesan ke nomor Abang, tapi belum sempat Abang baca karena tadi sedang sibuk betul." Jawabku. Tadi saat jam makan siang, ibu menelepon beberapa kali, tapi karena aku sedang sibuk, makanya telepon tak bisa ku angkat, tak lama ibu mengirim pesan, memintaku pulang membawa Jihan dan anak kembar kami. Aku juga ingin, tapi setelah proyek kedua ini selesai. "Bagaimana kalau bulan depan?" kataku, mencoba kembali menawar.

"Bang, kalau aku pulang dijemput adikku bagaimana? Ongkosnya dari ibu. Kata ibu, ia kangen banget sama aku, bang. Sudah hampir tiga tahunan nggak pulang. Bagaimana, bang? Nanti ibu dan adikku yang akan mengantar aku kembali ke sini. Sepejan saja, bang. Boleh ya?"

"Dik, bukannya Abang nggak mau ngizinin kamu pulang, tapi kan .... bagaimana kata orang, juga kata ibuku nantinya. Masa nganter istri pulang saja nggak bisa. Abang sedang berusaha, mohon dimaklumi ya dek, Abang janji, bulan depan kita pulang berempat. Bilang sama ibumu ya dik, sabar sebentar saja."

"Tapi perasaanku nggak enak Bang, aku ingin pulang secepatnya."

Mungkin karena kondisiku sedang sangat lelah, ditambah Jihan agak mendesak, akhirnya sabarku habis juga. Aku menegaskan padanya bahwa kami akan pulang bulan depan atau tidak usah sama sekali. Kalau ia terus merengek minta pulang, silakan pulang tapi jangan bawa anak-anak. Jihan yang mendengarnya agak kaget, tapi ia tak berani membantah. Hanya diam saja, memakan martabak di hadapannya cepat-cepat. Aku tahu ia kaget, bahkan sudah mau menangis sebab ini pertamanya aku marah bahkan hampir menghardiknya. Makanya ia terus menunduk, tak berani menatapku.

Esok paginya, aku berangkat ke kantor tanpa sarapan sebagai bentuk sikap kalau aku benar-benar tak suka dengannya yang terus-menerus mendesakku. Aku juga menduga, pesan dari ibu mertua pasti atas suruhannya juga. Entah kenapa aku benar-benar kesal, padahal biasanya aku bisa tenang bila Jihan mendesak seperti ini. Mungkin karena sudah terlalu lelah. Aku tak peduli saat ia memanggil, mengingatkan aku untuk sarapan. Bahkan ketika ia hendak meraih tanganku aku malah tancap gas, dari kaca spion aku sempat melihat wajahnya tertunduk sedih. Peduli amat, ia juga harus memikirkan perasaanku yang tak nyaman, padahal aku sudah berusaha keras untuk keluarga kami.

Sampai di kantor, aku meminta tolong OB untuk membelikan makanan. Bram yang melihat langsung menghampiri, ia malah mencandai karena memang selama bekerja di sini, aku selalu sarapan di rumah, bahkan makan siang pun membawa bekal dari Jihan.

"Kayaknya ada yang marahan nih?" tebak Bram. "Oke oke, aku paham, San. Yang namanya pernikahan pasti ada naik turunnya. Ya kayak pernikahan aku juga. Nggak bisa aku pungkiri kalau aku bosan dengan pernikahan yang melelahkan ini. Istri yang selalu menuntut padahal kita sudah memberikan yang terbaik. Selalu saja kurang dimatanya. Makanya aku main di luar juga untuk hiburan. Bosan tahu, pulang kerja capek-capek ada saja yang dituntut, ada saja keluh kesahnya. Padahal kan kita sama-sama lelah, belum lagi penampilan mereka para istri yang asal-asalan, bikin mata sakit." Bram malah curhat, membuatku makin puyeng. "Sudah, nggak usah dipikirin, aku yakin kamu butuh hiburan. Bagaimana kalau nanti pulang kerja kita karaokean?" ia menawarkan hiburan, tentunya dengan janji tanpa ada wanita sebab Bram tahu aku gak suka yang seperti itu. Aku itu tipe laki-laki setia. Mau seperti apapun istriku, aku tetap mencintainya dan nggak akan berpaling darinya.

"Oke, nanti pulang kerja kita karaokean." Kataku.

"Sip. Nah gitu dong. Itu baru namanya Hasan temanku. Nanti aku booking dulu yak. Malam ini biar aku yang traktir!" Kata Bram sambil mengacungkan ibu jari, ia lalu berlalu menuju ruangannya, sebab OB yang membeli sarapan untukku Sudan datang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!