Andi...

Malam ini Najla mengajak Dewi keluar setelah lelah mengerjakan beberapa tugas selama dua minggu berturut-turut.

“Aku butuh nafas, Wi. Penat sangat! Otakku macam nak kelua dari kepala.” Gerutu Najla sepanjang jalan.

Mereka keluar dari apartment menuju sebuah café dengan jarak tidak terlalu jauh dari sana. Bukan apa-apa, bagi Dewi yang mengandalkan beasiswa, ia harus menghemat setiap ringgit yang keluar. Dewi tidak ingin berleha-leha di sana walaupun dia sangat ingin mencari udara segar untuk otaknya. Apa daya, hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari hujan emas di negeri orang.

“Tempatnya nyaman ya?” beberapa bulan tinggal di sana, Dewi masih menggunakan bahasa indonesia dan untungnya Najla sangat paham karena asistem rumah tangga di rumah orang tuanya juga berasal dari Indonesia. Hanya sesekali Dewi menggunakan bahasa inggris apalagi jika berbicara dengan dosen atau teman-teman lain selain Najla.

Seorang pria datang menghampiri mereka. “Hi Sweetheart,” pria berkulit putih dan hidung mancung itu duduk di samping Najla.

“Dewi, kenalkan ini pacarku. Namanya, Zayed Bin Amir. Dia bekerja di salah satu rumah sakit.”

“Dokter?” tanya Dewi seraya tersenyum. Zayed mengangguk. Dewi mendekap dua telapak tangannya di dada saat Zayed ingin berjabat tangan. Dewi sangat menjaga dirinya di sini. Ia merasa aman dengan tidak berjabat tangan dengan pria manapun kecuali sama orang tau Najla yang sesekali datang ke apartment.

Dewi kembali kesepian walaupun Najla dan Zayed mengajaknya berbincang tapi Dewi tetap merasa kesepian. Dia merindukan Fiqi, Rani dan Ayi. Hidup sendiri di perantauan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi memiliki kekasih yang sama jauhnya. Benar kata Dilan jika rindu itu BERAT!!!

Dewi mengambil ponselnya, ia memilih berbalas pesan dengan Rani atau Ayi dan tentu saja ada Fiqi juga di dalamnya walaupun Dewi tahu Fiqi terlalu sibuk belakangan ini. Banyak kegiatan membuat waktu Fiqi tersita semua ke pekerjaan. Fiqi yang memegang teguh rasa tanggung jawab hanya bisa membalas pesan Dewi kalau hendak tidur itupun saat malam.

“Akhi, di depan Ukhti saat ini ada Najla sama pacarnya. Kami lagi duduk di café buat melepas penat. Akhi lagi ngapain? Ukhti ganggu ya?”

Fiqi mengirim emoji tertawa lalu menulis, “Sabar Ukhti. Saat ini kesabaran Ukhti lagi diuji.”

“Ukhti sabar kok. Cuma Ukhti tidak nyaman ada di sini. Mau pamit, tidak enak sama Najla.”

“Bilang saja kalau tidak suka. Jangan sampai menumpuk di hati terus jadi bom dan meledak kapan saja. Ukhti kan sudah pernah mengalaminya kan?”

“Iya, Akhi. Ukhti akan bicara dengan Najla setelah ini.”

“Ukhti, jam sembilan malam langsung pulang ya! Tidak baik seorang wanita keluar malam-malam tanpa muhrim.” Fiqi masih mengingatkan Dewi.

“Iya, Akhi. Sebentar lagi Ukhti pulang.”

Seorang pemuda kembali menghampiri meja mereka. “Maaf kalau mengganggu kalian. Kamu dari Indonesia?” Dewi mengangguk.

Pemuda itu mengulurkan tangannya tapi Dewi membalas dengan mendekap telapan tangan di dada. “Oh maaf. Aku, Andi dari Indo. Kamu?”

“Dewi.”

Dewi memperkenalkan Andi pada Najla dan pacarnya. “Silakan duduk!” pinta Dewi.

Andi duduk di samping Dewi. Kemudian mereka berbincang dalam bahasa sendiri mangabaikan Najla dan pacarnya. “Berarti kita sama-sama mahasiswa model beasiswa ya.” Seloroh Andi.

“Kalau tidak dibiayai negara mana sanggup masuk ke sini, Bang.” Dari pembicaraan itu, Dewi mengetahui jika Andi adalah mahasiswa farmasi dari Makassar. Pertama kalinya, Dewi pulang diantar oleh Andi karena Najla pergi bersama pacarnya. Mereka tahu kode pintu masuk sehingga tidak perlu membangunkan satu sama lain jika ada yang pulang telat.

Mereka memilih jalan kaki menuju apartment sembari berbincang banyak hal. Sebagai sesama perantau, mereka cendrung merindukan keluarga atau pun suasana di negara sendiri tapi apa daya. Misi mereka adalah menyelesaikan pendidikan dan menghabiskan uang pemerintah sesuai tenggat waktu yang telah ditetapkan.

“Maaf kalau ini terlalu cepat. Apa Abang boleh tahu statusmu? Untuk menghindari kesalahpahaman di masa depan.” Ucap Andi saat mereka tiba di depan apartment Dewi.

Wanita itu tersenyum, “Lajang, Bang tapi sudah punya calon. Abang sendiri?”

“Sama! Ya sudah, nanti kalau ada acara pertemuan sesama mahasiswa Indo, Abang kabari kamu. Nanti nomermu akan Abang tambahkan ke grup kita ya.”

“Baik, Bang. Terima kasih banyak.”

Mereka berpisah. Tidak ada yang terjadi atau akan terjadi karena Dewi sudah memasang tembok tebal di depannya. Ia masih memilih Fiqi sebagai jodohnya. Dewi kuliah di Malaysia sementara Fiqi mengajar di kampus dan pesantren di Indonesia. Keduanya larut dalam kegiatan masing-masing. Sementara di kota Paru bagian timur, Rani sedang duduk di salah satu café bersama sahabat lamanya, Eva.

“Kamu kelihatan kurus ya?” tanya Eva.

Rani tersenyum kecil, “Mutar otak ngerjain tugas, capek, telat makan dan suka begadang.” Jawab Rani.

“Kamu sendiri ngapain aja selama menghilang? Kapan balik ke kampus?” Rani kembali mencecar Eva. Dari ketiga sahabatnya, hanya Rani yang masih diam-diam mengirim pesan sekedar bertanya kabar pada Eva. Entah kenapa, dari dulu hanya Rani yang cendrung dekat dengan Eva dibanding Ayi dan Dewi.

“Dua tahun lagi mungkin setelah semua wajah-wajah yang mengenalku hilang dari kampus.”

“Jangan terlalu lama nanti kamu lupa sama pelajarannya. Masuk saja tahun depan buat apa menunggu dua tahun lagi.”

“Lihat nanti lah. Ayi apa kabar?”

“Baik. Dia lagi sibuk sama proyeknya.”

“Proyek apa?”

“Buat skripsi orang!” Eva beroh ria.

“Va, apa kamu masih menjalin hubungan sama Bang Fadil? Kalau kamu gak mau jawab-“

“Tidak, Ran. Aku pergi setelah keluarganya datang ke rumahku setelah kejadian hari itu. Mereka merendahkanku, menghinaku dan mengataiku macam-macam. Aku sakit hati, Ran. Jadi aku memutuskan untuk pergi menjauh dari Fadil.”

“Dia tidak pernah menghubungimu?”

Eva menggeleng, “Ibarat kata pepatah, habis manis sepah dibuang mungkin cocok buatku setelah kejadian itu. Dia, kalian sama-sama membuangku.”

“Aku tidak membuangmu, Va. Bahkan aku juga ke rumahmu tapi rumahmu kosong. Aku pergi ke rumah kerabatmu dan mereka juga tidak tahu keberadaanmu.”

“Hanya kamu, Ran. Hanya kamu yang masih mau menemuiku setelah semua yang terjadi.”

“Aku tidak tahu ada masalah apa antara kamu dan Dewi. Aku juga tidak mau menyalahkanmu karena Fadil juga salah. Aku juga tidak membenarkan cara Dewi mempermalukan kalian di depan umum begitu. Tapi aku bisa apa? Dia tidak mengatakan apa-apa tentang rencananya hingga dengan mudahnya kita datang ke acara itu. Jangankan rencana kejutan untuk kalian, acara yang seharusnya pertunangan dia saja tidak dibilang ke kita, kan?”

“Kamu benar! Bukan hanya aku yang salah di sini tapi Fadil juga. Dasarnya saja dia tidak setia terus sekarang keluarganya menuduhku merayu Fadil. Apa mereka waras?”

“Va, jawab aku! Apa kamu masih mencintai Fadil?”

 

***

Terpopuler

Comments

Cut SNY@"GranyCUT"

Cut SNY@"GranyCUT"

Rindu itu berat... 😃😃

2023-08-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!