"Dek, besok kan libur, kita jalan yuk. Sudah lama kan kita nggak keluar." kataku pada Jihan, saat kami sudah di atas tempat tidur, bersiap untuk istirahat setelah lelah seharian dengan aktivitas masing-masing. Aku dengan pekerjaan kantor dan Jihan dengan urusan rumah dan anak-anak.
Tiga tahun lalu, saat memutuskan menikah, aku dan Jihan memang tak terlalu banyak menghabiskan waktu bersama. Kami menikah di Sumatra. Hanya enam hari di sana, aku langsung memboyongnya kembali ke Jogja karena aku bekerja di sini. Seharu setelahnya ia langsung ku tinggal bekerja. Senin sampai Jum'at. Sedangkan hari Sabtu dan Ahad kala itu ku pakai untuk bolak balik ke kampung karena ayahku kala itu sakit-sakitan. Jihan tak ku bawa untuk menghemat ongkos. Dua bulan kemudian ia hamil anak pertama kami, Akbar. Namun kami harus merelakan bayi yang menurut ustadz akan jadi tabungan kami di akhirat nanti. Akbar meninggal dunia di usianya yang baru tiga bulan, karena terkena virus. Waktu itu Jihan harus melewatinya sendiri sebab aku masih bolak-balik kampung.
Untungnya Allah cepat memberikan ganti. Hanya berselang satu tahunan, ia kembali hamil anak kembar. Jihan kembali harus berjuang karena ternyata hamil anak kembar tidaklah mudah. Ia benar-benar mengalami kelelahan dan kepayahan. Untungnya istriku sangat sabar dan tak gampang mengeluh. Allah memudahkan ia melahirkan kedua bayi kami secara normal meski beratnya dibawah dua kilogram.
Aku dan Jihan menikah setelah melewati proses ta'aruf. Meski kami satu kampus, tapi jarang berkomunikasi. Sejak awal aku memang sudah mengincarnya, tapi Jihan tak pernah memberi peluang padaku ataupun pria manapun dengan alasan ia belum siap menikah dan tidak tertarik untuk berpacaran.
Jihan lulus duluan. Aku sempat ketar-ketir mengingat ia banyak yang suka. Pasti akan banyak diincar orang. Makanya aku beranikan diri menemui keluarganya di Sumatra. Aku datang ke sana dengan ongkos uang peninggalan almarhum ayah. Untung gayung bersambut, keluarga Jihan menerima dengan syarat aku harus menyelesaikan kuliah dalam waktu satu semester, tapi selama itu kami tak boleh komunikasi dahulu.
Tak ada jawaban, hanya terdengar suara nafas pelan. Saat aku melirik ke samping, rupanya Jihan sudah terlelap. Ahhh istriku, kamu pasti teramat lelah dengan sikembar sampai lelap begini.
Aku menyibak anak rambut Jihan, menatap wajahnya yang terlihat lelah. Ia sudah mengabdi pada keluarga ini dengan sangat total, maka besok, seperti apa yang dikatakan ibu, aku akan membelikan hadiah untuknya. Usai memandang wajah Jihan yang kelelahan, aku bangkit, meraih tas kerja yang berada di atas meja kecil yang semula jadi meja rias Jihan tapi hanya bertahan dua pekan lalu beralih jadi meja kerjaku. Dari saku tas kerja aku mengambil sebuah amplop. Uang di dalam amplop ini adalah bonus atas pencapaian yang aku dapatkan. Awalnya, aku berencana menyerahkan pada Jihan, tapi aku berubah pikiran. Kalau diberikan padanya pasti akhirnya uang ini akan dibelikan kebutuhan rumah tangga, seperti biasanya, ia sama seperti kebanyakan ibu-ibu yang selalu menomor satukan keluarga hingga lupa pada dirinya sendiri. rencananya akan ku pakai untuk besok membelikan Jihan barang-barang keperluan dirinya sendiri. Tidak untuk dibagi dengan kebutuhan rumah, anak atau aku sendiri.
"Terimakasih ya sayang, terimakasih sudah berbakti padaku. Sudah mengurus bayi-bayi kita. Maaf juga karena Abang belum bisa membahagiakan adek." aku berbisik di telinga Jihan.
"Enggak apa-apa bang, yang penting Abang makan yang banyak. Tapi jangan lupa sikat gigi dan siram kamar mandi yang banyak usai ke toilet kalau selesai makan petai ya. Aku kebauan bang." Jihan mengigau.
Aku langsung terkekeh.
"Bisa-bisanya dia ngumbar aib suaminya, padahal sudah dipuji-puji." karena gemas, aku melayangkan cubitan pada pipinya. "Ya Allah, pipimu dek." baru ku sadari kalau pipi itu semakin chubby, bahkan berkembang sempurna seperti bakpao melebihi perkembangan pipi Nabila dan Nadira. "ini pasti efek makan banyak. Tapi enggak apa-apa kok dek, kamu tambah gendut seperti ini bikin Abang semakin gemas. Terimakasih ya dek sudah merelakan badan kamu mengembang sempurna demi anak-anak kita." aku mencium keningnya, pipi kiri dan kanan, lalu berbaring di sampingnya.
Baru saja mata ini akan terpejam, tiba-tiba Jihan terbangun, ia langsung bangkit, berjalan cepat menuju lemari, lalu mengambil benda pipih di sampingnya. Jihan langsung naik ke atas timbangan.
"Astagfirullah, benar, naik sepuluh kilo lagi!" Jihan langsung terduduk lemas di atas timbangan. Aku yang melihatnya seperti itu kebingungan.
"Kamu kenapa dek?" tanyaku, ikut bangkit, lalu mendekati. Terlihat di atas timbangan angka enam puluh.
"Bang, aku mimpi, Abang bilang aku mengembang seperti bakpao. Benar saja, saat ku timbang sekarang beratku jadi enam puluh Kilo. Padahal sebelum menikah beratku berkisar antara empat puluh satu atau paling berat ya empat puluh tiga. Berarti naiknya banyak banget. Padahal saat hamil kembar beratnya mentok di angka lima puluhan. Berarti nambahnya pesat banget." ucap Jihan sambil menutup wajahnya.
"Ya elah dek, perkara berat badan sampai segitunya. Enggak apa-apa, yang penting kamu sehat. Abang dukung kamu. Bagi Abang kamu gendut atau kurus itu sama saja. Sama-sama cantik dan menarik. Kalau dulu waktu kurus cantik karena kamu memang cantik kalau sekarang ditambah gendutan malah tambah nyenengin. Bikin Abang selalu senang dan betah di samping kamu. Benar deh." Kataku.
Sebenarnya aku kaget juga, nggak menyangka kalau apa yang ku bisikkan tadi malah masuk ke alam bawah sadar Jihan. Melihatnya sedih seperti ini membuatku harus hati-hati lagi. Aku juga janji untuk benar-benar menjaga perkataan agar tak sampai menyakiti hatinya.
Lagian terlalu sekali kalau itu sampai terjadi mengingat apa yang sudah dilakukan Jihan untuk aku. Ia yang hidupnya seperti tuan putri oleh keluarganya rela menjadi istri, partner, ibu, pengasuh, pekerja rumahan setelah menikah denganku.
"Tapi bang," Jihan cemberut.
"Apa? Sudah. Sekarang ayo tidur. Kamu kan baru dua bukan melahirkan, sedang menyusui juga. Anaknya kembar. Jadi ya wajar. Yang enggak wajar itu kalau kamu kurusan kayak tulang. Itu baru Abang nangis dek. Berarti Abang gagal memakmurkan kamu. Abang juga akan malu sama kedua orang tua kamu dan ibu pasti akan marah sekali. Tapi dengan kamu seperti ini Abang malah berterima kasih sebab keluarga kamu nggak akan sedih dan ibu nggak akan menyalahkan Abang." Aku memegang bahu Jihan, mengarahkannya menuju tempat tidur.
"Bang, maafin aku ya. Aku sudah tak secantik dulu." Jihan memelukku. Aku mengusap punggungnya. Setelah ia nyaman barulah aku mengajaknya kembali tidur, tentu saja ia tidur dengan berbantalkan lenganku.
Waktu aku memeluknya, aku tersenyum. Benar juga ya, Jihan gendutan. Tapi aku tetap sayang dia. Tambah sayang malahan. Tak peduli berat badannya naik berpuluh kilo, yang penting dia sehat dan mau terus menjadi teman hidupku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments