Setelah drama di hari pertunangannya, Dewi sudah memblokir nomer ponsel Eva dan Fadil. Ia mau lagi berurusan dengan pasangan busuk itu. Tapi hari ini, dia justru dikagetkan oleh sebuah pesan yang baru masuk ke ponselnya. Sebuah pesan berisi gambar yang menampilkan Rani dan Eva di sebuah café tengah duduk bersama sambil tertawa seolah sedang berbahagia. Di saat yang sama ia harus ke kampus untuk menyerahkan tugasnya. Dewi tidak mau membebani pikirannya saat ini, gadis itu memilih menyimpan ponsel kemudian keluar dari apartment.
“Ran, aku mencintai Bang Fadil walau apa pun yang terjadi tapi orang tua Fadil terutama ibunya itu sangat galak dan Eva menyadari jika dia selamanya tidak akan diterima di keluarga mereka. “Apa kamu tidak ingin pacaran sama pria lain saja, Va? Untuk apa kamu menyiksa diri dengan menunggu si Fadil itu. Apa kamu yakin dia akan kembali setelah mendapatkan semuanya darimu?”
Eva tersenyum getir, “Mana ada laki-laki lain yang mau sama aku, Ran. Aku ini sudah menyerahkan semuanya pada Fadil. Jadi hanya dialah yang berhak menjadi suamiku.”
“Terus maumu apa sekarang?”
“Tolong bantu aku bicara sama Fadil, Ran! Dia memblokir nomerku setelah kejadian hari itu.”
“Aku tidak punya nomernya dan apa kamu yakin dia mau menemuiku?” tanya Rani ragu.
Eva menyerahkan nomer ponsel Fadil ke tangan Rani. “Dia pasti mau tapi bawa nama Dewi ya. Kalau kamu menyebut namaku, aku takut dia tidak mau bertemu denganmu.”
“Aku tidak janji tapi aku akan berusaha.” Ucap Rani.
“Terima kasih, Ran. Kamu memang sahabat sejatiku. Hanya kamu yang ngerti aku padahal kita berteman lama tapi Ayi justru ikut membenciku.”
“Sudahlah! Masing-masing orang punya jalan pikiran masing-masing begitu juga dengan persahabatan kita. Aku hanya berharap kamu berubah menjadi lebih baik lagi dan selesaikan kuliahmu supaya tidak sia-sia. Bagaimana kabar kakak dan abang-abangmu? Apa mereka tahu kejadian ini?”
“Tidak. Mereka itu jauh dari sini dan tidak tahu menahu tentang masalahku.”
“Em, baiklah kalau begitu aku pergi dulu ya. Aku banyak pekerjaan apalagi mau ujian akhir.”
“Iya, sekali lagi terima kasih. Em, apa aku masih boleh mengirim pesan padamu?”
Rani tersenyum lalu mengangguk pelan setelah itu ia kembali memakai helm dan melajukan motornya meninggalkan Eva sendiri.
“Bagaimana? Apa kamu sudah mengirimnya?
“Sudah, Va. Sesuai permintaanmu dan sudah dilihat juga oleh musuhmu.”
“Terima kasih!” ucapnya lalu menyerahkan selembar uang berwarna biru ke tangan pria itu. Tidak ada yang tahu apa yang direncakan Eva saat ini. Gadis itu pergi seraya tersenyum penuh kemenangan.
Di tempat yang berbeda, Eva kembali ke salah satu café milik Fadil di kota sebelah. Setelah kejadian di pesta pertunangannya, Fadil seolah menghilang ditelan bumi. Baik keluarganya maupun Eva mencari-cari pria itu tapi sayangnya belum ada titik terang. Eva menduga-duga jika Fadil sudah pergi ke luar negeri tapi apa beberapa hari lalu ia mendapatkan info jika Fadil kembali membuka cabang café barunya di kota sebelah.
Atas dasar info tersebut, Eva akhirnya tiba di kota sebelah. Ia langsung disambut pelayan café dengan ramah sama seperti ke pengunjung lain.
“Selamat datang di café kami, Mbak. Mau pesan apa?” tanya pemuda itu ramah.
“Em, saya mau ketemu ownernya bisa?” tanya Eva sembari melihat kiri-kanan.
“Owner?” tanya pelayan itu lagi.
“Bang Fadil. Apa dia ada?”
“Oh, Bang Fadil. Mbak kenal sama Bang Fadil?”
Eva tersenyum, “Iya. Saya pacarnya.” Kening pria itu sedikit berkerut.
“Maaf, Mbak. Pak Fadil hanya ke sini saat pembukaan café kemarin. Setelah itu, beliau langsung pergi.”
“Boleh saya minta nomer kontaknya?”
“Maaf, Mbak. Kami tidak punya. Hanya manajer café yang punya akses langsung ke owner kami.”
“Manajernya ada?”
“Aduh, maaf Mbak. Baru saja keluar.” Eva menahan kekesalan yang amat sangat. Ia kembali gagal menemui Fadil.
“Kira-kira Bang Fadil kapan balik ke sini lagi ya?”
“Maaf, Mbak. Saya kurang tahu kalau itu.” Eva balik badan langsung pergi dari sana. Dari layar ponselnya, sang manajer langsung mengirim video tersebut ke bosnya yang sedang berada di luar negeri.
Di Malaysia, seorang pria yang tidak lain adalah Fadil sedang berkumpul dengan teman-temannya sesama pengusaha. Mereka berencana membangun café di sekitar Universiti Malaysia.
“Srategis dan prospek ke depannya juga bagus.” Ucap Fadil menatap peta kawasan yang akan dijadikan ladang usahanya bersama teman-teman dari Malaysia.
“Kalau mahasiswa Indo tahu bahwa salah satu pemilik café ini berasal dari Indo, aku jamin mereka akan berbondong-bondong ke sini.” Ujar salah satu investor.
“Benar! Dimana-mana darah ibu pertiwi lebih kental dari minuman soda.” Celutuk yang lain membuat mereka terkekah.
“Kapan kita resmikan? Aku ingin mengundang pera mahasiswa Indo ke café kita sekaligus menjamu makanan gratis saat grand opening nanti.”
“Wah, setuju! Aku akan membicarakan lebih lanjut dengan vendor dan berbagai keperluan lainnya.”
Setelah rapat selesai, Fadil mengecek ponselnya. Ia tersenyum sinis saat melihat video yang dikirim menajernya di salah satu café.
“Ck, masih belum menyerah juga dia.” Seorang teman datang menepuk pundak Fadil.
“Siapa, pacar?” Fadil tertawa.
“Cinta belum kelar.” Dua pria itu kompak tertawa.
“Mantan mengejarmu lalu kamu mengejar mantan calon tunanganmu, begitu?”
“Dia sudah membuatku malu. Aku harus memberikannya sedikit pelajaran karena sudah bermain-main denganku.”
“Apa yang mau kau lakukan? Jangan sampai tindakanmu berurusan sama hukum. Ini negara orang bukan negara kita.”
“Aku tahu tapi aku hanya ingin membalasnya sedikit saja supaya dia sadar diri.”
“Terserah kau lah! Aku sudah mengingatkan.”
“Thanks.”
Fadil menatap foto Dewi dengan seringai liciknya. Ia memiliki dendam pada Dewi sama seperti Eva yang menyimpan dendam pada gadis yang sama.
Hari berlalu berganti minggu tanpa terasa liburan hampir usai. Tapi tidak bagi Dewi, ia mencoba mengikuti semester pendek di masa liburan untuk mempercepat kelulusannya sedangkan teman-teman yang lain sudah pergi berlibur. Sama seperti Najla yang memilih pulang ke rumah orang tuanya saat liburan.
Ting…
“Ada pembukaan café di dekat sini dan salah satu pemiliknya orang Indo. Seluruh mahasiswa Indo diminta hadir besok siang saat grand opening.” Sebuah pesan beserta alamat masuk dalam grup mahasiswa Indo di Universiti Malaysia atau biasa disingkat UM.
Dewi mendesah, ia sedikit malas pergi ke acara-acara begitu apalagi hanya Andi yang ia kenal. Baru saja namanya terlintas,
Ting…
“Besok aku jemput jalan kaki ya!” isi pesan yang Andi kirimkan.
“Oke!” balas Dewi kemudian memilih bergelung kembali dengan buku. Di tempat yang berbeda, “Apa kamu yakin dia akan datang?” tanya seorang teman.
“Kalau dia tahu ada aku di sana, pasti dia tidak akan datang.”
“Apa yang mau kau lakukan setelah bertemu dengannya?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Aida Fitriah
dewi memang keterlaluan sich, cma dia kan mau membela diri. kak nasih dewi ada di tangan mu tolong dia, masa di 2 kehidupan menderita mulu😄😄😄😄😄ya itu sich mau'a ako🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2023-03-02
1